Gajah Mada, Pejabat Kebal Hukum dari Majapahit
Sejarah | 2022-01-11 12:56:22Di belahan bumi selatan, terdapat pejabat negara yang sering disebut-sebut punya kuasa melebihi presiden. Ia bisa bertugas sebagai apa saja, banyak jabatan ia emban, ia bisa muncul memberikan berbagai kebijakan – sebab ia punya banyak posisi di negara itu. Beberapa kali diduga bersalah, namun tetap saja ia tampil dengan gagah perkasa di depan khalayak ramai. Siapakah sosok itu?
Mari kembali ke masa ratusan tahun silam. Terdapat sebuah negara besar di bumi selatan bernama Majapahit. Kerajaan ini menganut agama Hindu dan menjadi kerajaan besar beragama Hindu terakhir di sana sebab setelahnya berbagai kerajaan Islam semakin menjamur. Majapahit disebut-sebut mencapai puncak kekuasaan pada masa raja Hayam Wuruk. Raja ini punya patih bernama Gajah Mada. Sang patih sering digambarkan dengan tubuh kekar dan cenderung gempal. Rambutnya diikat ke belakang. Mukanya tegas dan punya bentuk cenderung kotak. Sosok ini menjadi penting bahkan hingga hari ini.
Peninggalan lain dari patih ini adalah hasratnya menyatukan wilayah bernama Nusantara lewat deklarasi Sumpah Palapa. Lewat deklarasi itu, ia berjanji tidak akan ‘memakan buah palapa’ – yang merupakan sebuah perumpamaan – sebelum berhasil menyatukan wilayah Nusantara di bawah bendera gula klapa, bendera nasional kerajaan.
Sampai saat ini, di pelajaran sejarah, sumpah palapa masih dikenang sebagai sebuah pencapaian besar Majapahit. Agaknya, mengingat dan mempelajari Majapahit akan satu paket dengan mengenal dan mengingat Gajah Mada beserta Sumpah Palapa. Beberapa orang kemudian menganggap patih ini sebagai sosok ‘mendahului zaman’ tatkala berusaha menyatukan Nusantara.
Namun, sesungguhnya ada hal aneh dari deklarasi di awal masa pemerintah Hayam Wuruk ini. Sulit menemukan bukti bahwa perintah itu berasal dari raja. Berbagai catatan sejarah menyebutkan jika Gajah Mada mendeklarasikan sumpah di depan para pejabat tinggi Majapahit lalu berbuah ketidakpercayaan. Hal itu kemudian semakin memantapkan niat sang patih untuk melakoni berbagai ekspedisi dalam rangka penaklukkan wilayah.
Perintah dari Hayam Wuruk sebenarnya adalah hal penting. Majapahit merupakan negara monarki. Kekuasaan tertingginya berada di tangan raja dan jabatan patih berada di bawah kekuasaan raja. Maka, deklarasi sang patih yang datang tanpa perintah raja adalah hal janggal. Bukankah itu sebuah keputusan melangkahi raja – sesuatu yang bisa berakibat sangat fatal di masa kerajaan?
Entah Gajah Mada melakoni lobi politik seperti apa sehingga ia tetap bisa menjalankan ambisinya menyatukan wilayah Nusantara. Bahkan, ia bisa pulang membawa hasil gemilang dengan berbagai tambahan vasal bagi Majapahit. Setelah itu, namanya semakin tenar dan menjadi tokoh penting kedua di Majapahit.
Jauh lebih ke belakang, Gajah Mada sebenarnya pernah menjadi tertuduh dalam kasus meninggalnya raja kedua Majapahit, Jayanegara. Hasil investigasi resmi mengatakan bahwa tabib istana bernama Ra Tanca berada di balik kematian sang raja. Namun, banyak pihak menduga bahwa Gajah Mada – saat itu masih seorang tentara kerajaan – juga turut terlibat.
Ia disebut-sebut menjadikan Ra Tanca, rekannya di kesatuan Bhayangkara, sebagai boneka untuk membunuh raja. Saat kejadian, Gajah Mada menyaksikan tindakan itu. Ia lalu bertindak cepat membunuh Ra Tanca.
