Kebocoran Kekayaan Nasional dan Cita-Cita Ekonomi Berdikari
Politik | 2024-01-17 09:56:43Cerita getir dibalik carut-marutnya pengelolaan kekayaan alam bangsa kita bukanlah cerita baru. Terutama sejak praktek liberalisasi investasi yang membuka pintu seluas-luasnya bagi korporasi asing untuk menguasai kekayaan alam kita.
Selama ini, rezim neoliberal selalu berkampanye bahwa kehadiran investasi asing dalam pengelolaan SDA akan berkontribusi pada peningkatan penerimaan negara, terutama melalui pajak dan royalti. Pada kenyatannya, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
untuk memikat para investor asing agar betah berinvestasi di Indonesia, pemerintah menggelontorkan berbagai insentif, termasuk keringanan pajak, keringanan bea keluar, dan lain-lain.
Sebetulnya masih banyak masalah terkait pengelolaan SDA ini. Namun, sejumlah fakta di atas sudah cukup mewakili betapa pengelolaan kekayaan alam sekarang ini menyebabkan potensi penerimaan negara justru mengalir ke kantong-kantong perusahaan asing dan cecerannya masuk ke kantong segelintir elit kompradornya di dalam negeri.
Tegakkan Pasal 33 UUD 1945!
Di tahun 1961, Bung Karno pernah berpesan: “tak dapat kita mengambil manfaat 100% dari kekayaan bumi dan air kita sendiri, kalau imperialisme ekonomi dan imperialisme politik masih bercokol di tubuh kita, laksana lintah yang menghisap darah..”
Makna dari pesan Bung Karno itu sangat jelas. Kita tidak mungkin berbicara tentang emansipasi nasional, termasuk berbicara soal memakmurkan rakyat, jikalau politik perekonomian kita tidak bisa berdaulat atas kekayaan alam kita dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat. Ini juga merupakan mandat dari konstitusi kita: pasal 33 UUD 1945.
Dalam konteks itulah, saya kira, terlepas dari siapa yang melontarkannya, isu mengenai ‘kebocoran kekayaan alam’ ini perlu disambut oleh kaum nasionalis guna mempertajam dan memajukannya lagi. Dengan demikian, isu tersebut tidak berhenti sekedar sebagai komoditas politik di saat kampanye pemilu.
Pertama, isu kebocoran kekayaan alam itu hanyalah satu dari sekian banyak persoalan yang dilahirkan oleh praktek imperialisme-neokolonialisme di negeri ini. Jadi, ada kebutuhan untuk mendorong maju diskusi bukan hanya mempersoalkan kebocoran kekayaan alam selama ini, tetapi harus menohok langsung pangkal persoalannya, yakni imperialisme-kolonialisme.
Kedua, kita menuntut para capres yang berkompetisi, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, untuk bisa bersikap atas persoalan ini. Apalagi keduanya sama-sama mengusung cita-cita ekonomi berdikari. Bagi saya, cita-cita ekonomi berdikari hanya akan menjadi bualan kosong jika tidak disertai itikad politik untuk menegakkan kedaulatan negara atas kekayaan alam dan aset nasional kita.
Ketiga, ini adalah momentum untuk mendorong lahirnya kepemimpinan nasional mendatang yang mengembalikan haluan ekonomi kita dari sistim ekonomi neoliberal menjadi sistim ekonomi yang berpinsipkan pasal 33 UUD 1945. Karena itu, bagi saya, isu terkait kebocoran potensi penerimaan negara ini tidak boleh berhenti hanya pada kritik pada buruknya tata-kelola SDA, tetapi harus berlanjut menjadi kritik sekaligus koreksi terhadap sistem ekonomi saat ini.
Keempat, jika isu ini bisa berterima secara luas dan menjadi tuntutan utama yang mesti dijalankan oleh para capres, maka dengan sendirinya akan mengisolir secara gagasan kekuatan-kekuatan oportunis atau bermental komprador yang sekarang ini menempel di kedua ketiga capres. Dengan demikian, gagasan ekonomi berdikari akan menjadi keharusan untuk dijalankan oleh capres siapapun yang terpilih pada Pilpres mendatang.
Demikianlah. Semoga kampanye Pilpres ini bisa menjadi ruang politik bagi kita, seluruh bangsa Indonesia, untuk mendiskusikan persoalan bangsa dan mempertarungkan gagasan mengenai jalan keluarnya. Terima kasih.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.