Sembako Pemilu
Politik | 2024-02-08 13:50:44Pagi ini di kampung nun jauh di sana, ada yang mengirim sembako ke rumah-rumah warga, berisi beras, minyak kemasan, gula, dan juga sebungkus biskuit, dibungkus dalam _tote bag_ tanpa nama, persis sama dengan berkat yang biasa didapatkan jika kebetulan ada tetangga yang tasyakuran nikahan atau khitanan.
Pesan yang disampaikan oleh pengantar paket berkat sembako ini sederhana saja, dengan bisikan lirih pengantarnya berkata: “Jangan lupa, nanti pas hari-H nya, ya!”. Meski tanpa pesan yang eksplisit, rasanya warga yang dikirimi paket ini sudah mafhum maksudnya apa.
Menjelang hari-H pencoblosan, semakin atraktif cara yang dilakukan oleh masing calon yang ingin terpilih untuk ‘menjajakan’ dirinya agar dapat memikat dan akhirnya dipilih. Hal ini tentu sah-sah saja dilakukan, sepanjang tidak ketahuan oleh wasit (KPU-red) tentunya.
Jika jauh hari sebelum pencoblosan dinamakan dengan edukasi pemilih yang diakhiri dengan ramah tamah yang penuh makna dan pembagian amplop kadedeuh, mendekati hari pencoblosan tentu perlu strategi yang lebih tepat sasaran.
Sekantung sembako sering dipilih sebagai pengiring pengantar pesan, karena mudah dimengerti oleh sebagian besar masyarakat. Bagaimana tidak? Ditengah-tengah kenaikan harga yang mungkin juga di desain oleh pihak-pihak yang berkepentingan, pembagian paket sembako ini layaknya oase di tengah gurun, jawaban dari doa panjang yang dilantunkan dikeheningan alat-alat dapur yang sejenak berhenti disebabkan tak ada lagi bahan untuk dimasak.
Untuk mereka yang mencalonkan diri, uang yang dikonversi menjadi sembako ini adalah cara lain untuk menyamarkan praktik _‘money politic’_, dan memperbesar kemungkinan untuk dipilih.
Jika _shohibul hajat_ membagikan paket sembako dengan harapan tamu undangan memberikan doa terbaik agar keberkahan hadir dari acara yang diselenggarakan sekaligus rasa terima kasih atas selipan amplop yang diberikan, maka para calon mengharapkan timbal balik berupa konsistensi dari pemilih untuk mencoblos di bilik suara. Keduanya punya makna yang hampir sama, bingkainya adalah _take and give_, pertanyaannya apakah cukup paket sembako yang dibagikan digunakan sebagai alat tukar _take and give_ antara calon yang menjabat selama 5 tahun dengan pemilih yang kemungkinan besar akan dilupakan selama 5 tahun ke depan, dan baru akan diingat lagi 5 tahun yang akan datang, di pemilihan yang akan datang?
Jawaban dari makna sekantung sembako ini tentu kembali kepada masing-masing penerima, karena yang paling mengetahui dan merasakan manfaat bukan orang lain. Yang perlu direnungi ulang adalah jangan sampai hak suara yang dimiliki tergadai kebutuhan jangka pendek mempertaruhkan kondisi jangka panjang, masa depan generasi mendatang.
Ini yang sering tidak disadari oleh sebagian besar pemilih, bahwa kehidupan yang dialaminya saat ini dan di masa yang akan datang, akan sangat dipengaruhi oleh keputusan pemilihan penyelenggara negara hari ini.
Saya sendiri memilih untuk segera membuat teh hangat yang sudah ditambahi sedikit gula, sebagai teman biskuit yang tadi dibagikan. Rasanya hari ini tak perlu buru-buru pergi bekerja, karena sudah punya tabungan beras dan minyak juga. Untuk masalah mencoblos, tunggu saja, angin mana yang berhembus lebih lembut untuk melunakkan hati, sehingga berharap suasana jadi seger bener...
#serangan fajar
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.