Dugaan keterlibatan Gajah Mada dalam drama ini berawal dari ketidaksukaannya pada sang raja yang disebut main serong dengan istri sang patih. Wow! Ia memilih Ra Tanca karena merupakan kompetitornya dalam pemilihan komandan pasukan Bhayangkara. Ra Tanca ia bunuh tanpa dibawa ke pengadilan untuk menghapuskan jejak keterlibatannya. Maka, dalam sekali dayung, Gajah Mada berhasil membunuh musuh pribadi sekaligus musuh politiknya. Cadas!
Setelahnya, seperti kisah konspirasi umumnya, Gajah Mada dielu-elukan sebagai pahlawan setelah membunuh Ra Tanca, si pembunuh raja. Bahkan, namanya tetap bersih dan ia berhasil melewati fit dan proper test lalu menjadi patih di masa Hayam Wuruk.
Pada tahun 1357 Masehi, saat ia sudah menjadi patih, Gajah Mada juga menunjukkan tindakan yang melangkahi Hayam Wuruk sebagai raja. Semua bermula saat raja Majapahit hendak menikahi putri raja Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Kerajaan Sunda sudah menerima dan berkenan atas keinginan Hayam Wuruk. Dikirimlah rombongan Kerajaan Sunda menuju Majapahit demi pernikahan itu.
Namun, Gajah Mada sebagai patih punya cara sendiri memandang rencana pernikahan ini. Alih-alih siap sedia dengan segala perintah raja, Gajah Mada beserta pasukannya berangkat sendiri demi mencegat rombongan Kerajaan Sunda. Sang patih menganggap bahwa kedatangan rombongan itu bukan demi pernikahan tetapi sebagai sebuah tanda penyerahan diri ke Majapahit. Gajah Mada, mungkin, ia merasa momen ini adalah waktu yang tepat untuk menyempurnakan sumpahnya beberapa tahun silam. Sebab, wilayah Sunda belum berhasil ia kuasai.
Rombongan Kerajaan Galuh tentu saja tidak terima. Mereka merasa seperti ditipu. Sekali lagi, tanpa adanya perintah apapun dari raja Majapahit, Gajah Mada membantai rombongan pengantin itu di sebuah wilayah bernama Pesanggrahan Bubat, tidak jauh dari ibukota Majapahit. Semua rombongan ikut tewas akibat ambisi politik sang patih. Belakangan, Dyah Pitaloka Citraresmi memilih belapati, ia tewas bunuh diri bersama rakyatnya.
Dua kesalahan besar telah dilakukan Gajah Mada. Pertama, ia melakukan tindakan di luar perintah raja. Kedua, ia membuat gagal rencana pernikahan raja Majapahit alias junjungannya sendiri. Apakah ini membuat Gajah Mada dikenakan hukuman mati layaknya penjahat? Ternyata tidak! Bahkan walaupun tindakannya membuat hubungan kedua kerajaan renggang hingga jangka waktu ratusan tahun setelahnya.
Ia diusir secara halus dengan cara diberi tanah perdikan di daerah bernama Madakaripura, di luar ibukota Majapahit. Ia juga tidak secara tegas diberhentikan sebagai patih. Ia disebut-sebut tetap menjabat posisi itu walaupun sudah jarang digunakan oleh raja.
Kini, dalam beberapa hal, Majapahit disebut-sebut sebagai kerajaan yang mirip dengan sebuah negara modern bernama Indonesia. Mulai dari luas wilayahnya hingga benderanya. Nama pasukan elit kerajaan yang pernah dipimpin Gajah Mada pun kini menjadi tentara kerajaan kini menjadi nama lain korps kepolisian; Bhayangkara. Di balik semua itu, ternyata, kisah pejabat kebal hukum dan konspirasi antar pejabat negara sudah bisa ditemukan di kerajaan kuno itu.
Sayang, kala melancarkan serangan di Bubat, Gajah Mada tidak dibantu oleh agen rahasia kerajaan dari benua Amerika. Jika saja dibantu, mungkin Gajah Mada akan naik tahta menjadi raja di Majapahit dan mengubah poros kebijakan negara. Sayang pula, waktu itu tidak ada pandemi COVID-19. Sebab, jika saat itu ada pandemi, Gajah Mada bisa melupakan ambisinya atas Sumpah Palapa dan memilih berbisnis PCR atau swab test untuk rakyat Majapahit. Tentu saja tanpa harus takut dimarahi raja dan tetap gagah perkasa penuh kuasa.
Sebentar, kenapa akhirnya begitu, ya? Itu Gajah Mada atau
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.