Universitas Al-Azhar dan Islam Wasathiyyah
Sejarah | 2024-01-22 04:32:28Pendidikan dalam agama Islam memiliki kedudukan sangat penting, hal ini dibuktikan dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca (Iqra) memiliki tafsir kewajiban bagi umat Islam terus belajar sepanjang hidupnya, artinya Islam memerintahkan para pemeluk agama ini untuk memiliki keilmuan yang mempuni agar peradaban dunia bisa tegak diatas prinsip ketauhidan dan rasionalitas.
Di dalam sirah nabawiyah tradisi menghidupkan dunia pendidikan dalam khazanah ilmu pengetahuan sudah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW, tercatat lembaga pendidikan pertama bagi umat Islam disebut al-suffah, sedangkan komunitasnya disebut ashab al-suffah, lembaga pendidikan ini dikhususkan mengkaji isi dari kandungan Al-Qur’an dan Hadis. Lembaga al-suffah menghasilkan para ulama diseganai seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan lain-lain (Muslih, 2020).
Sebelum mendirikan al-suffah, Nabi Muhammad SAW, pasca perang badar memutuskan kebijakan bagi para tawanan perang (quraisy) kalau ingin menebus kebebasan setiap orang dari mereka, diharuskan mengajarkan membaca dan menulis kepada sepuluh pemuda Madinah. Di dalam tradisi kesukuan bangsa Arab ketika itu tebusan tawanan perang biasanya menggunakan tebusan harta, hal ini menjadi bukti Islam mengajurkan umatnya mencintai ilmu pengetahuan (Ramadan, 2007).
Pendidikan di dunia Islam menjadi bagian integral kehidupan bagi para pemeluknya. Konsep pendidikan mencakup berbagai dimensi, termasuk aspek spiritual, moral, sosial, dan intelektual. Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan serta mengembangkan kecerdasan, baik itu mengejar ilmu agama atau ilmu pengetahuan umum, karena kedua ilmu itu merupakan pintu menuju pemahaman lebih baik tentang Tuhan.
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW tradisi intelektual Islam dilanjutkan generasi Islam selanjutnya, sejarah mencatat beberapa kekhalifahan Islam dari Khulafaur Rasyidin, Daulah Bani Umayah, Daulah Bani Abbasiyah, Daulah Bani Utsmaniyah, dan lain-lain. Mereka selain membangun infrastruktur bangunan massif, megah, dan modern. Para khalifah tidak lupa membangun peradaban ilmu, ditandai pendirian universitas juga dibukanya banyak perpustakaan seantero negeri. Tidak hanya dipusatkan dikota, tetapi melimpah keberbagai pelosok, ribuan buku dan manuskrip tersedia untuk dijelajahi setiap lembarnya. Tujuannya agar peradaban literasi terus hidup melakukan regenerasi keilmuan.
Universitas Al-Azhar
Universitas al-Azhar, yang terletak di Kairo, Mesir, memiliki sejarah yang sangat panjang. Perguruan tinggi didirikan pada tahun 970 M oleh al-mu’iz li Dinillah, penguasa Dinasti Fatimiyah. Artinya umur Universitas al-Azhar sudah lebih dari 1.000 tahun (Hamka, 2024).
Sebagai salah satu institusi pendidikan tertua di dunia, al-Azhar telah memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan Islam, dan warisan kebudayaan. Meskipun telah berusia lebih dari satu milenium, perguruan tinggi ini terus beradaptasi dengan perubahan zaman untuk tetap relevan dan memenuhi tuntutan pendidikan modern.
Univesitas al-Azhar merupakan lembaga pendidikan yang memegang teguh paham ahlussunnah wal jamaah atau kita lebih mengenalnya sebagai Islam sunni. Tetapi, dalam sejarahnya lahirnya perguruan tinggi Islam ini, tidak bisa dilepaskan dari jasa Dinasti Fatimiah memiliki kepercayaan paham syi’ah. Dinasti Fatimiah beraliran syi’ah ismailiah, yaitu memilih Ismail putra dari Imam Ja’far Shadiq sebagai pemimpin, nama Fatimiah sendiri merujuk kapada putri Nabi Muhammad SAW, serta istri Ali bin Abu Thalib (Misrawi 2010).
