Budaya Korupsi Berjamaah, Kapokmu Kapan?
Edukasi | 2024-03-01 15:08:44Korupsi sering kali tidak hanya merupakan perilaku individu, tetapi juga dapat menjadi bagian dari budaya atau norma yang meluas di suatu masyarakat. Salah satu fenomena yang mencolok dalam konteks ini adalah apa yang sering disebut sebagai "budaya korupsi berjamaah." Istilah ini merujuk pada kondisi di mana korupsi tidak hanya dianggap biasa atau diterima, tetapi juga dipraktikkan secara kolektif oleh berbagai pihak di dalam suatu lingkungan sosial atau institusi.
Budaya korupsi berjamaah muncul ketika praktik korupsi menjadi terintegrasi ke dalam struktur sosial, politik, atau ekonomi suatu negara. Ini bisa berakar dari berbagai faktor, seperti kelemahan dalam sistem hukum, rendahnya transparansi, kurangnya akuntabilitas, atau bahkan norma sosial yang membenarkan perilaku koruptif. Dalam budaya korupsi berjamaah, orang-orang cenderung melihat korupsi sebagai cara yang efektif atau bahkan satu-satunya cara untuk mencapai tujuan mereka, baik itu mendapatkan keuntungan pribadi atau mempertahankan kekuasaan.
Salah satu ciri khas dari budaya korupsi berjamaah adalah adanya jaringan atau aliansi antara individu, kelompok, atau lembaga yang terlibat dalam praktik korupsi. Mereka saling mendukung dan melindungi satu sama lain, membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih sulit karena mereka memiliki kepentingan bersama untuk mempertahankan status quo koruptif.
Salah satu contoh kasus yang relevan untuk menggambarkan budaya korupsi berjamaah adalah kasus Sahrial Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian Indonesia. Dilansir dari laman situs detikNews.com, tanggal 29 Februari 2024, disebutkan bahwa Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) didakwa menerima gratifikasi dan memeras anak buah di Kementerian Pertanian (Kementan RI). Total anggaran yang diterima dan masuk ke kantong terdakwa dari hasil pemerasan tersebut mencapai Rp. 44,5 miliar.
Dijelaskan juga oleh Jaksa, praktek ini dilakukan sejak tahun 2020. Dalam melakukan aksinya, SYL memerintahkan staf Khusus Mentan, Imam Mujahid Fahmid untuk mengumpulkan dana patungan/sharing dari setiap anggaran di lingkungan Kementan. Pemotongan anggaran mencapai 20% dari setiap anggaran yang ada di Kementan. Pejabat lain yang diduga terlibat antara Kasdi Subagyono (Direktur Jenderal Perkebunan Tahun 2020), Muhammad Hatta dan Panji Harjanto (Ajudan Terdakwa).
Kasus ini tidak hanya mencerminkan perilaku individu yang koruptif, tetapi juga mengungkapkan adanya jaringan atau aliansi yang melibatkan beberapa pihak, termasuk pejabat pemerintah dan pihak swasta, yang terlibat dalam praktik korupsi.
Tindakan korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat tinggi seperti Limpo bukan hanya mencerminkan kurangnya integritas individu, tetapi juga mengindikasikan adanya sistem yang memfasilitasi dan bahkan membenarkan praktik korupsi. Budaya korupsi berjamaah dapat memungkinkan para pelaku korupsi untuk memanfaatkan posisi kekuasaan mereka tanpa takut akan konsekuensi hukum yang serius. Kasus seperti ini menyoroti urgensi untuk menghadapi budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di berbagai tingkatan pemerintahan, serta perlunya reformasi sistem yang mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Sebagai upaya pencegahan terjadinya tindakan korupsi yang dilakukan secara berjamaah, diperlukan penindakan hukum secara tegas agar para pelaku korupsi atau para abdi masyarakat maupun pejabat kapok untuk melakukan korupsi.
