Dialektika Sastra Arab dan Fikih (Sastra dan Sholawat)
Sastra | 2024-01-11 12:51:33Mamdukh | Penulis, Peneliti, Sosial Budaya, Islam, Bahasa Sastra Arab dan Kajian Timur Tengah
Sastra Arab adalah istilah untuk karya sastra yang diproduksi dalam bahasa Arab, mencakup berbagai jenis tulisan seperti puisi, prosa, dan drama. Sastra Arab memiliki sejarah yang panjang, dimulai dari puisi lisan pra-Islam hingga karya-karya kontemporer, dan dihargai atas keindahan bahasa, metrum, dan kedalaman maknanya. Prosa Arab melibatkan karya ilmiah, sejarah, dan fiksi, dengan beberapa karya terkenal seperti "Al-Mu'allaqat". Sastra merupakan bagian dari bahasa seringkali menggunakan ungkapan yang berlebihan dan tidak rasional, mencoba menanamkan sifat-sifat manusia pada benda mati. Sastra dianggap sebagai bahasa hati dan ekspresi perasaan, lebih menekankan emosi daripada logika, sehingga cenderung terkesan romantis mempunyai fibrasi dimensi mendalam. Jenis karya sastra Arab
1. Al Madah (pujian),
2. Al Hija’ (ejekan),
3. Al Fakhr (pengagungan),
4. Ar Rasa’ (ratapan)
5. Al Ghazal (cinta),
6. Al Wasfy (pensifatan),
7. Al Zuhd (zuhud),
8. Al ‘Itab wa al ‘Itizar (teguran dan pembelaan),
9. Al Syi’ry at Ta’limy (syair pengajaran),
10. Al Syi’ry al Fukahy (syair humor).
Sastra, terutama dalam konteks ungkapan cinta kasih, seringkali menggunakan bahasa yang berlebihan atau "lebay". Hal-hal yang sebenarnya biasa-biasa saja dapat terlihat sangat istimewa tergantung pada perasaan dan kedalaman cinta seseorang. Manusia kadang ingin menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan dengan bahasa manusia yang terbatas, sehingga mereka beralih ke bahasa kiasan sebagai ekspresi cinta yang mendalam (Wahyudi; 2024).
Dalam mengurai makna karya sastra perlu lmu sastra Arab mencakup berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa Arab. Beberapa bidang utama dalam ilmu sastra Arab melibatkan analisis, pemahaman terhadap karya sastra tersebut. Beberapa ilmu sastra Arab yang umum melibatkan: Ilmu Al-Balaghah, Ilmu Al-Ma'ani (Semantika), Ilmu Al-Badi' , Ilmu Al-Mazhariyyah , Ilmu Al-Nathr , Ilmu Al-Tafsir al Adabi, Ilmu Al-Tarikh Al-Adabi , Ilmu Al-Takhrij al Adabi, Ilmu Al-Ulum Al-Ijtima'iyyah al Adabiyah, Ilmu Al-Adab al Arabi, Ilmu Al Fikh Lughoh
Pada aspek ritme ada bahar dalam sastra Arab mengacu pada pola atau metrum yang digunakan dalam puisi Arab. Bahar adalah dasar dalam membentuk struktur puisi Arab, dan terdiri dari berbagai jenis dengan pola-pola yang berbeda. Beberapa jenis bahar yang umum digunakan dalam sastra Arab antara lain: Bahar Rajaz (رجز), Bahar Tawil (طويل), Bahar Khafif (خفيف), Bahar Basit (بسيط), Bahar Muttal (متل) Bahar Rajaz Makhraj (رجز مخرج), Bahar Mutakarib (متقارب), Bahar Muqtatab (مقطع)
Ilmu sastra Arab adalah bidang yang luas dan terus berkembang, dengan sub-disiplin yang mencerminkan kompleksitas dan keberagaman sastra Arab. Pemilihan bahar dalam puisi Arab tidak hanya memengaruhi ritme dan suara puisi, tetapi juga dapat memperkaya ekspresi dan makna puisi itu sendiri. Para penyair Arab sering kali memiliki keahlian dalam menggabungkan berbagai jenis bahar untuk menciptakan karya yang beragam dan menarik.
Bangsa Arab dikenal dengan kekayaan sastranya, yang telah ada sejak zaman jahiliyah. Mereka selalu membanggakan keindahan sastra Arab yang dapat menggambarkan berbagai aspek kehidupan, termasuk peperangan, isu sosial, politik, pujian, dan lainnya. Sastra menjadi cara untuk mencatat sejarah dan kehidupan sosial mereka.
