Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Nesa

Perpres 117/2021, Demi Lingkungan Nasib Rakyat Terabaikan?

Bisnis | Monday, 10 Jan 2022, 00:09 WIB

Bagai makan buah simalakama. Kiranya perumpamaan itu pas untuk menggambarkan Perpres Nomor 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Betapa tidak, jika Perpres tersebut dijalankan akan menyelamatkan lingkungan. Di sisi lain, pengesahannya juga menjadi mimpi buruk bagi perekonomian rakyat.

Disinyalir dengan diberlakukannya Perpres tersebut akan menurunkan emisi gas buang kendaraan bermotor. Itulah dalih pemerintah, menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Sesuai Perpres 117/2021 premium dan pertalite memang belum dihapus. Tapi dilihat dari pernyataan resmi Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Soerjaningsih menuturkan Indonesia memasuki masa transisi menuju BBM ramah lingkungan, dengan mengganti premium dengan pertalite. Kemudian pertalite akan digantikan dengan pertamax sesuai dengan roadmap. (Tempo.co, 2/1/2022)

Peralihan dari Premium ke Pertalite disebut akan mampu menurunkan kadar emisi karbon dioksida sebesar 14%. Sedangkan perubahan ke Pertamax berpotensi akan menurunkan kembali emisi sebesar 27%. Semakin sedikit emisi tentunya semakin sehat pula lingkungan hidup. Tak dimungkiri semua orang pasti menginginkan udara bersih yang mereka hirup.

Namun usaha menciptakan udara bersih tak selamanya berjalan mulus. Ada 27,54 juta penduduk miskin menurut BPS, yang harus diperhitungkan kondisi keuangannya jika premium dan pertalite dihapus. Mampukah mereka membeli pertamax yang harganya lebih mahal dari premium dan pertalite? Belum lagi harga kebutuhan pokok yang pastinya akan naik mengikuti kenaikan harga BBM.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, penghapusan premium dan pertalite akan menciptakan inflasi atau bahkan hiperinflasi. Pasalnya ketergantungan masyarakat terhadap dua jenis BBM tersebut begitu tinggi. Berdasarkan data konsumsi BBM nasional pada November 2020, penggunaan premium dan pertalite mencapai 86 persen.

BBM belum naik saja, di masa pandemi daya beli masyarakat sudah menurun. Diperparah lagi dengan naiknya gas LPG non-subsidi, kebutuhan pokok naik, tarif listrik diusulkan naik, tarif PPN naik, dan sekarang BBM akan hilang. Kemiskinan dan ketimpangan diprediksi akan semakin tinggi tahun ini. Penguasa harus benar-benar memperhatikan dampak tersebut. Untuk bisa melangsungkan hidup masyarakat tidak cukup dengan menghirup udara bersih saja. Mereka butuh makan, pakaian, rumah, alat transportasi, pendidikan, jaminan kesehatan, dan setumpuk keperluan hidup lainnya. Jangan berdalih demi menyelamatkan lingkungan tapi mengorbankan jutaan manusia.

Nampaknya upaya penguasa untuk menciptakan lingkungan bersih perlu untuk dikaji lebih. Pasalnya Perpres pro lingkungan ini tak sejalan dengan Omnibus Law. Peraturan bernafaskan kapitalisme ini membuka lebar-lebar keran deforestasi. Para pemodal akan dipermudah izin membuka hutan demi bisnis mereka. Selain itu, Omnibus Law juga mengatur hak guna usaha yang diperpanjang menjadi 90 tahun, dihapusnya prinsip tanggung jawab mutlak pada pelaku pencemaran lingkungan, dan dicabutnya kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan izin yang telah diterbitkan.

Jelas tidak sinkron antara Omnibus Law dengan Perpres 117/2021. Omnibus Law merusak lingkungan, sedangkan Perpres 117/2021 menyelamatkan lingkungan. Maka wajar jika masyarakat bertanya benarkah Perpres 117/2021 demi melindungi lingkungan? Tak adakah cara membuat lingkungan bersih selain dengan mengorbankan sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak?

Ya, hasil pertambangan termasuk BBM adalah hajat hidup orang banyak. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw bahwa segala sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak maka hak atas kepemilikannya adalah semua orang tanpa ada pengkhususan untuk orang tertentu. Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad bahwa Nabi Saw bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api."

Hadits tersebut menjelaskan bahwa manusia baik muslim maupun non muslim di seluruh dunia berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air, dan api. Ketiganya dimanfaatkan oleh semua orang seperti pemanfaatan sinar matahari dan udara. Tidak boleh ada seseorang yang menghalangi orang lain dalam memanfaatkannya. Salah satu upaya menghalangi yaitu dengan menjualnya dengan harga tinggi. Islam melarang hal tersebut.

Memang dari awal negeri ini telah salah dalam mengelola BBM. Hingga harga BBM jauh lebih mahal dari pada ongkos produksi. Semua bermula dari arah pandang kapitalisme. Sistem ini tidak mengenal kepemilikan umum. Sebaliknya kapitalisme memandang segala sesuatu bisa bernilai ekonomis, bisa menghasilkan uang. Terlebih barang vital seperti BBM pasti semua akan membeli berapapun harga yang ditawarkan. Meskipun Pertamina adalah perusahaan plat merah namun tetap tujuan utamanya adalah profit.

Menurut ekonomi senior Kwik Kian Gie, ketika harga jual premium Rp 6.000/liter, ongkos produksinya hanya sebesar Rp 630/liter. Tapi pemerintah berdalih harga sebesar itu sudah disubsidi sebesar Rp 4.000/liter. Karena perhitungannya mengacu pada harga minyak dunia yang kala itu sebesar Rp 10.063/liter.

Sedangkan harga minyak dunia ditentukan oleh beberapa perusahaan minyak dunia. Banyak hal yang menjadi bahan pertimbangannya, diantaranya sangat spekulatif, seperti perhitungan investasi, ekspansi, pengaruh geopolitik, dan pertumbuhan ekonomi dunia. Jadi menentukan harga minyak dunia tak sekedar menghitung ongkos produksi dan kesepakatan supply and demand. Tak sesederhana itu.

Tak heran jika harga BBM bisa naik kapanpun sesuai kehendak para perusahaan raksasa tersebut. Dan Masyarakat luaslah yang menanggung beban harga BBM yang mahal. Padahal merekalah pemilik yang sesungguhnya sesuai dengan apa yang dikabarkan Sang Suri Tauladan kita. Semua itu karena kapitalisme biang keladinya.

Terkait menjaga kebersihan lingkungan, tak mengapa mengganti premium dan pertalite dengan pertamax. Asal buang dulu kapitalisme sistem cacat. Agar harga BBM apapun jenisnya ramah di kantong masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image