Jejak Arkeologis di Ulujami, Benarkah Makam Syeikh Guntur Malaya?
Sejarah | 2024-02-19 16:17:51Daerah Ulujami merupakan sebuah kawasan yang berada di Selatan Jakarta, tepatnya sebagai nama Kelurahan yang masuk dalam administratif Kecamatan Pesanggrahan. Sepintas, kalau melihat kawasan Kelurahan Ulujami sama halnya dengan kawasan kelurahan yang ada di Kota Jakarta. Padat penduduk, ramai, dan modern. Tetapi kota tidak lahir dengan tiba-tiba, kota memiliki beragam jejak masa lampau yang kemudian membuatnya disebut paling modern.
Jejak itu salah satunya berupa jejak arkeologis, yang mana terdapat makam tua yang ditemukan masyarakat setempat sejak lama di Jl. H. Rohimin RT.17 RW.03. Pengertian arkeologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengacu pada ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda peninggalannya seperti patung dan perkakas rumah tangga. Dalam hal ini, jejak temuannya berupa batu nisan yang ada pada dua buah makam yang berdampingan namun tidak dikenali secara pasti identitasnya sampai sekarang.
Kedua makam tersebut secara sepintas pernah dibahas dalam Buku Silat Beksi dan Tokoh-Tokohnya di Petukangan karya Reyhan Biadillah tahun 2021. Menurutnya, berdasarkan penuturan warga setempat salah satu makam itu ialah Makam Ki Ageng Guntur Malaya dan istrinya. Tidak ada keterangan lebih jauh siapa Ki Ageng Guntur Malaya dalam buku tersebut, tetapi penulis memperkirakan bahwa makam itu berasal dari abad ke-19 berdasarkan hasil pembandingan nisan makam yang didapatkan dalam sumber buku karya Uka Tjandrasasmita berjudul Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, 2000.
Berdasarkan observasi langsung ke lokasi, penulis sempat mewawancarai kesaksian warga setempat tentang makam tersebut. Keterangan dari Sukiyah bin Beno bin H. Rohimin, wanita berusia sekitar 60-an yang juga warga sejak turun-temurun tinggal di Ulujami mengatakan kalau makam itu sudah sejak lama ada ketika masa kakeknya hidup. "Dulu mah ini makam tenggelem, keliatan dikit doang. Karena diceker-ceker (tergali sedikit demi sedikit) mulai keliatan makin timbul," kata Sukiyah dengan logat Betawinya.
Sukiyah juga menceritakan kalau makam ini sering diziarahi orang-orang setempat maupun datang dari luar. Biasanya menjelang puasa makam ini dikunjungi orang dan menaburkan kembang di atasnya. Selain itu, pengalaman lainnya terkait dengan makam ini Sukiyah bercerita kalau dahulu pernah ada seorang pria sore-sore dengan pakaian serba hitam berambut gondrong datang dan meminta izin kepada Sukiyah sebagai warga yang paling dekat rumahnya dengan makam. Pria itu berkata kalau ia berserta rombongan sekitar 30 orang akan melakukan pengajian di depan makam pada pukul 03.00 dini hari nanti. Sukiyah mengizinkan namun sampai pada waktu yang dikatakan tersebut, pria dan rombongannya tidak datang.
Batu nisan pada makam memang ada, namun kondisinya rusak dan sepertinya salah satunya patah, entah secara alami atau sengaja sehingga tidak kelihatan ada inskripsi yang mampu menjelaskan. Batu nisan itu hanya menunjukan ukiran dekorasi bukan ukiran dari yang menunjukan tulisan keterangan. Adapun batu-batu lainnya melingkari dengan membentuk persegi di antara kedua makam tersebut. Terdapat pula beberapa batu bata model lama di pinggirannya, entah bagian dari makam atau bukan tetapi barang-barang model lama yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seperti padasan atau tempat menampung air pada masa dahulu menunjukan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan yang sudah lama eksis ditinggali.
Kembali pada pernyataan Sukiyah bin Beno bin H. Rohimin bahwa kedua makam tersebut sudah ada sejak masa kakeknya masih hidup. Sukiyah kini usianya sudah setengah abad lebih, maka ada dua generasi yang lalu juga melihat makam ini yaitu Almarhum Beno, ayahnya dan Almarhum H. Rohimin, kakeknya. Kalau dua generasi yang lalu masing-masing dihitung masa hidupnya 50 tahun, maka paling tidak sudah 150 tahun makam ini sudah ada. Meskipun orang-orang tua dahulu usianya panjang lebih dari 50 tahun bahkan H. Rohimin, kakek Sukiyah usianya mencapai hampir 80 tahun.