Nabi Muhammad SAW terkenal dengan akhlak mulianya sebelum menerima risalah kenabian. Sifat jujur, amanah, dan dapat dipercaya membuatnya dicintai oleh para sahabat. Setelah menerima risalah kenabian, kasih sayang terhadap beliau semakin tumbuh. Para sahabat sering menggunakan bahasa sastra untuk menyatakan cinta mereka, seperti yang dilakukan oleh Hasan bin Tsabit, salah satu sahabat Nabi yang terkenal dengan karya sastranya dan pujiannya terhadap Nabi Muhammad SAW.
Generasi setelah periode sahabat Nabi juga melahirkan sastrawan-sastrawan besar yang terkenal. Banyak tokoh yang, dipengaruhi oleh cinta mereka kepada Nabi, menghasilkan puisi atau prosa sebagai bentuk ungkapan dan ekspresi hati. Seperti karya sastra pada umumnya, bahasa yang digunakan cenderung mendayu dan sering kali menggunakan ungkapan kata metafora atau majas. Terkadang, sejarah Nabi juga diolah dalam bentuk sastra oleh penulis seperti Imam Barzanji, Imam Bushiri, karya Ulama Nusantara dan lainnya. Buku-buku karya sastra ulama sering ditemui di pasaran. Di Mesir atau negara-negara Arab lainnya, buku yang terkait dengan al-madaih an-nabawiyah (pujian Nabi Muhammad SAW) umumnya ditempatkan di rak sastra atau rak buku-buku sufi. Hal ini karena karya tersebut berkategori sastra, bukan sejarah. Bahasanya pun bersifat sastra, bukan sejarah. Membaca karya sastra dengan pendekatan sejarah secara tekstual dapat menyesatkan, dan penulisan sejarah Nabi Muhammad SAW bisa dianggap berlebihan. Oleh karena itu, dalam buku-buku sejarah, kitab-kitab sastra tidak pernah dijadikan rujukan, meskipun isinya berupa biografi atau pujian terhadap Nabi. Hal ini dikarenakan karya sastra bukanlah bagian dari buku sejarah.
Bahasa Al-Quran juga bahasa sastra. Banyak ungkapan majas dan kata-kata metafora yang terdapat dalam Al Quran. Kesukaan orang Arab terhadap bahasa sastra tercermin dalam Al-Quran, yang turun dengan bahasa yang jauh lebih indah dan hebat dibandingkan bahasa sastra ciptaan manusia. Bahasa Al-Quran bahkan dianggap sebagai mukjizat yang tak tertandingi sepanjang masa.
Akhir-akhir ini, banyak orang yang kurang memahami sastra Arab sehingga mudah tersesat dan melakukan penuduhan tanpa pemahaman yang cukup. Sastra sering kali diinterpretasikan secara tekstual dan diolah secara logika, padahal seharusnya dipahami sebagai bahasa hati. Hasilnya, muncul sikap menuduh orang lain sebagai pelaku sesat dan ghuluw (Wahyudi; 2024).
Dialektika Sastra Arab & Fikih
Sastra dan Sholawat
Sastra dan Sholawat merupakan bagian dari prosa syair madah yang menjadi bagian dari dialektika dinamis. Dialektika dalam sastra Arab mencakup perbincangan dinamis antara unsur-unsur, ide, dan konflik dalam karya sastra. Dalam puisi Arab, dialektika muncul dalam pertentangan antara tema-tema seperti kehidupan dan kematian, cinta dan kehilangan, atau tradisi dan modernitas, menggunakan bahasa metaforis dan simbolik untuk menciptakan makna kompleks.
Dalam konteks sholawat,
Shalawat kepada Nabi memiliki dua bentuk, yaitu shalawat ma’surat dan shalawat ghairu ma’surat. Shalawat ma’surat adalah shalawat yang redaksinya langsung diajarkan oleh Nabi SAW, seperti shalawat yang dibaca dalam tasyahud akhir dalam shalat. Sedangkan shalawat ghairu ma’surat adalah shalawat yang disusun oleh selain Nabi SAW, yakni para sahabat, tabi’in, auliya’, atau yang lainnya di kalangan Ulama Islam. Susunan shalawat ini mengepresikan permohonan, pujian, dan sanjungan yang disusun dalam bentuk madah sya’ir (Huda, Sokhih:2008) dalam hal ini perlu adanya dialektika yang melibatkan hubungan yang berkembang antara pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan pemahaman spiritual. Sholawat menjadi titik pertemuan antara kekaguman terhadap karakter Nabi dan perjalanan rohaniah individu, dengan nuansa dari pengagungan semangat hingga momen kontemplatif dan mendalam.
