Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edu Sufistik

Menanamkan Budaya Membaca dan Menulis pada Anak

Eduaksi | Tuesday, 20 Feb 2024, 18:36 WIB

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Saya lahir di tengah keluarga sederhana. Abah seorang guru ngaji dan emak seorang ibu rumah tangga. Secara pendidikan formal abah hanya lulus Sekolah Dasar, sementara emak hanya sempat sekolah sampai kelas IV Sekolah Dasar. Namun, saya bersyukur karena abah memiliki perhatian terhadap ilmu. Semampunya abah membeli buku-buku bacaan untuk anak-anaknya.

Saya, yang ketika itu, mulai masuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), mulai membaca buku-buku bacaan yang dibeli abah. Dari sinilah kebiasaan membaca tertanam dan secara perlahan menjadi cinta membaca. Demi menyalurkan hasrat membaca, saya rutin meminjam majalah bobo, yang ketika itu populer, kepada teman.

Ketika itu, di sekolah kami tidak ada perpustakaan. Saat saya kelas IV SD, mulai ada program perpustakaan keliling dari kecamatan. Saat perpustakaan keliling mampir ke sekolah kami, saya senang bukan kepalang. Saya segera memilih buku-buku bacaan yang tersedia. Saya masih ingat, ketika itu saya meraih buku berjudul Nyi Ageng Serang. Kepala sekolah menepuk bahu saya seraya berujar, “Bagus pilihan bukunya.” Saya hanya tersenyum dan bergegas mencari tempat untuk membaca.

Kebiasaan membaca secara perlahan mulai mengantarkan saya belajar menulis. Mulai dari yang sederhana; menulis diary dan kemudian belajar menulis puisi. Ketika jenjang Madrasah Aliyah (setingkat SMA), saya menjuarai lomba menulis puisi di sekolah. Puisi yang saya tulis berjudul, Wajah. Isinya kritik terhadap pemerintah Indonesia saat itu yang korup, kolusi, dan nepotisme, serta gagal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.

Semasa kuliah saya mulai belajar menulis resensi, cerpen, esai, dan opini. Esai saya yang berjudul Fundamentalisme Mahasiswa: Belajar Memahami Bukan Menghakimi menjadi salah satu dari lima esai terbaik nasional dan mendapatkan penghargaan pada ajang Ahmad Wahib Award. Ketika semester V, saya mulai belajar menulis buku. Buku pertama saya terbit saat semester VIII. Diterbitkan oleh sebuah penerbit nasional. Bukan kepalang senangnya. Terlebih ketika sekian banyak pembaca merasakan manfaat dan memberikan apresiasi.

Bersyukur, saya diberikan kesempatan untuk terus menulis sebagai ruang aktualisasi dan kontribusi mencerdaskan bangsa. Sampai tulisan ini dibuat, saya menulis dan menerbitkan lima puluh lima buku. Lima di antaranya diterjemahkan ke Bahasa Melayu dan terbit di Malaysia, dua buku menjadi objek penelitian skripsi, dan 182 citacy google scholar.

Berkaca dari pengamalan di atas. Meski itu pengalaman personal, namun saya kira memiliki pola yang berlaku umum. Yakni, kebiasaan membaca sedari kecil akan melahirkan budaya literasi yang baik. Dari sini akan melahirkan budaya membaca dan menulis. Bayangkan, jika anak-anak Indonesia memiliki kebiasaan membaca dan menulis sedari kecil, maka bangsa ini akan menjadi bangsa literat. Bangsa yang memiliki tradisi keilmuan yang baik.

Tantangan Gadget

Sayangnya hari ini anak-anak kita terjauhkan dari budaya membaca, apatah lagi menulis. Gadget menjadi tantangan terbesar bagi para pendidik, baik orangtua maupun guru, untuk bisa menanamkan budaya membaca dan menulis. Anak-anak lebih suka asyik dengan gadget daripada buku. Masalahnya, gadget tersebut bukan untuk mengakses ilmu pengetahuan, melainkan lebih banyak digunakan untuk bermain game online atau bermedia sosial ria.

Oleh karena itu, para pendidik harus memiliki strategi dalam menumbuhkan budaya membaca kepada anak-anak dan murid-muridnya. Mari kita mulai dari rumah. Orangtua harus menyediakan buku bacaan bermutu bagi anak-anaknya. Namun, tidak boleh berhenti sampai di situ. Jadwalkan bersama anak untuk membaca buku bersama. Jika anak masih balita, maka orangtuanya yang membacakan dengan penuh ekspresi dan intonasi agar anak menikmati wisata bacaan.

Jika anak sudah bisa membaca, arahkan untuk membaca secara mandiri. Selepas membaca, minta anak untuk menceritakan isi bacaannya dengan kalimatnya sendiri. Berikan apreasiasi ketika anak mampu menyampaikan isi buku bacaannya. Kemudian, tantang anak untuk membaca buku lainnya dan menceritakan kembali pada kesempatan berikutnya.

Jika anak sudah terbiasa membaca dan menceritakan isi buku yang dibacanya, latih anak untuk mulai belajar menulis. Menulis adalah keterampilan yang membutuhkan latihan dan pembiasaan. Menuangkan gagasan dalam pikiran menjadi sebuah tulisan, melibatkan serangkaian proses berpikir tingkat tinggi. Di dalamnya ada aktivitas menghubungkan berbagai informasi, menganalisis dan menemukan relevansinya, sampai melakukan sintesis atas berbagai informasi, sehingga menjadi gagasan baru.

Proses di atas sudah pasti membutuhkan waktu tidak sebentar. Di sinilah konsistensi orangtua diuji. Orangtua perlu berlelah dan bersabar dalam menumbuhkan budaya membaca dan menulis kepada anak-anaknya. Bayangkan buahnya jika anak-anak sudah terinternalisasi budaya membaca dan menulis, maka tanpa perlu diminta mereka akan seperti “kecanduan” membaca dan menulis. Inilah buah manis atas pengorbanan orangtua.

Masalahnya, tidak semua orangtua mampu menghadirkan buku bacaan bermutu di rumah-rumah mereka. Harga buku yang tidak murah, belum lagi di tambah ongkos kirim menjadi beban berat bagi para orangtua yang penghasilannya tidak seberapa. Di sinilah peran gotong royong masyarakat untuk menghadirkan buku bacaan bermutu. Tanpa harus menunggu aksi nyata pemerintah, masyarakat bisa mengambil inisiatif dengan menginisiasi perpustakaan berbasis RT.

Bentuk dan bangun komunitas literasi di masyarakat. Buka akses donasi buku-buku dari para penerbit, lembaga sosial, dan pemerintah. Kemudian, langkah yang terpenting adalah membuat program-program literasi bermutu bagi anak-anak di lingkungan masyarakat. Poin terakhir ini yang tidak mudah. Paparan gadget yang kadung melanda anak-anak menjadi tantangan serius. Program-program literasi yang diinisiasi harus mampu bersaing dengan gadget.

Namun demikian, kita dipaksa untuk berbuat jika tidak ingin anak-anak kita menjadi generasi yang tumpul dan lemah. Hanya dengan intensitas bersentuhan dengan buku, akan tertanam budaya membaca dan menulis pada diri anak-anak. Dan, budaya membaca dan menulis adalah modal penting untuk membangun peradaban.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image