Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Narasi Politik di Film Ancika Dia yang Bersamaku 1995

Trend | Wednesday, 24 Jan 2024, 12:43 WIB
@moviemenfes" />
Ilustrasi Ancika dan Dilan, Sumber : @moviemenfes

Beberapa hari lalu, penulis menonton film sedang viral, yaitu Ancika, film yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq, merupakan kelanjutan dari tiga novel sebelumnya, dan ketiganya juga sudah diangkat ke layar lebar, mengisahkan percintaan antara Dilan dan Milea.

Berbeda dengan tiga novel atau film sebelumnya, dimana Milea menjadi pendamping Dilan, di film ini sosok baru bernama Ancika menjadi pusat narasi cerita, seorang perempuan kelas tiga SMA, sedang mempersiapkan ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN), menyibukan hari-harinya ikut bimbingan belajar (bimbel), atau belajar dirumah, selain itu Ancika dikenal memiliki karakter perempuan tomboi, jutek, galak, dan menolak berpacaran, menurut Ancika aktifitas pacaran itu buang-buang waktu saja.

Di film keempat ini juga, sosok Dilan ditampilkan sedikit berbeda dari ketiga karakter film sebelumnya, bukan karena aktor pemainnya diganti dari Iqbaal Ramadhan ke Arbani Yasiz, tetapi memang di dalam film Ancika, Dilan bukan lagi ditampilkan sebagai anak SMA, tetapi sudah menjadi mahasiswa disalah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB). Bagi penulis, transformasi Dilan dari siswa ke mahasiswa ini, yang menarik untuk dikomentari, terlebih latar film Ancika diera 1990-an, dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia, sebuah masa tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kelahiran angkatan 1998, yang berhasil menjatuhkan kekuasaan otoritarian pemerintahan Orde Baru.

Kaos Perlawanan

Di salah satu adegan film, digambarkan Dilan bertemu dengan Ibunya Ancika, ketika ia berkunjung ke rumahnya, saat itu Dilan menggunakan kaos bertuliskan diktaktor Indonesia, dalam adegan film Ibunya Ancika berpesan agar hati-hati takut nanti ditangkap aparat keamanan, ternyata jawaban Dilan diluar perkiraan, jawaban cerdas khas aktifis mahasiswa, menurutnya yang diktaktor itu Dilan, bila ada aparat keamanan menangkap karena tulisan kaos ini, justru aparat lah yang memiliki prasangka, bahwa penguasa yang berkuasa telah bertindak diktaktor.

Percakapan diteras rumahnya Ancika itu, memiliki pesan kepada penonton tentang setting kekuasaam politik dimasa Orde Baru, dimana kebebasan untuk menyampaikan pemikiran diruang publik baik secara lisan dan tertulis, mengalami pembatasan sistematis, terlebih ketika itu terdapat Undang-Undang Anti Subversi, memiliki pasal karet yang bisa ditarik ulur oleh penguasa, menjerat orang-orang kritis kepada pemerintah, atau digunakan untuk menarik Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bila ada media terindikasi memberitakan dan memuat berita berbeda dengan narasi resmi pemerintah.

Gaya kritis Dilan melawan matinya kebebasan berekspresi dan berpendapat di dalam film memang ditampilkan lebih soft, berbeda dengan narasi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa ketika itu, kalau kita membaca dan membandingkannya melalui narasi perlawanan di dalam buku “Anak-Anak Revolusi” (Budiman Sudjatmiko) atau “Surat-Surat dari Penjara” (Jumhur Hidayat). Karena memang film ini bukan menceritakan pergerakan mahasiswa secara khusus, tetapi film drama percintaan, yang kebetulan latar ceritanya dimasa kekuasaan represif Orde Baru, tetapi adegan dialog antara Dilan dengan Ibu Ancika itu, sudah menjelaskan kepada penonton, terlebih kepada mereka yang lahir dipenghujung kekuasaan Orde Baru, untuk bisa merasakan atmosfer masa-masa kelam perjalanan demokrasi di Indonesia, tidak ada kebebasan politik bagi rakyat dalam menyampaikan pikiran kritis.

Buku Perlawanan Politik

Buku Indonesia Di Bawah Sepatu Lars, Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Di adegan lain, divisualisasikan Dilan mengajak Ancika berkunjung ke kampus ITB, serta memasuki ruang kerjanya sebagai mahasiswa jurusan seni dan desain, ketika Dilan ingin menunjukkan lukisan Monas kepada Ancika. Di meja kerjanya Dilan tergeletak satu buku yang bagi peminat studi gerakan mahasiswa di Indonesia sangat legendaris, bahkan menjadi salah satu bacaan wajib yang tidak boleh dilewatkan.

