Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghofiruddin Alfian

Aktualisasi Sistem Filsafat Pancasila

Khazanah | 2024-01-18 21:27:04
Mega Yohana from Pixabay" />
Image by Mega Yohana from Pixabay

Di jaman yang serba instan ini, banalitas dan kedangkalan telah menjadi tradisi. Pancasila, misalnya, kini ia tidak dipahami sebagai sistem filsafat yang menjadi pandangan hidup bangsa. Sila-sila yang ada di dalamnya hanya menjadi bahan pelajaran untuk dihafal di ruang-ruang kelas yang sempit. Bahkan nama Pancasila sendiri seringkali hanya digunakan sebagai tameng oleh beberapa oknum politikus untuk mencapai agenda politik terselubungnya. Pancasila juga terkadang hanya digunakan sebagai ajang gagah-gagahan untuk menunjukkan superioritas eksistensi. Dengannya, pihak penyandang nama tersebut bisa gasak sana gasak sini, mengabaikan esensi-esensi yang terkandung di dalam Pancasila itu sendiri.

Hal-hal yang demikian sudah semestinya diakhiri. Bangsa ini harus kembali merefleksikan Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat yang utuh. Tidak hanya pada kerangka teoretis saja, namun juga mesti bermuara pada praktik-praktik dalam kehidupan sehari-hari. Lantas pertanyaannya, bagaimanakah sesungguhnya sistem filsafat Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia tersebut? Bagaimana pula sesungguhnya cara mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari? Dua pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus pembahasan pada artikel kali ini.

Sistem Filsafat Pancasila

Pancasila disebut sebagai sistem karena ia merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Kesatuan ini bukanlah suatu bagian besar yang berdiri sendiri, namun ia terdiri dari bagian-bagian yang berada dalam sebuah kerangka yang mengarah pada sebuah tujuan yang sama. Bagian-bagian tersebut tentu saja adalah kelima sila Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, dan Keadilan Sosial.

Sebenarnya masing-masing sila tersebut bisa dipahami secara terpisah. Namun untuk memahami sebuah kesatuan, mau tidak mau bagian-bagian yang saling terpisah tersebut harus diintegrasikan. Dengan demikian akan nampak hubungan-hubungan yang jelas di antara sila-sila tersebut, di mana antara sila yang satu tidak saling memperlemah satu sama lain. Sila-sila tersebut membentuk sebuah kekuatan yang terpadu.

Seperti ini mungkin ilustrasinya. Tuhan yang Maha Esa mengilhami kepekaan rasa kemanusiaan kita; Kemanusiaan membawa kesadaran tentang arti penting Persatuan; dan Persatuan tersebut mewujud dalam bentuk Kerakyatan yang bercirikan permusyawaratan untuk menyelesaikan masalah bersama sehingga pada akhirnya akan tercipta sebuah tatanan yang berkeadilan sosial.

Seperti lazimnya sistem filsafat-filsafat yang lain, Pancasila juga memiliki dasar-dasar yang membentuknya menjadi sebuah sistem filsafat yang utuh. Dalam ilmu filsafat terdapat tiga dasar yang perlu diketahui sehingga sebuah pemikiran bisa disebut sebagai sistem filsafat. Ketiga dasar tersebut adalah dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis. Penjelasan mengenai tiga dasar sistem filsafat Pancasila ini akan dibahas pada bagian di bawah ini.

Dasar Ontologis Pancasila

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang membahas tentang hakikat sesuatu. Dengan kata lain, kajian yang bersifat ontologis mencoba untuk menjawab pertanyaan yang didahului dengan kata tanya apa atau apakah. Misalnya, apakah Pancasila itu? Di sini kita bisa memberikan rumusan ontologis bahwa Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia; Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: "pañca" berarti lima dan "śīla" berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan ontologis tersebut tentu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul begitu saja. Terdapat sebuah proses yang mendasari munculnya rumusan ontologis tersebut. Dalam konteks Pancasila, yang menjadi dasar ontologis tersebut adalah kehidupan manusia. Kelima sila Pancasila merupakan sebuah buah pikiran dari sekelompok manusia unggul yang memikirkan seluk beluk kehidupan manusia di wilayah bernama Indonesia dengan tujuan untuk mencapai kehidupan ideal bagi seluruh manusia.

Hal tersebut senada dengan penjelasan Profesor Kaelan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pancasila. Beliau menjabarkan bahwa dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis yang juga disebut sebagai dasar antropologis. Dengan kata lain, yang berketuhanan, yang berperikemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial adalah manusia.

Lebih lanjut, dari sudut pandang filsafat negara, beliau menjelaskan bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara di mana penopang utama dari keberadaan sebuah negara adalah rakyat. Kata rakyat ini tidak lain mengacu kepada manusia itu sendiri. Ia adalah kumpulan manusia yang memiliki keserupaan satu sama lain, sekaligus perbedaan. Mereka adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, mereka memiliki hak tertentu, terutama hak untuk hidup. Sedangkan sebagai makhluk sosial, mereka memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan atau norma tertentu. Dan pada Pancasila, hak dan kewajiban tersebut telah termaktub dalam muatan yang begitu padat di tiap-tiap sila yang membentuknya.

