Kenapa Perempuan Lebih Mungkin Terkena Penyakit Autoimun?
Info Sehat | 2024-02-13 06:12:39PEREMPUAN jauh lebih mungkin terkena penyakit autoimun daripada pria. Penelitian terakhir akhirnya dapat menjelaskan alasannya.
Penyakit autoimun terjadi ketika pertahanan alami tubuh, atau sistem kekebalan tubuh, menyerang jaringan tubuh. Para peneliti dari Stanford University di California mengatakan bahwa alasannya mungkin terkait dengan bagaimana tubuh menangani kromosom X kedua perempuan.
E John Wherry, ahli imunologi di University of Pennsylvania, mengatakan bahwa hasil penelitian terbaru mengubah cara kita berpikir tentang seluruh proses autoimun.
Gangguan autoimun di antaranya saja adalah rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, dan banyak penyakit lainnya. Sekitar empat dari setiap lima pasien dengan gangguan autoimun adalah kaum perempuan. Para ilmuwan telah mencoba mencari tahu mengapa hal ini terjadi selama bertahun-tahun.
Salah satu teorinya adalah kromosom X mungkin menjadi penyebabnya. Perempuan memiliki dua kromosom X sementara pria memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y.
Penelitian baru baru-baru ini yang hasilnya dipublikasikan di jurnal Cell menunjukkan bahwa kromosom X ekstra terlibat, tapi dengan cara yang tidak terduga.
Seperti kita ketahui, DNA [deoxyribonucleic acid] kita dibawa ke dalam setiap sel dalam 23 pasang kromosom, termasuk pasangan terakhir yang menentukan jenis kelamin biologis. Kromosom X mengandung ratusan gen, jauh lebih banyak daripada kromosom Y yang jauh lebih kecil pada laki-laki.
Setiap sel perempuan harus mematikan salah satu salinan kromosom X-nya untuk menghindari jumlah ganda yang berbahaya dari semua gen tersebut. Para ilmuwan menyebut proses ini sebagai inaktivasi kromosom X.
Suatu jenis RNA [ribonucleic acid] khusus, yang disebut Xist, melakukan inaktivasi kromosom X. Xist adalah rantai RNA yang panjang. RNA ini berkumpul di area di sepanjang kromosom X ekstra sel dan menarik protein yang terhubung dengannya dalam massa yang tidak biasa. Kemudian membungkam kromosom tersebut.
Howard Chang, dokter kulit di Universitas Stanford, mengeksplorasi bagaimana Xist melakukan tugasnya ketika laboratoriumnya menemukan hampir 100 protein yang menempel. Chang melihat bahwa banyak dari protein tersebut terkait dengan gangguan autoimun yang berhubungan dengan kulit. Pasien dapat memiliki "autoantibodi" yang secara keliru menyerang protein-protein normal ini.
Chang mengatakan kepada The Associated Press bahwa hal tersebut adalah yang sudah diketahui. "Namun, bagaimana dengan protein lain di Xist?" tanyanya.
Dia menambahkan bahwa molekul tersebut, yang hanya ditemukan pada perempuan, mungkin entah bagaimana mengatur protein sedemikian rupa untuk mengaktifkan sistem kekebalan tubuh.
Jika benar, Xist dengan sendirinya tidak dapat menyebabkan penyakit autoimun. Jika benar pula, maka semua perempuan akan terkena dampaknya. Para ilmuwan telah lama menduga bahwa dibutuhkan kombinasi beberapa gen dan peristiwa lingkungan, seperti infeksi atau cedera, agar sistem kekebalan tubuh dapat menyebabkan masalah. Sebagai contoh, virus Epstein-Barr dikaitkan dengan multiple sclerosis.
Untuk penelitian masalah ini, Chang beserta tim memutuskan untuk memproduksi tikus laboratorium jantan untuk membuat Xist secara artifisial, tanpa mematikan satu-satunya kromosom X mereka, dan melihat apa yang terjadi. Para peneliti juga secara khusus membiakkan tikus yang rentan mengembangkan kondisi seperti lupus. Kondisi ini dapat dipicu oleh bahan kimia tertentu.
Xist membentuk massa protein yang biasa. Ketika bahan kimia tersebut digunakan, tikus jantan dengan Xist mengembangkan autoimunitas mirip lupus pada tingkat yang mirip dengan betina, tim peneliti menemukan.
Chang menjelasakan bahwa hal tersebut sangat penting, agar RNA Xist bocor keluar dari sel ke tempat di mana sistem kekebalan tubuh dapat melihatnya.
Namun ia menambahkan bahwa peristiwa lingkungan masih diperlukan untuk memulai proses tersebut.
Selain tikus, para peneliti juga mengamati darah dari 100 pasien. Mereka menemukan autoantibodi yang menargetkan protein terkait Xist yang sebelumnya tidak pernah dikaitkan oleh para ilmuwan dengan gangguan autoimun. Chang mengatakan salah satu alasan yang mungkin adalah karena sebagian besar tes untuk autoimun dilakukan dengan menggunakan sel pria.
Penelitian lebih lanjut tentu saja diperlukan. Namun, E John Wherry, ahli imunologi di Penn, mengatakan bahwa temuan ini dapat memberikan dokter jalan yang lebih pendek untuk mendiagnosis pasien.
Wherry mengatakan seorang pasien mungkin memiliki autoantibodi terhadap Protein A dan pasien lain mungkin memiliki autoantibodi terhadap Protein C dan D. Tetapi, menurutnya, mengetahui bahwa mereka semua terkait dengan Xist RNA dapat membantu dokter menemukan penyakit dengan lebih mudah.***
Sumber: Associated Press, Voice of America
--
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.