Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rio Saka Pambudi

Privilege, Hak Istimewa yang Tak Semua Orang Punya

Gaya Hidup | Thursday, 29 Feb 2024, 11:46 WIB
Hak istimewa. Foto: pexels.com

Pada bulan puasa, sekitar tahun 2005, saya masih dalam usia sekolah dasar dan sedang bermain di siang bolong bersama teman-teman seumuran. Tiba-tiba salah seorang teman menceletuk, “Kalau disajikan ayam bakar dan disuruh langsung makan, kalian bakal membatalkan puasa, tidak?”. Seorang teman yang lain menjawab, bahwa dia langsung akan membatalkan puasanya jika ditawari menu ayam bakar. Sedangkan saya diam saja, tidak begitu tertarik karena bagi saya itu hanyalah menu ayam biasa.

Bertahun-tahun kemudian, setiap kali merenungi peristiwa tersebut, saya menyadari bahwa peristiwa tersebut merupakan pertama kalinya saya bersinggungan dengan privilege. Sebagai seorang pegawai negeri sipil, orangtua saya memiliki penghasilan tetap yang menjadikan ibu saya terkadang-kadang dapat belanja daging ayam. Selain itu, kadang ayah saya membawakan konsumsi sisa rapat yang seringnya dengan menu ayam goreng atau ayam bakar. Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak di lingkungan saya yang mayoritas merupakan anak petani atau buruh tani.

Menjadi anak dari orangtua yang pernah mengenyam bangku kuliah juga menjadikan saya mempunyai kesempatan untuk belajar, difasilitasi kertas-kertas buram untuk latihan hitungan matematika, dibelikan buku rangkuman pengetahuan alam, diberikan waktu tenang untuk belajar di malam hari tanpa gangguan suara televisi, dan masih banyak lagi. Semua hal itu tanpa saya sadari merupakan sebuah privilege.

Bukan hanya dalam hal pendidikan, dalam pergaulan dan akses informasi pun saya mendapatkan privilege. Dalam pergaulan, saya beruntung masuk ke sekolah menengah atas yang bisa dibilang sekolah favorit di kabupaten saya (lagi-lagi karena orangtua saya mendukung pendidikan anaknya). Dalam sekolah itu saya berteman dengan anak-anak yang mayoritas merupakan peraih nilai ujian nasional tertinggi di sekolah asalnya masing-masing dan mendapatkan pengembangan diri melalui ekstrakurikuler yang beragam. Dari sekolah itu pula saya mendapatkan pijakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, dan lagi-lagi saya dapat dengan mudahnya mendapatkan akses informasi mengenai beragam perguruan tinggi yang ada.

Hak Istimewa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, privilege diserap menjadi privilese yang berarti hak istimewa. Cambridge Dictionary mengartikan privilege sebagai keuntungan yang hanya dimiliki oleh satu orang atau sekelompok orang karena kedudukan mereka atau karena kekayaan mereka. Privilege identik dengan kemewahan, namun privilege bukan hanya tentang kemewahan.

Contoh sederhananya, lahir di Jawa bisa dibilang merupakan sebuah privilege karena terdapat infrastruktur dan transportasi yang lebih baik daripada pulau lainnya. Beragama muslim merupakan privilege karena merupakan agama mayoritas di Indonesia sehingga dapat mudah mengakses sarana ibadah dan kantor urusan agama. Tinggal di kota besar merupakan privilege karena terdapat banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan. Memiliki orangtua yang lengkap dan harmonis merupakan privilege. Bisa membeli barang-barang yang diinginkan tanpa harus menanggung kebutuhan orangtua atau menyekolahkan adik merupakan privilege. Bisa berwisata ke luar negeri sejak kecil dan memakai barang-barang branded karena memiliki orangtua yang kaya merupakan privilege.

Tone Deaf: Tidak Peka dengan Keadaan Orang Lain

Setiap orang memiliki keadaan yang berbeda, namun tidak semua orang menyadari keadaan orang lain. Saya sendiri, misalnya, dahulu menganggap anak-anak yang tidak lulus ujian nasional adalah anak-anak yang malas sekolah dan tidak tekun belajar. Padahal semua itu karena saya memiliki privilege, sedangkan mereka tidak. Saya bisa belajar dengan tenang di rumah bahkan dibelikan buku-buku untuk menunjang pembelajaran, sedangkan mereka harus membantu orangtuanya berdagang atau menggembala kambing sepulang sekolah. Saya memiliki akses informasi terkait pendidikan tinggi, sedangkan mereka terpengaruh lingkungan yang tidak mementingkan pendidikan. Orangtua saya menyiapkan biaya kuliah anaknya sejak dini, sedangkan orangtua mereka menanti-nanti anaknya lulus SMP agar bisa segera bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

Kondisi tidak peka terhadap keadaan orang lain bisa disebut tone deaf. Tone deaf bisa diartikan tuli nada, yaitu ketidakmampuan untuk memahami nada atau musik. Dalam konteks sosial ekonomi, tone deaf merujuk pada seseorang yang tidak mempu memahami keadaan sosial dan ekonomi orang lain. Urban Dictionary mendefinisikan tone deaf sebagai seseorang yang tidak menyadari keadaan sosial dan situasi secara umum dan tidak peka terhadap tanda-tanda sosial yang mencolok.

Agar tidak menjadi tone deaf, kita harus peka dengan keadaan orang lain. Untuk menjadi peka, kita harus memahami bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Dan untuk memahami orang lain, kita harus memiliki empati. Empati dapat ditumbuhkan dengan cara keluar dari lingkungan kita, memperbanyak pergaulan dengan orang-orang kondisi sosial-ekonominya di bawah kita, dan banyak mendengarkan sudut pandang mereka tanpa terburu-buru menghakimi.

Mungkin kita menganggap biaya sebesar lima juta untuk membayar satu semester kuliah bukanlah nominal yang besar, tapi kita harus melihat bahwa tidak semua orang memiliki penghasilan sebesar orangtua kita. Mungkin kita menganggap mudah mengakses internet, tapi kita harus melihat bahwa tidak semua wilayah tersentuh internet, tidak semua orang bisa membeli paket internet, dan tidak semua orang bisa membeli smartphone atau laptop. Mungkin kita menganggap bahwa orang yang sudah bekerja bertahun-tahun harusnya mampu membeli rumah, tapi kita juga harus melihat bahwa terdapat pekerja yang harus menanggung kebutuhan orangtuanya dan menyekolahkan adiknya.

Untuk itulah kita memerlukan empati.

Rio Saka Pambudi, penulis novel Titik Potong (Diandra, 2021), kini tinggal di Kota Bekasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image