Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Data Tidak Bisa Menyenangkan Pihak yang Kalah

Politik | Monday, 19 Feb 2024, 15:31 WIB
Foto: https://palpres.disway.id/

Seorang pollster, Pangi Syarwi Chaniago, tepatnya Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, membuat pernyataan yang menarik. Ia bilang: data tidak bisa menyenangkan pihak yang kalah. Mendengar ucapan itu, tak bisa tidak, pikiran saya tergelitik sembari tak bisa menahan gelak tawa.

Pangi bicara jujur, memangnya ada pihak yang kalah tapi senang dengan kekalahannya? Tak ada! Sebaliknya, data hanya bisa menyenangkan pihak yang menang. Pangi, dan juga pikiranku, terbawa pada satu masa pada pilkada-pilkada yang lain di mana saat itu, metode hitung cepat sudah digunakan.

Tahun 2013 dan 2018, Ganjar Pranowo senang bukan main saat menerima hasil perhitungan cepat (quick count) yang memenangkan dirinya. Pada 2013, Ganjar langsung bergerak cepat pasca hitungan cepat yang memenangkannya dengan menemui lawan-lawannya seperti salah satunya Bibit Waluyo. Pada 2018, Ganjar menerima dengan senang hati ucapan selamat dari berbagai pihak saat dinyatakan menang berdasarkan hasil hitung cepat.

Poinnya di sini: pada Pilkada Jawa Tengah 2013 dan 2018, data hasil hitung cepat saat itu menyenangkan pihak yang menang, Ganjar Pranowo. Sebaliknya, data QC 2013 tidak bisa menyenangkan Bibit Waluyo dan rival-rival Ganjar lainnya, karena mereka berada di pihak yang kalah. Begitu pula data QC 2018 di Pilkada Jateng tak dapat menyenangkan Sudirman Said, sebab ia pihak yang kalah.

Pada putaran kedua Pilkada DKI 2017, data tidak bisa menyenangkan pihak Ahok. Sebab ia kalah berdasarkan hitung cepat itu. Sebaliknya, Anies menyambut kemenangan hitung cepat itu dengan riang gembira, dengan pidato kemenangan. Data menyenangkan Anies saat itu.

Dari cerita-cerita ini, Ganjar dan Anies menerima hasil QC. Mengapa saat ini, saat mereka kalah di Pilpres 2024, mereka tidak bisa menerima kekalahan ini? Di sinilah harusnya mereka menyadari: data tidak bisa menyenangkan pihak yang kalah. Jadi persoalan penolakan mereka – 01 dan 03 – atas QC kali ini bisa dibaca sebagai hukum sejarah, bahwa mereka hanya tidak senang dengan kekalahan. Mereka tidak bisa atau belum bisa menerima kekalahan.

Delegitimasi Hasil QC

Dari sini kemudian muncul berbagai upaya sebagai bagian dari penolakan atas kekalahan mereka. Pertama, polanya adalah dengan mendelegitimasi QC. Padahal, jika mereka mau bersikap objektif dan mengedepankan akal sehat, maka kita bisa melihat objektivitas dari kerja-kerja dari metode hitung cepat. Pangi menjelaskan beberapa hal terkait kerja hitung cepat dari lembaga survei itu. Pertama, ia berpijak pada metodologi, sampling dan lainnya secara sangat ketat dan ilmiah. Lantaran pijakannya pada metodologi yang ketat dan ilmiah, maka hasilnya dapat dipertanggung jawabkan baik secara etik maupun ilmiah.

Kedua, teknik pengambilan sampel (sampling) dari hitung cepat juga tidak bisa dipandang sebagai ‘main-main’. Pangi menyebut bahwa dalam proses itu ada yang disebut sebagai ‘probability sampling’. Artinya, bahwa semua TPS punya kemungkinan atau punya peluang untuk terpilih sebagai sampel itu. Dan dalam pengambilan sampel itu – atau ‘probability sampling – dilakukan oleh seorang yang ahli. Penting juga diketahui oleh publik bahwa sampel itu sudah ditentukan sebelum pencoblosan berlangsung.

Apa yang disebutkan oleh Pangi ini dilakukan oleh semua lembaga survei. Dengan kata lain, lembaga survei mana pun, yang bertindak atas nama objektivitas sains, sudah pasti mengikuti metode objektif yang disebutkan oleh Pangi di atas. Dengan cara kerja tersebut, terbukti bahwa semua lembaga survei memiliki kesamaan bahwa Prabowo-Gibran yang unggul, meski pun angkanya bervariatif. Mestinya ini bisa dibaca secara objektif, bahwa tidak mungkin QC curang menyajikan data.

Bangun Narasi Kecurangan

Beredar video pernyataan lama dari Mahfud MD yang menyebut bahwa perhelatan demokrasi tidak bisa lepas dari riuh dan gaduh dari narasi kecurangan. Menurut Mahfud, narasi curang biasanya muncul dari pihak yang kalah, terlepas pada akhirnya mereka – pihak penuduh yang kalah – gagal di dalam mengajukan bukti-bukti kecurangan yang dituduhkan kepada pihak yang menang.

Pernyataan Mahfud MD masih terus relevan hingga saat ini. Sayangnya, kali ini di Pilpres 2024, ia sebagai cawapres Ganjar Pranowo, menjadi pihak yang kalah. Pihak 01 dan 03 – di mana Mahfud berada – bersikap menolak hasil hitung cepat, dan membangun narasi kecurangan. Sudah tentu, berdasarkan pernyataan lawasnya, ia juga harus berani menghadirkan bukti-bukti kecurangannya.

Ada pernyataan tambahan dari Mahfud MD, bahwa pihak penuduh hanya mungkin bisa menganulir hasil, hanya jika selisih suaranya sedikit. Bagaimana jika selisih kekalahannya sangat jauh? Maka mau tak mau, pihak penuduh harus bisa membuktikan data kecurangan itu berdasarkan selisih sebesar suara itu. Jika tidak bisa, maka itu tidak bisa mengubah hasil pemilu.

Sebagai publik, kita hanya berharap bahwa pihak penuduh mengambil langkah secara bijaksana, menempuh instrumen hukum secara benar, membuktikan tuduhannya berdasarkan data-data yang kuat. Perlihatkan kepada rakyat bahwa mereka bisa bertarung secara elegan. Jangan membangun narasi curang hanya bermodal cuap-cuap saja. Sebab itu hanya mendidihkan kemarahan publik.

Konter tuduhan curang

Komentar Mahfud yang kalah pasti protes

Kebenaran QC (bela argumentasi metode ilmiahnya)

Gap jauh

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image