Pencarian dalam beberapa literasi tentang keterangan Ki Ageng Guntur Malaya sampai saat ini belum ditemukan. Dilihat dari namanya yang disangkutkan dengan Semenanjung Malaya, apakah benar ia berasal dari sana dataran Malaya/Malaka? Kalau benar demikian, dalam rangka apa ia sampai ke Ulujami? Beragam pertanyaan akan muncul tentunya. Sebelum itu, pertanyaan yang paling awal ialah dari mana penamaan Ki Ageng Guntur Malaya tersebut?
Supyadi, seorang pria berusia 40-an warga yang juga tinggal dekat makam bercerita kalau penamaan itu didapatkan berdasarkan petunjuk dari Romo Yayi, Guru besar Jamaah Wahidiyah yang ketika tausiah di Kedung Loh, pinggir Kali Brantas. Romo Yayi menyebutkan akan ada peristiwa petir menyambar dengan hebat di sebuah tempat dan menandakan sesuatu. "Waktu itu sore sekitar habis Ahsar hujan deras, saya dan beberapa teman pengajian duduk bersama, tafakur dalam saung di sini (dekat makam). Tiba-tiba petir menyambar pohon kelapa dengan keras dan terbakar. Kami yang berada di dalam saung benar-benar kaget dan akibatnya dua orang teman saya budek selama tiga hari. Sejak itulah kami berpikir, mungkin inilah peristiwa yang disebutkan guru kami waktu itu, sehingga kami menandai makam ini dengan Guntur, Ki Guntur. Untuk penyebutan Malaka atau Malaya itu penamaan dugaan para peziarah saja entah bagaimana keterangan itu juga didapatkan tapi kemudian nama itu populer sampai sekarang," kata Supyadi yang juga anggota Jamaah Wahidiyah.
Narasumber lain R.M Effendy, seorang pria berusia 90 tahun mendekati 100 tahun yang juga warga setempat ketika diwawancara beberapa waktu lalu menyebutkan kalau ia menduga tokoh yang dimakamkan tersebut berasal dari abad ke-16. Tokoh tersebut merupakan penasihat atau duta dari Cirebon untuk Banten yang mana waktu itu Kesultanan Banten sedang dikembangkan di bawah arahan Syarif Hidayatullah. Belum ada bukti kuat untuk membuktikannya memang, tetapi dugaan-dugaan itu memperkaya diskusi sehingga memperdalam kajian.
Secara struktur, batu nisan pada makam yang diyakini masyarakat setempat ialah Ki Ageng Guntur Malaya, jika dibandingkan dengan tipologi yang diklasifikasikan oleh Othman Mohd. Yatim dalam jurnal yang dipublikasikan oleh Brill karya Elizabeth Lambourn berjudul Tombstone, Texts, and Typologies: Seeing Sources for the Early History of Islam in Southeast Asia, 2008, dapat juga diduga makam Ki Ageng Guntur Malaya berasal dari kurun waktu 1700-1800-an. Jurnal itu menguatkan kalau sejarah wilayah akan mustahil tanpa menemukan atau setidaknya satu referensi tentang batu nisan yang menandakan seseorang bagian dari kerajaan atau wali yang mengislamkan kawasan itu pada masa lalu.
Lebih jauh lagi, Lambourn menjelaskan dalam artikelnya kalau batu nisan pada masa lampau telah digunakan sebagai objek produksi atau komoditas di wilayah maritim Asia Tenggara dalam jumlah yang sangat besar terutama yang disebut nisan Batu Aceh, seperti halnya keramik. Bahkan Sultan Iskandar Tsani mengirimkan nisan Batu Aceh ke Pahang untuk kuburan kerabatnya, bukan dipasangkan batu nisan yang ada di sana. Hal ini dilakukan untuk menandai garis keturunan dan kerabat bagi generasi yang akan datang sekaligus memberikan sinyal visual bahwa adanya hubungan Kesultanan Aceh dengan wilayah tersebut. Uniknya praktik ini telah dilakukan sejak sebelum abad ke-17. Kalau demikian, bisa jadi makam Ki Ageng Guntur Malaya memang berasal dari Semenanjung Malaya atau Malaka mengingat kuatnya pengaruh Kesultanan Aceh pada waktu itu khususnya bagi dunia maritim Asia Tenggara.
Editor: Muhamad Rido
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.