Dasar Epistemologis Pancasila

Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang sistem pengetahuan. Secara sinkronis, bisa dijabarkan bahwa sebuah pengetahuan merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang bisa saja saling menopang satu sama lain; atau sebaliknya mungkin saja saling bersinggungan dalam pertikaian. Sedangkan secara diakronis, sistem pengetahuan ini selalu berkaitan dengan unsur kesejarahan di mana keberadaan sebuah pengetahuan bisa dikatakan merupakan sebuah akibat dari sebab-sebab yang mendahuluinya. Sebab-sebab di sini merupakan pengetahuan-pengetahuan lama yang mengalami transformasi untuk menemukan sebuah bentuk baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat adanya ketumpangtindihan pengertian antara epistemologi dengan ontologi. Hal-hal yang bertumpangtindih ini merupakan hal wajar, karena realitas atau kenyataan yang menjadi dasar pengetahuan sendiri selalu terdiri dari bagian-bagian yang tidak pernah berdiri sendiri. Dalam konteks sistem filsafat Pancasila sendiri, ketumpangtindihan antara ontologi dan epistemologi itu terletak pada manusia yang menjadi sumber dari terciptanya sebuah sistem pengetahuan. Berkaitan dengan hal ini Profesor Kaelan menjelaskan:

“Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya.. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia.” (Filsafat Pancasila, hal. 97)

Dasar epistemologis atau sumber pengetahuan Pancasila, secara lebih spesifik adalah bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai dan adat istiadat tersendiri. Dengan kata lain Pancasila merupakan sistem pengetahuan yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan bangsa Indonesia sendiri; bukan hasil dari sebuah penjiplakan terhadap ciri khas yang melekat pada bangsa lain. Meskipun begitu, tetap saja tidak ada yang benar-benar murni. Para penggagas konsep Pancasila sendiri, merupakan para pemikir yang menimba khazanah pengetahuan dari berbagai macam belahan dunia, tidak hanya dari Indonesia saja, tidak hanya dari Timur saja, namun mereka juga memetik kebijaksanaan yang bersumber dari pengetahuan Barat. Jadi sangat mungkin Pancasila itu bersifat hibrida.

Dasar Aksiologis Pancasila

Aksiologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang nilai. Yang dimaksud dengan nilai di sini berkaitan dengan keberhargaan manusia, bagaimana ia menilai diri sendiri dan juga kehidupannya: apakah ia telah berarti dan memberikan arti, apakah ia telah benar-benar berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri, dan sebagainya. Dari sudut pandang yang lebih ‘objektif’, nilai ini diartikan sebagai suatu kualitas atau kemampuan yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. (Namun pertanyaannya tentu saja berkaitan dengan kehendak. Apakah benda-benda itu berkehendak dengan kualitas yang ada padanya untuk memuaskan atau tidak memuaskan manusia. Ataukah, manusia itu yang ‘menemukan’ kualitas pada benda-benda, menandainya, sehingga dapat memanfaatkannya demi kepuasan-kepuasan hidupnya.)

Terdapat dua tolok ukur yang biasa digunakan untuk menilai keberartian tersebut, yaitu etika dan estetika. Etika berkaitan dengan aturan atau kesepakatan sosial; di mana seorang manusia merasa berarti ketika ia mampu melaksanakan aturan-aturan yang dilekatkan kepadanya. Sedangkan estetika berkaitan dengan keindahan yang sifatnya bisa saja sangat subjektif. Keberartian manusia dari sudut pandang estetika ini berkaitan dengan pengejawantahan rasa dalam bentuk-bentuk yang konkret. Misalnya, ketika seorang manusia menciptakan sebuah karya seni, maka di saat itulah dia sedang merasa berarti.

Pancasila sendiri, selain mengandung etika atau nilai moral dan nilai estetika, juga terkandung nilai-nilai lain yang saling menunjang satu sama lain. Nilai-nilai tersebut, seperti yang disebutkan oleh Profesor Kaelan dalam buku Filsafat Pancasila, adalah nilai kerohanian, nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, dan nilai kesucian. Keseluruhan nilai ini bersifat sistematik-hirarkis, di mana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya. Sila-sila yang lain: Kemanusiaan, Persatuan, dan Kerakyatan merupakan metode-metode atau strategi-strategi untuk mencapai tujuan Keadilan Sosial yang tetap berlandaskan pada basis Ketuhanan.

Aktualisasi Sistem Filsafat Pancasila

Pada bagian sebelumnya tentang sistem filsafat Pancasila telah disinggung mengenai dasar aksiologis atau nilai-nilai pada Pancasila. Tentu yang namanya nilai-nilai tersebut hanya akan menjadi teori belaka jika tidak dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itulah sebuah rumusan sederhana, yang tidak terlalu bersifat mendikte, tentang aktualisasi nilai-nilai tersebut penting untuk disampaikan.