Kelompok syi’ah ismailiah memainkan peran penting dalam sejarah peradaban ilmu pengetahuan, mereka mensintesiskan antara pandangan neo-platonisme dengan ajaran shufisme (ikhwanus shafa), dibawah kekuasaan Dinasti Fatimiah, paham syi’ah ismailiah menjadi mazhab resmi di wilayah kekuasaanya (Sahide, 2020). Menariknya meski wilayah Mesir sebagian besar ketika itu penduduknya memiliki keyakinan Islam sunni, memiliki perbedaan teologis dan ideologis dengan Dinasti Fatimiah, kekuasaan politik dinasti ini bisa diterima oleh masyarakat, hal ini selaras dengan doktrin di dalam sunni, bahwa patuh kepada pemimpin merupakan keniscayaan (Misrawi, 2010).
Sekitar tahun 1169 M, Dinasti Fatimiah, digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah memiliki paham keislaman sunni (ahlussunnah wal Jamaah), pendiri dari dinasti ini adalah Salahuddin al-Ayyubi, dikenal dengan subutan Saladin dalam bahasa Barat. Salahuddin al-Ayyubi sampai saat ini namanya sangat dikenal oleh umat Islam dunia, seorang tokoh yang berhasil merebut kembali Kota Suci Yerusalem dari tangan pasukan Salib pada tahun 1187 M, selain dikenal di dunia Islam, Salahuddin al-Ayyubi dihormati dan disegani kalangan Kristen di dunia barat, karena memiliki reputasi positif ketika membebaskan Yarusalem, memperlakukan masyarakat Kristen sangat manusiawi, Salahuddin menjungjung tinggi etika berperang dalam Islam, pengakuan dunia barat ini bisa kita saksikan dalam Film Kingdom of Heaven (2005). Dinasti Ayyubiyah bertahan hingga pertengahan Abad ke-13, ketika Mesir jatuh ke tangan Dinasti Mamluk (Islam Sunni) setelah kematian al-Kamil, salah satu penguasa Ayyubiyah, pada tahun 1238 M..
Sejak Mesir diperintah oleh Dinasti Ayyubiyah sampai sekarang, al-Azhar dijadikan sebagai pusat pendidikan khazanah Islam sunni ke seantero dunia, Salahuddin al-Ayyubi memiliki perhatian besar pada bidang pendidikan, ia dikenal selain sebagai pemimpin yang menguasai bidang kemiliteran juga memahami ilmu kedokteran, perhatian dalam bidang pendidikan Salahuddin tunjukan bersama kedua putranya, kerap berkunjung ke al-Azhar menghadiri kuliah para ulama tentang hadist (Misrawi, 2010).
Ketika Dinasti Mamluk berkuasa menggantikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perhatian kepada al-Azhar tetap diberikan oleh penguasa baru sebagai perguruan tinggi yang mengajarkan pendidikan Islam, di bawah pemerintahan Dinasti Mamluk, al-Azhar mengalami renovasi. Sedangkan sistem pendidikan keagamaan al-Azhar yang dikembangkan Dinasti Mamluk hampir sama dengan Dinasti Ayyubiyah, yaitu mengembangkan pemahaman keislaman moderat (wasathiyyah) menjungjung tinggi adanya perbedaan dan keragaman berpikir ditengah-tengah umat Islam. Maka disamping sebagai pusat aktivitas keilmuan, al-Azhar juga menjadi pusat perkembangan tasawuf, tercatat saat itu terdapat beberapa tokoh sufi yang tinggal di Masjid al-Azhar seperti Ibnu al-Farid dan Badr al-Ayni. Selain perkembangan ilmu keagamaan, dimasa Dinasti Mamluk, al-Azhar mengembangkan bidang pendidikan umum seperti matematika, biologi, kedokteran, dan lain-lain (Misrawi, 2010).
Islam Wasathiyyah
Pengertian wasathiyyah menurut mantan rektor Universitas al-Azhar, Dr. Ahamad Umar Hasyim adalah keseimbangan antara kedua ujung sehingga salah satunya tidak mengatasi ujung yang lain, tidak berlebihan tidak juga berkekurangan, tiada pelampauan batas tidak juga pengurangan batas, ia mengikuti yang paling utama, paling berkualitas, dan paling sempurna (Shibab, 2019).
