Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sylviana Rachelyn Dhea Marlina

Demokratisasi dan Konflik Sipil di Sudan

Politik | 2024-01-09 20:29:24
gambar Bendera Sudan

Omar Al Bashir melakukan kudeta pada tahun 1989 dan ia mendirikan Dewan Komando Revolusi untuk Keselamatan Nasional, yang memerintah negara itu. Bashir membubarkan parlemen, melarang partai politik, dan mengontrol pers dengan ketat. Dia didukung oleh Hasan al-Turabi, seorang ekstremis Muslim dan pemimpin Front Islam Nasional (NIF). Bersama-sama mereka mulai mengislamkan negara itu, dan pada Maret 1991 hukum Islam (Syariat) diperkenalkan. Ia memimpin Sudan secara otoriter selama 30 tahun

Pada tahun 2003, kelompok pemberontak Afrika kulit hitam di Darfur melancarkan serangan terhadap pemerintah Bashir, mengklaim perlakuan tidak adil. Untuk memerangi pemberontakan Darfur, presiden meminta bantuan milisi Arab yang dikenal sebagai Janjaweed, yang metode brutalnya meneror warga sipil di wilayah tersebut, mencegah organisasi bantuan internasional mengirimkan makanan dan persediaan medis yang sangat dibutuhkan, dan membuat lebih dari dua juta orang mengungsi. Akibat kejahatan kemanusiaan ini Omar Al Bashir dituntut ICC atas kejahatan kemanusiaan terjadinya genosida di Darfur.

Pada tahun 1983, perang saudara antara mayoritas penganut Kristen dan animis di Sudan Selatan dengan wilayah pemerintah pusat Sudan di utara yang didominasi Muslim berlanjut setelah sempat terjadi gencatan senjata pada tahun 1972. Perang saudara ini berlangsung hingga tahun 2005, ketika disepakatinya perjanjian perdamaian antara pihak pemerintah Sudan dan pemberontak Sudan Selatan. Perjanjian perdamaian ini menghasilkan sebuah referendum yang membuat wilayah Sudan Selatan merdeka dari Sudan.

Selama masa kepemimpinannya, cadangan devisa Sudan melimpah ketika pemerintahan Omar Al Bashir mengeksploitasi minyak di wilayah Sudan Selatan, kendali pemerintah atas nasionalisasi perusahaan dicabut dan standar hidup masyarakat Sudan meningkat. Tetapi ekonomi Sudan melambat sejak Sudan Selatan merdeka, yang menguras tiga perempat dari minyak negara itu bersamanya. Sejak saat itu, kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Sudan mulai menurun dan kemiskinan meningkat yang mendorong terjadinya revolusi Sudan pada tahun 2019.

Perang saudara Sudan

Analisa Konflik di Sudan 

Terjadinya krisis legitimasi di Sudan pada tahun 2019 yang bermula dari sebuah krisis ekonomi dan kemudian berubah menjadi sebuah krisis politik diakibatkan oleh terjadinya sekesesi Sudan Selatan pada tahun 2011. Wilayah Sudan Selatan yang sudah terpisah dengan Sudan yang membutuhkan sumber daya minyak yang melimpah dari wilayah Sudan Selatan menjadi penunjang perekonomian Sudan selama rezim kepemimpinan Omar Al Bashir, lepasnya wilayah tersebut membuat perekonomian Sudan kolaps dan meningkatkan angka kemiskinan dan kelaparan yang mencakup dari 77% penduduk Sudan semenjak terjadinya krisis ekonomi.

Kondisi masyarakat Sudan yang kesulitan membuat masyarakat Sudan melakukan aksi protes diakibatkan kondisi standar hidup yang semakin menurun, dan masyarakat juga menuntut proses demokratisasi di Sudan dan menentang rezim otoriter Omar Al Bashir yang sudah melanggar banyak asas-asas kemanusiaan dengan melakukan pembantaian di Darfur, Sudan Selatan, maupun mengopresi kegiatan politik di Sudan dan secara sistematik melakukan penindasan terhadap para oposisi maupun pengkritik rezim.

Kondisi krisis yang sudah tidak terkendali mengakibatkan pihak militer melakukan intervensi terhadap kondisi krisis politik dan mengkudeta Omar Al Bashir. Sebagai cara untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat Sudan maupun memperoleh legitimasi dunia internasional sebuah proses demokratisasi dilakukan oleh pemerintahan transisi yang terdiri dari kombinasi elemen Militer-Sipil. Perarturan yang menjamin kebebasan berpendapat dan hak-hak berkehidupan layak bagi kaum wanita di sahkan, dan peraturan yang menegaskan bahwa Sudan merupakan sebuah negara sekuler dirancang oleh pihak pemerintah Sudan.

Selama pemerintahan Omar Al Bashir hingga terjadinya Revolusi di Sudan, Sudan dapat dikategorikan sebagai fragile state yang disebabkan oleh banyaknya konflik bersenjata internal, penindasan terhadap kegiatan perpolitikan dan maraknya angka kemiskinan yang disebabkan oleh distribusi kekayaan yang tidak merata yang dihasilkan dari keuntungan sumber daya minyak. Setelah cadangan minyak Sudan berkurang secara drastis, ekonomi Sudan terdampak krisis dan mengakibatkan pecahnya gelombang demonstrasi dan gerakan revolusi pada tahun 2019 yang pada akhirnya mendorong rezim Omar Al Bashir turun dan dimulainya proses demokratisasi di Sudan.

Kesimpulan 

Agar dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat Sudan maupun dari dunia internasional, maka pemerintahan transisi Sudan dibawah kepemimpinan Abdel Fattah al-Burhan dan Abdalla Hamdok harus melakukan proses demokratisasi di Sudan dengan menghilangkan budaya-budaya otoriter yang berlangsung selama masa kepemipinan Omar Al Bashir. Pihak militer yang memiliki pengaruh politik yang besar di Sudan harus dapat merelakan kekuasaan politik mereka kepada pihak sipil agar kondisi seperti demonstrasi, kekerasan dan krisis politik pada tahun 2019 tidak terulang lagi.

Kebijakan pemerintahan transisi dalam memproklamirkan Sudan sebagai negara sekuler dapat berjalan dengan efektif apabila hukum yang berkaitan dengan Hukum Islam (Syariah) dihapuskan dari konstitusi Sudan, hal ini harus dilakukan mengingat adanya jumlah masyarakat non-muslim yang cukup siginifikan di Sudan. Dengan mengurangi konflik antar etnis dan agama dengan mengadopsi politik sekularisme maka Sudan dapat menghindari berbagai konflik yang terjadi selama masa kepemimpinan Omar Al Bashir yang menjadikan Sudan sebagai salah satu fragile state yang tercipta akibat banyaknya konflik internal di Sudan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image