Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Mengejar yang Sudah Dijamin, Mengabaikan yang Belum Dijamin

Risalah | Thursday, 22 Feb 2024, 14:36 WIB

MENGEJAR YANG SUDAH DIJAMIN, MENGABAIKAN YANG BELUM DIJAMIN

Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rejekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” Q.S. Hud: 6

Sebagai seorang Muslim, kita semua meyakini dengan sepenuh hati bahwa rejeki merupakan perihal yang sudah dijamin oleh Allah SWT. Banyak dalil dari Al Qur’an maupun Hadits yang menerangkan soal itu. Salah satu diantaranya adalah yang saya kutip di atas.

Jangankan manusia, bahkan makhluk bernyawa yang sangat kecil sekalipun, sudah memiliki jatah rejekinya masing-masing. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore harinya pulang dalam keadaan kenyang." Musnad Imam Ahmad (1/438) dan Ibnu Majah (2/1394), al-Mustadrak 'ala shahihain (4/354).

Dengan demikian, sebagai seorang yang beriman, kita tak perlu khawatir lagi soal rejeki. Sekali lagi SUDAH DIJAMIN. Itu janji Allah kepada semua mahkluk ciptaanNya. Dan Dia tidak akan pernah mengingkari janji.

Tugas manusia yaitu berusaha (berikhtiar) sebaik mungkin. Ini sunnatullah. Hukum alam. Rejeki akan datang kalau kita menjemputnya. Cara menjemput rejeki banyak macamnya, bisa dengan bekerja, berdagang, bertani atau berkebun, memberikan layanan jasa, dan sebagainya. Intinya, kita harus bergerak. Seperti burung yang terbang jauh di pagi hari, dan pulang dalam keadaan kenyang di sore hari.

Kalimat “sudah dijamin” jangan sampai disalahartikan. Wong sudah dijamin, saya tak perlu ngapa-ngapain dah. Saya diam saja, duduk santai, atau bermalas-malasan. Kalau sudah rejekinya nanti juga datang sendiri. Kan sudah dijamin. Ini bukan meyakini ayat-ayat Allah melainkan mencari pembenaran diri.

Akan tetapi, bekerja secara berlebihan pun tidaklah bijaksana. Bekerja siang-malam tanpa henti, sampai-sampai melupakan keluarga dan beribadah. Atau bekerja dengan tujuan serakah, mencari uang sebanyak-banyaknya atau menumpuk-numpuk harta seakan dia akan hidup selamanya. Apalagi bekerja secara haram, seperti menjadi pelacur, pencuri, penipu, dll.

sumber gambar https://islam.nu.or.id

Mengabaikan yang Belum Dijamin

Kalau rejeki sudah dijamin, berbeda halnya dengan nasib di akhirat. Kita tidak ada yang tahu nanti bakal masuk surga atau masuk neraka. Ini namanya perihal ketidakpastian alias belum ada jaminan.

Bahkan, yang banyak amal kebaikannya saja bisa berakhir suul khatimah, dimasukkan ke neraka. Sebaliknya ada yang banyak amal keburukannya tapi malah bisa husnul khatimah, dan dimasukkan ke surga. Ini juga soal ketidakpastian alias belum ada jaminan.

Ya, logikanya sih kalau kita lebih banyak amal baiknya akan dimasukkan ke surga. Sebaliknya, jika kita lebih banyak amal buruknya akan dimasukkan ke dalam neraka. Logikanya begitu. Akan tetapi, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi tidak berlakunya logika tersebut.

Misalnya, orang yang banyak beramal saleh, tapi didasari oleh sifat riya’ (pamer). Atau orang yang rajin beribadah tapi mati dalam keadaan sedang bermaksiat (sedang berzina, mabuk, mencuri, menganiaya, dll). Atau orang yang banyak menzalimi orang lain, sehingga pahala amal baiknya dipindahkan kepada orang yang dianiaya.

Namun, sayang seribu kali sayang. Meskipun BELUM DIJAMIN, kebanyakan manusia mengabaikan akan nasib di akhirat. Biarpun dia percaya kepada Allah dan melaksanakan shalat lima waktu, tapi belum tentu benar-benar yakin akan adanya hari akhirat. Parahnya lagi, ada yang mengaku Muslim tapi sama sekali tidak percaya pada yaumul hisab.

Oleh karena itu, mereka tidak menyiapkan bekal akhirat dengan sebaik-baiknya. Mereka shalat sekedar menggugurkan kewajiban (Jawa=rubuh-rubuh gedhang), malas melakukan amalan sunnah, hidup hanya mementingkan diri sendiri, mengutamakan kesalehan pribadi dan melupakan kesalehan sosial, hubbun dunya (terlalu cinta dunia), “menjual” agama demi keuntungan dunia, dan masih banyak lagi.

Penutup

Pilihan yang terbaik adalah keseimbangan di antara keduanya. Jangan sampai mencari dunia saja dan melupakan akhirat, atau mencari akhirat saja dan melupakan dunia. Keduanya sama-sama penting. Selepas kehidupan dunia akan ada kehidupan akhirat. Untuk menuju akhirat harus menjalani kehidupan di dunia terlebih dahulu.

Sebagaimana doa yang sering kita panjatkan setiap hari, “Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah” (Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat).

Saya tutup tulisan ini dengan mengutip Q.S. Asy-Syura: 20, “Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.”

Kejarlah akhiratmu, maka dunia akan mengikutimu.

Referensi:

Siraman rohani di RDS FM 101,4 Solo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image