Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ria Indra Maya Sari, S.Pd

Kontestasi Perempuan dalam Pergumulan Sejarah Tanah Air

Guru Menulis | Wednesday, 31 Jan 2024, 10:20 WIB
Sumber: Dokumen Republika

Al umm madrasatul ula, Ibu adalah tempat belajar yang pertama bagi seorang anak, demikian penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan. Pepatah yang kemudian dikutip ribuan kali ini menyuratkan peran penting seorang perempuan berpredikat Ibu. Menarik, mengapa perempuan menjadi jembatan pertama seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan? Jawabannya adalah karena pendidikan itu bermula dari rasa. Bukankah kita sudah familiar dengan pernyataan “perempuan lebih didominasi dengan perasaan, sedangkan laki-laki didominasi dengan logika”

Pendidikan yang pertama adalah mengolah rasa dan seorang Ibu menjadi pengantarnya, makna Ibu selanjutnya meluas, tidak hanya Ibu karena pertalian darah, guru-guru perempuan di sekolah juga ditahbiskan selayaknya Ibu, yaitu Ibu di sekolah. Olah rasa merupakan salah satu dari empat pilar pendidikan menurut Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Meskipun zaman berubah segera ke era digital, olah rasa tak boleh ditinggalkan. Sejarahpun mencatat, di balik tokoh-tokoh terkemuka ada sosok perempuan hebat dibelakangnya, entah itu seorang Ibu atau istri.

Tentang rasa, dalam kebudayaan Jawa tertulis jelas dalam serat. Saya mengutip satu paragraf penuh dari esais kondang, Bandung Mawardi (2020), “Warisan-warisan penting masih terbaca: Panitisastra, Serat Centhini, Wulangreh, Wedhatama, Cemporet, dan lain-lain. Semua gubahan sastra itu mengandung niti atau wulang. Kita terjemahkan sebagai ajaran. Sri Widati (2003) menjelaskan: “Pada dasarnya, ajaran pokok dalam buku-buku niti itu mengarahkan perempuan mendasari perilaku mereka kepada konsep alus dan rasa. Hal ini adalah tindak lanjut dari pandangan patriakhi yang mengedepankan laki-laki pada sektor publik dinilai penuh kekerasan, sedangkan perempuan ditempatkan di sektor domestik, tempat berkebalikan yang penuh dengan kelembutan, kesabaran, dan kasih.”

Perempuan ibarat cahaya yang menembus celah-celah retakan gua, dia selalu menemukan jalan menembus dominasi patrilineal yang berabad mendominasi kehidupan umat manusia. Ada semangat tak putus asa Ibunda Hajar dari kisah Ismail, ada kedisiplinan diri luar biasa dari Ibunda Imam Syafi’i. Pada peradaban maju sebuah bangsa selalu ada tinta emas kisah perempuan didalamnya.

Kegundahan akan pendidikan untuk perempuan masih menjadi tema, meskipun bukan jadi bahasan utama yang diseminarkan oleh Lembaga-lembaga Pemberdayaan Perempuan itu, khususnya di kota besar. Di era modern seperti sekarang masih saja terdengar suara seperti,”untuk apa sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya kembali mengurus rumah.” Kalimat ini saya dengar langsung dari orang tua murid saya di tempat saya mengajar, Kecamatan Jenar, sekitar 30 KM dari pusat Kabupaten Sragen, padahal anak tersebut memiliki potensi akademik yang besar dan tentu saja berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Alangkah baiknya jika Lembaga Pemberdayaan Perempuan di kota-kota besar itu, yang berasal dari kaum perempuan intelektual, pandai menulis dan bersuara lantang tentang kesetaraan gender, kembali menengok nasib saudarinya di perdesaan yang miskin, selepas lulus SD jika tidak dikawinkan diminta ikut orang ke Hongkong atau Singapura menjadi TKW. Ternyata masih banyak keluarga di perdesaan khususnya dari kalangan menengah ke bawah membutuhkan pendampingan terkait nasib anak perempuan mereka.

Nasib perempuan melintasi zaman dengan hiruk pikuknya, senantiasa tercatat dalam sejarah, baik sejarah tutur maupun lembaran. Dari Sangkuriang hingga Siti Nurbaya gubahan Marah Rusli. Sekian banyak diantaranya perempuan adalah tokoh penting, sumber pengisahan. Soekarno pada 1920-an memposisikan pribumi sebagai anak kandung bangsa, anak dari perempuan bergelar Ibu pertiwi. Selanjutnya perempuan turut mengisi arah pergerakan bangsa, bahkan Aisyiyah memulainya sebelas tahun sebelum Kongres Pemuda pada 1928. Disusul dengan Muslimat (1946), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (1946), Gerakan Wanita Indonesia Sedar (1950), Wanita Demokrat Indonesia (1951), dan lain-lain.

Periode perempuan turut dalam arus nasional mengalami surut di era orde baru. Era rezim Soeharto berlaku masa sopan santun yang seutuhnya membentuk citra perempuan narimo ing pandum. Pendiktean rezim dilontarkan di pelbagai organisasi kewanitaan, membuncah bergandengan dengan adat dan pemahaman terhadap tafsir kitab suci yang keliru. Di masa orba inilah, perempuan identik dengan dapur, sumur, dan kasur tergubah. Di tahun-tahun akhir rezim Orde Baru, perempuan sudah jengah, mula-mula diwakili perempuan di lingkungan pabrik, menuntut kelonggaran tatkala menjalani fitrahnya sebagai wanita tanpa pemotongan gaji yang tak manusiawi. Heroisme Marsinah yang berakibat kematian tragisnya mengantarkan perempuan turut mendorong pintu reformasi.

Selepas reformasi, sejarah pada perempuan Indonesia terbaca berbeda. Perempuan mulai bergeliat mendapatkan tempat, hari-hari ini kita sudah biasa melihat perempuan menjadi menteri, bupati, kepala sekolah, anggota dewan, dan berbagai peran penting lainnya. Mereka tetap menjadi istri dan ibu yang baik di tengah amanah yang mereka jalani. Sebagaimana kata Bandung Mawardi (2020),”Sejarah bertokoh perempuan dan ibu tak lagi melulu dalam rumah atau keluarga. Sejarah itu bergerak dengan tulisan dan perbuatan. Pada abad XXI, kita semakin mengerti ketokohan ibu, konsekuensi dari pergumulan sejarah dan tulisan sejak puluhan tahun lalu.”

Ria Indra Maya Sari, S.Pd

seorang istri dan ibu dari dua anak, mengabdi sebagai guru di Sekolah Dasar Negeri

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image