Baik sastra Arab maupun sholawat menawarkan dimensi dinamis dengan perbincangan dan pergerakan pemikiran. Dialektika berperan dalam menciptakan makna yang kaya, menggali kedalaman, dan memberikan nuansa yang kaya dalam ungkapan kedua bentuk seni tersebut. Saat memahami sastra Arab, penting untuk menempatkannya pada konteks sastra itu sendiri. Tidak seharusnya sastra dipahami secara tekstual dan dilogikakan, karena bahasa sastra memiliki dimensi hati yang mendalam. Kesalahan dalam penafsiran dapat menyebabkan kesalahpahaman dan bahkan menyesatkan.
Dalam konteks fikih, dapat merujuk pada kaidah ushul fikih yang menyatakan bahwa
(اَلأُمُوْ رُ بِمَقَاصِدِھَا) semua perkara tergantung pada maksudnya artinya bahwa segala perkataan bergantung pada niat dan maksudnya sebagai instrumen untuk mengurai sastra secara fikih. Oleh karena itu, perlu diperjelas bahwa sastra sebaiknya ditempatkan pada ranah sastra, dan kajian analisis perspektif sastra budaya bukan dianalisis secara tekstual dan logika Pemahaman yang keliru dapat menghasilkan penilaian yang tidak adil dan merugikan. Sastra seharusnya diapresiasi sebagai ekspresi artistik dan emosional, bukan untuk digunakan sebagai alat untuk menghakimi orang lain.
Referense
· ‘Abd al-Sâtir, Abbas. Dîwân Al-Nâbighah al-Dzubyâni. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 1996.
· ‘Āṣī, Mīsyāl, and Emīl Badī Ya’qūb. Al-Mu’jam al-Mufaṣṣal Fi al-Lughah Wa al-Adab. Beirut: Dar al-’Ilm li Almalayīn, 1987.
· Abd al-Sâtir, Abbâs. Dîwân Al-Nâbighah al-Dzubyâni. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 1996.
· Abu Ali, Muhammad Taufiq. Al-Amtsāl al-Arabiyyah Wa al-Ashr alJāhili. Beirut: Dar al-Nafais, 19
· Ahmad al-Hashimi, Jawāhir al-Adab, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 322.
· Ahmad al-Iskandary wa Mushthafa, `Anāny, al-Wasith fi al-Adabiy al-Arabiy wa Tārīkhihi, (Mesir: Dār al-Ma`ārif, 1919)
· Ahmad Hasan al-Zayyāt, Tārikh al-Adabi, (Kairo: Dal al-Nahdhah, 1968),
· Al-‘Amidi Saif ad-Dîn, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm. cet.1. Beirut, Dâr al-Fikr, 1996.
· Al-‘Umarî Nadiyyah Syarîf, Al-Ijtihâd Fi Al-Islâm, cet. 3. Beirut, Muassasah arRisalah, 1986.
· Al-‘Umari, Al-Ijtihad Mesir, Dâr Al-Maktab, t.t. Al-Ashfahani Al-Imâm Abû Nu’aim, Al-Hilyatu Al-Auliyâ, Juz IV, Beirut, Dâr Al-Fikr, t.t.
· Al-Fakhoury, Hanna. Al-Jāmi Fi Tārikh al-Adab al-Arabi: Al-Adab alQadīm. 1st ed. Beirut, 1986.
· Al-Hasyimi, Ahmad. Jawahir Al-Adab Fi Adabiyyat Wa Insya Lughah alArab. Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah, 1999.
· Al-Zurzani, Ibn Abdullah al-Husein. Syarh Al-Mu’allqat al-Sab’. Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah, 1985.
· Anis, Ibrahim. Mûsiqâ Al-Syi’r. Mesir: Maktabah al-Enjelo alMishriyah, 1952.
· Aswad, Husein, and Jamul Jamul. “Al-Kuhhan al-Jahiliyyun Wa Basyairuhum Bi al-Nabiyyi Qabla Mab’ashi; Dirasah Adabiyah Tarikhiyyah,” 2017
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LkiS, 2008)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