Selama ini, walaupun berbagai kasus tindak pidana korupsi telah terungkap dan berhasil disidangkan, namun seolah-olah tak membuat para abdi negara tersebut jera atau kapok. Hal ini terlihat jelas berdasarkan data dari KPK sebagaimana dikutip dari laman situs kpk.go.id, bahwa sejak tahun 2004 – 2023 tercatat sebanyak 1.681 Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di mana di antara profesi yang melakukan Tipikor tersebut ada di kalangan anggota DPR/DPRD, Lembaga Negara/Kementerian, Kepala Daerah sampai dengan pejabat Tingkat eselon I-IV.
Mungkin kita tahu dari berbagai informasi yang ada, bahwa tindakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh mereka sendiri, melainkan ada pihak-pihak lain yang turut serta di dalamnya. Oleh karena itu, sangat penting memahami dan mengungkap budaya korupsi berjamaah tidak dapat dilebih-lebihkan.
Tanpa upaya yang menyeluruh untuk mengatasi akar masalah yang menyuburkan praktik korupsi ini, upaya pemberantasan korupsi mungkin hanya akan menghasilkan hasil yang terbatas. Di sinilah perlunya untuk dapat mengidentifikasi, menganalisis, dan menghadapi budaya korupsi berjamaah sehingga menjadi kunci dalam memerangi korupsi secara efektif dan mewujudkan perubahan menuju tatanan yang lebih bersih dan berintegritas.
Terdapat beberapa upaya pemberantasan korupsi yang dapat membuat pelaku korupsi kapok atau menimbulkan efek jera yang signifikan. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat diterapkan dalam Upaya memerangi korupsi:
1. Penegakan Hukum yang Tegas
Penuntutan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi dapat memberikan efek jera yang kuat. Adanya hukuman yang berat dan tidak pandang bulu bagi pelaku korupsi akan membuat potensi risiko yang lebih besar daripada potensi keuntungan yang diperoleh dari tindakan koruptif. Di beberapa negara seperti Tiongkok dan Iran hukuman mati bahkan sering dijatuhkan bagi pejabat tinggi yang melakukan korupsi secara besar-besaran.
2. Sanksi Administratif dan Pembekuan Aset
Mengenakan sanksi administratif, seperti pencopotan jabatan atau pembekuan aset, terhadap pelaku korupsi dapat menjadi hukuman yang efektif dan membuat mereka kapok. Pembekuan aset juga dapat mengurangi insentif finansial untuk terlibat dalam praktik korupsi di masa depan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan kebijakan publik dapat mengurangi celah untuk melakukan tindakan korupsi.
Memastikan bahwa keputusan dan proses pengambilan keputusan terbuka untuk pengawasan publik dapat mengurangi kesempatan untuk melakukan korupsi tanpa diketahui.
4. Pendidikan dan Kampanye Anti-Korupsi
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi dan pentingnya integritas dapat mengurangi toleransi terhadap praktik korupsi. Kampanye anti-korupsi yang efektif dapat mengubah budaya sosial yang mungkin membenarkan atau memperbolehkan korupsi.
5. Mendorong Pelaporan Whistleblower
Membuat lingkungan yang aman dan mendukung bagi whistleblower untuk melaporkan praktik korupsi dapat membuka akses informasi tentang tindakan koruptif yang terjadi. Menjamin perlindungan hukum dan anonimitas bagi whistleblower adalah langkah penting untuk mendorong pelaporan yang lebih banyak.
6. Mengoptimalkan Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pemerintah harus berupaya mendorong optimalisasi tugas dan wewenang KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi, mulai dari pencegahan sampai dengan penindakkan.
7. Sanksi Sosial dan Reputasi
Adanya sanksi sosial dan reputasi bagi pelaku korupsi, seperti stigma dan penurunan kepercayaan publik, dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap karir dan kehidupan pribadi mereka. Reputasi yang rusak dapat membuat pelaku korupsi kesulitan untuk mendapatkan dukungan dan kesempatan di masa depan.
Dengan menerapkan upaya-upaya ini secara konsisten dan komprehensif, masyarakat dapat membangun sistem yang lebih tahan terhadap korupsi dan membuat pelaku korupsi merasa kapok atau mempertimbangkan ulang tindakan mereka karena potensi risiko dan konsekuensinya yang lebih besar.
Jadi, kapokmu kapan melakukan korupsi? Apakah menunggu hukuman yang sesungguhnya di Akhirat nanti?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.