Buku itu sempat dipegang Ancika, serta ingin dipinjam, tetapi oleh Dilan tidak diizinkan. Buku yang berjudul “Indonesia di Bawah Sepatu Lars” terbitan tahun 1979, isi buku itu sebenarnya pledoi pembelaan Indro Cahyono, aktifis mahasiswa ITB, di depan pengadilan pemerintah Orde Baru. Memang di tahun 1970-an, ITB menjadi salah satu kampus menjadi pusat pergerakan mahasiswa, bahkan Ikrar Mahasiswa Indonesia tanggal 28 Oktober 1977, diikrarkan di kampus yang melahirkan tokoh proklamator kemerdekaan, Soekarno.

Di dalam Ikrar Mahasiswa Indonesia, Dewan Mahasiswa (DM) se-Indonesia, sekarang berganti nama menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), menolak pencalonan Soeharto untuk ketiga kalinya oleh MPR sebagai presiden, aksi sangat berani, progresif, dan revolusioner. Selain membacakan ikrar, mahasiswa melakukan aksi mimbar bebas di dalam kampus berlogo Ganesha itu, yang dihadiri ribuan massa aksi. Aksi berbuntut kampus ITB dikuasai militer beberapa pekan, serta para ketua Dewan Mahasiswa (DM) beserta aktifis mahasiswa diberbagai perguruan tinggi se-Indonesia ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Buku “Indonesia di Bawah Sepatu Lars” menjadi saksi perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia, ketika berjuang menegakan demokrasi dan reformasi di era 1970-an. Di tahun 1990-an buku itu menjadi legenda dikalangan aktifis pergerakan, termasuk generasinya Dilan, terlebih ia diceritakan berkuliah di ITB, sudah dipastikan kisah-kisah heroik angkatan sebelumnya dinarasikan ke angkatan dibawahnya, maka tidak aneh bila buku “Indonesia di Bawah Sepatu Lars” ditampilkan di dalam film Ancika, untuk menerangkan kepada penonton bacaan wajib mahasiswa diera Orde Baru, yaitu buku-buku bernarasi perlawanan melawan rezim otoritarian.

Ikut Demonstrasi

Bila di ketiga film sebelumnya sosok Dilan dikenal sebagai panglima tempur Geng Motor, siap membela anggotanya ketika diserang kelompok lain, di film Ancika divisualisasikan Dilan terlibat dalam pergerakan mahasiswa, meskipun keterlibatan Dilan tidak seutuhnya ditampilkan di dalam film, aktifitas Dilan yang bersinggungan dengan gerakan mahasiswa bisa dikenali oleh penonton, ketika terjadi dialog antara Dilan dengan Ancika, Dilan menyampaikan tidak bisa ketemu sementara waktu, karena sedang sibuk “mengurus Indonesia”.

Baru kemudian para penonton mengetahui kalimat sibuk “mengurus Indonesia” itu, Dilan mengikuti aksi demonstrasi bersama buruh di depan pusat pemerintahan Jawa Barat, yaitu Gedung Sate. Meskipun sosok Dilan tidak memberikan orasi kepada massa aksi, keterlibatan dirinya sebatas bernyanyi menyemangati mahasiswa dan buruh, membuktikan Dilan memang terlibat dalam dunia pergerakan mahasiswa melawan Orde Baru, tetapi lagi-lagi ditampilkan secara soft di dalam film.

Menarik untuk dikomentari sutradara film Ancika, sepertinya memahami dunia pergerakan mahasiswa, adegan aksi demonstrasi tidak dilakukan di dalam kampus, karena memang di era 1990-an, kampus menjadi tempat tidak aman bagi aktifis mahasiswa bergerak, dinding-dinding kampus seolah-olah memiliki telinga dan mata, setiap aktifis yang melakukan pengorganisiran aksi di dalam kampus, bisa mudah ditandai untuk diciduk tangan-tangan kekuasaan, akhirnya mereka lebih banyak beraktifitas di luar kampus, dengan membentuk kelompok studi atau komite aksi.

Kemudian, dari kelompok studi dan komite aksi itu bergerak melakukan advokasi terhadap kelompok buruh dan petani, salah satunya dengan melakukan aliansi aksi demonstrasi. Kasus-kasuk menjadi konsen gerakan mahasiswa 1990-an adalah sengketa tanah serta konflik industri.

Penutup

Menonton film Ancika tidak saja mengingatkan kita pada kehidupan dimasa SMA, menurut banyak orang tidak pernah terlupa, tetapi bisa membangkitkan kembali kenangan situasi politik dimasa-masa pergerakan mahasiswa, terutama di masa pemerintahan Orde Baru.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image