Komitmen al-Azhar pada perkembangan Islam wasathiyyah teruji sampai sekarang, setiap mahasiswa yang belajar di perguruang tinggi ini diperkenalkan dengan berbagai khazanah keislaman dari berbagai mazhab, mereka mempelajarinya secara objektif, berimbang, tidak ekstrem dalam penafsiran dan pemahaman ajaran Islam.
Universitas al-Azhar mengikuti tradisi ahlus sunnah wal jamaah, mengajarkan pemahaman Islam yang moderat (pertengahan) serta menekankan pada sikap toleransi terhadap berbagai pandangan yang beragam atau berbeda di dalam umat Islam. Pendidikan yang dikembangkan mencakup pemahaman ajaran agama dan ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Meskipun al-Azhar merupakan lembaga pendidikan berbasis pengajaran Islam, metode pendidikan di sana sering menekankan cara pandang toleransi terhadap pemeluk agama lain. Universitas ini mengajarkan nilai-nilai saling pengertian dan kerjasama antarumat beragama. Universitas al-Azhar berusaha menciptakan pemikiran yang rasional dan terbuka terhadap perubahan zaman, bahkan sampai saat ini al-Azhar termasuk perguruan tinggi yang mempromosikan nilai-nilai perdamaian dalam konteks Islam.
Para dosen yang mengajar di al-Azhar juga berasal dari lulusan berbagai perguruan tinggi baik dari Timur Tengah, serta perguruan tinggi dunia barat. Sehingga pengajaran di al-Azhar menerapkan kombinasi sistem modern dan keilmuan Islam. Hal ini terekam dalam tulisan Buya Hamka, ulama besar Indonesia, ketika beliau berkunjung ke al-Azhar pada tahun 1950, beliau menulis dalam bukunya :
“Universitas al-Azhar model pembelajaran unik perpaduan dari tradisi Islam dan dunia modern, pelajaran di al-Azhar yang duduk melingkar mengelilingi guru dalam masjid masih tetap ada, karena masih banyak yang menyukainya. Namun, disamping al-Azhar telah didirikan gedung-gedung perkuliahan dan belajar memakai bangku. Kami meneruskan bertemu Syekh Abdul Latif Darraz, beliau seorang ulama, tetap berjubah dan bersorban, beliau merupakan lulusan Sarbonne University, bahasa Prancisnya bagus, sehingga ketika ada profesor dari barat berkunjung ke al-Azhar beliau menjamunya, bagitu juga Syekh Mustafa Abdul Razik, beliau juga merupakan doktor dalam hal filosofi dari Sarbonne University” (Hamka, 2023)
Universitas al-Azhar dalam dua dekade terakhir menjadi salah satu institusi pendidikan yang berkomitmen menjadi juru bicara Islam moderat dipanggung global, bahkan universitas ini membentuk Lembaga Dialog Antar Umat Beragama, bentuk langkah kongkrit dalam meningkatkan pemahaman mempertemukan berbagai pemeluk agama pada tingkat pembicaraan diranah sosial, terdapat dua tokoh al-Azhar mengembangkan moderasi Islam ini, yaitu Grand Syaikh Muhammad Sayyed Tantawi dan Grand Syaikh Ahmad Muhammad Tayyeb (Misrawi, 2010).
Universitas al-Azhar sampai sekarang mencerminkan keragaman pandangan di dalamnya, semoga perguruan tinggi kebanggaan umat Islam ini terus berkomitmen mempromosikan pendidikan seimbang, moderat, dan relevan dengan tuntutan zaman.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Karawang.
Referensi Artikel
1. Hamka. 2023. Di Lembah Sungai Nil (Depok, Gema Insani Press).
2. Ramadan, Tariq. 2007. Muhammad Rasul Zaman Kita. (Jakarta : Serambi).
3. Sahide, Ahmad. 2020. Syi’ah Sunni Dalam Konstelasi Politik Timur Tengah (Yogyakarta, UMY Press).
4. Shihab, M. Quraish. 2019. Wasathiyyah Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama (Tanggerang, Penerbit Lentera Hati).
5. Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Azhar Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta, Penerbit Kompas).
6. Muslih, M. Kholid (editor). 2020. Tradisi Intelektual Islam : Melacak Sejarah Peradaban Ilmu Pada Masa Kejayaan (Ponorogo : Direktorat Islamisasi Ilmu Universitas Darussalam Gontor).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.