Terkait permasalahan aktualisasi Pancasila ini, kita bisa merujuk pada penjelasan Profesor Kaelan dalam buku Filsafat Pancasila. Di dalam buku tersebut dijabarkan 8 poin terkait hal ini. Namun di dalam tulisan singkat ini hanya akan diuraikan dua secara ringkas dua poin saja, yaitu Aktualisasi Pancasila yang Subyektif dan Aktualisasi Pancasila yang Objektif. Penjelasan selengkapnya terdapat pada subbagian di bawah ini.

Aktualisasi Pancasila yang Subyektif

Yang dimaksud dengan aktualisasi Pancasila yang subyektif adalah pelaksanaan dalam pribadi perseorangan: setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Aktualisasi subyektif ini berkaitan dengan kesadaran wajib moral yang melekat pada setiap individu. Ia secara sadar memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan berusaha untuk meresapi dan menghayatinya dengan menjadikannya sebagai pedoman moral hidup.

Aktualisasi Pancasila yang subyektif ini meliputi pelaksanaan Pancasila sebagai kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaan konkretnya nilai-nilai Pancasila tersebut teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, seseorang meresapi nilai Ketuhanan, maka dia pun sadar dia hanyalah seorang makhluk yang tidak berhak jumawa sebab keterbatasan-keterbatasan yang selalu melekat pada dirinya.

Seseorang meresapi nilai Kemanusiaan, maka ia pun menjunjung hak-hak, derajat dan martabat manusia-manusia berdasarkan prinsip keadilan dan keberadaban. Ia pun juga berusaha mengejawantahkan rasa kemanusiaan dalam dirinya tersebut dengan menjunjung tinggi persatuan. Lebih lanjut, persatuan tersebut diwujudkan dalam sebuah gotong royong di mana di sana tercermin prinsip-prinsip kerakyatan yang berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan. Masing-masing individu berusaha menahan diri dari ego-ego nafsu yang merusak demi terciptanya tatanan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aktualisasi Pancasila yang Obyektif

Yang dimaksud dengan aktualisasi Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek penyelenggaraan negara. Realisasi pelaksanaan ini mencakup bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dan semua bidang kenegaraan; terutama dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Secara lebih konkret pelaksanaan nilai-nilai Pancasila ini mesti tertuang dalam kebijakansanaan di bidang kenegaraan, antara lain:

1. Garis Besar Haluan Negara

2. Hukum, perundang-undangan dan peradilan

3. Pemerintahan

4. Politik dalam dan luar negeri

5. Keselamatan, keamanan dan pertahanan

6. Kesejahteraan

7. Kebudayaan

8. Pendidikan

9. Reformasi dan segala pelaksanaannya (Kaelan: Filsafat Pancasila, hal. 255-256)

Penutup

Sistem filsafat Pancasila merupakan sebuah cara pandang yang menjadikan Pancasila sebagai sebuah kesatuan; di mana bagian-bagian atau sila-sila yang terdapat di dalamnya mesti dipahami dalam hubungan-hubungan yang saling terintegrasi satu sama lain. Dengan kata lain, sila-sila tersebut tidak seharusnya dipahami secara terpisah. Bagian-bagian tersebut saling menunjang, sama sekali tidak melakukan penafian atas bagian-bagian yang lain.

Sebagai sistem filsafat, tentu Pancasila berlandaskan atas dasar-dasar filosofis sebagaimana sistem-sistem filsafat yang lain. Dasar filosofis yang pertama adalah dasar ontologis, di mana Pancasila berlandaskan pada hakikat manusia dan kemanusian. Kedua, dasar epistemologis, yaitu Pancasila merupakan sebuah sistem pengetahuan yang terpadu, di mana jejak-jejaknya dapat ditelusuri pada keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia, baik di masa lampau maupun di masa kini. Ketiga adalah dasar aksiologis, yaitu Pancasila mengandung seperangkat nilai-nilai yang menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai Pancasila tersebut sudah semestinya diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Berkaitan dengan pengaktualisasian nilai Pancasila ini, kita bisa menyebut adanya aktualisasi yang subyektif dan aktualisasi yang objektif. Aktualisasi Pancasila yang bersifat subyektif berkaitan dengan kesadaran seorang individu atau warga negara untuk mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sedangkan aktualisasi yang bersifat objektif berkaitan dengan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek penyelenggaraan negara.

Demikian pembahasan artikel kali ini berkaitan dengan sistem filsafat Pancasila dan aktualisasi nilai-nilainya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca, dan mampu sedikit membuka cakrawala kita tentang hakikat Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara; bukan sekedar atribut-atribut superfisial tanpa kedalaman yang dapat digunakan untuk menggerakkan atau bahkan mengganyang massa yang tidak sepaham dengan kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image