Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shela Rahmadhani, S. Pt.

Bayadak Eh..!! Rohingya Si Pencari Suaka Diperlakukan Semena-mena

Info Terkini | Monday, 08 Jan 2024, 14:38 WIB
Sumber : republika.com

Setelah terombang ambing di lautan akhirnya kapal pengungsi Rohingya mendapatkan tempat untuk berlabuh. Banda Aceh salah satu tujuan yang diharapkan dapat memberikan suaka kepada mereka. Baru-baru ini misalnya, perahu-perahu bobrok yang membawa sekitar 400 etnis Rohingya tiba di Aceh pada Minggu (10/12). Demikian dikatakan kepala komunitas nelayan Aceh, menambah lonjakan kedatangan minoritas Muslim Myanmar baru-baru ini ke Tanah Air (voaindonesia.com, 10/12/2023).

Sebelumnya, badan pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan bahwa 1.200 orang Rohingya, minoritas yang teraniaya dari Myanmar, telah mendarat di Indonesia sejak November.

Ekskalasi pengungsi Rohingya ke Aceh meningkat khususnya beberapa bulan belakangan dan membuat masyarakat Indonesia turut berguncang. Berbagai pernyataan penolakan bahkan pengusiran kembali ke laut setelah mereka berlayar mempertaruhkan nyawa. Alih-alih mendapatkan suaka malah mereka bagaikan keluar dari kejaran Singa malah masuk ke lubang Buaya. Diantara alasan pengusiran kembali ke laut karena masyarakat beranggapan suku Rohingya sudah punya tempat pengungsian hari ini dan mereka harus berjuang mempertahankan tanah Arakan yang merupakan tanah tumpah mereka.

Pengungsi Rohingya adalah bangsa yang tertindas dan sasaran genosida oleh Junta Militer Myanmar. Genosida terhadap etnis Rohingya telah berlangsung sejak 1962 setelah adanya unifikasi identitas nasional oleh Perdana Menteri Ne Win sekaligus Junta Militer. Sayangnya dalam proses unifikasi, terjadi pembelokan sejarah yang menyimpulkan etnis Rohingya tidak layak mendapatkan identitas kewarganegaraan.

Tanah Arakan dan umat Islam merupakan satu-kesatuan yang menjadi identitas etnis Rohingya. Umat islam di tanah Arakan masuk melalui dari 3 cara yaitu Pertama, melalui India dimana Sultan Syah Suja yang merupakan anak Sulthan Mughal melarikan diri dan sampai ke tanah Arakan bersama dengan tentaranya dan berhasil membangun entitas atau kelompok manusia (Sir Alfred Phayre : History of Burma, Trubner & Co, Ludgate Hill, 1883, London ). Dan, pada tahun 1824-1826 terjadi perang Burma dengan Inggris yang pasukan tentaranya berasal dari muslim yang telah dijajah oleh Inggris di India. Kedua, berasal dari masyarakat muslim yang ada di Kesultanan Benggala yang dipimpin oleh Sultan Jalaluddin Syah yang kemudian berasimilasi dengan Raja Budha Mrauk-U (Arakan). Masyarakat Mrauk-U kemudian menjadi entitas baru yang disebut Rohingya, yang berbeda bahasa dan ciri dengan masyarakat Benggala. Yang ketiga adalah migrasi para pedagang. Abad ke 9 umat islam sudah ada di tanah Arakan yang berasal dari pedagang Arab yang berdagang. AFK Jilani's, The Rohingya of Arakan menyatakan bahwa sebelum 788 M, terlihat Rohingya sudah ada disana , "Islam reached Arakan before 788 M. Since then Rohingyas seem to have been residing there".

Sehingga, Arakan mengacu kepada tanah yang didiami dan ditinggali oleh umat Islam, sedangkan Rohingya mengacu pada suku bangsa baru yang memiliki ciri khas sesuai tanah kelahiran atau yang disebut sebagai native. Rohingya adalah bangsa muslim karena mayoritas agama etnis Rohingya adalah Islam. Rohingya merupakan penduduk asli atau native yang memiliki ciri tersendiri, bahkan bahasa tersendiri. Terbentuknya etnis Rohingya sejak umat Islam di bawah Raja Mrauk-U yang Buddha bernama Min Si Won yang berasimilasi dengan Sultan Jalaluddin Syah. Sultan Jalaluddin Syah dan Raja Budha dapat dikatakan memimpin bersama Mrauk-U dan masyarakat mereka menjadi masyarakat yang majemuk dan kosmopolitan. Masyarakat Mrauk-U hidup sejahtera dan damai disana dibawah pemimpin muslim, dan hidup berdampingan dengan agama lain termasuk Budha. Beragam suku bangsa banyak disana. Kesultanan Mrauk-U berlangsung tahun 1430 - 1785 M.

Penolakan penguasa Myanmar untuk menjadikan etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar menjadi pangkal penindasan yang terjadi. Akhirnya, Pemerintah, masyarakat sipil, dan budha esktrimis secara bersama-sama dapat menindas etnis Rohingya dan mengusir mereka dengan cara keji setelah tidak diakui sebagai warga negara. Penyembelihan, pembakaran tempat tinggal, perusakan mesjid dan sekolah-sekolah, dan kekerasan seksual kepada muslimah terjadi khususnya serangan genosida brutal pada 2017. Bahkan PBB menggambarkan Rohingya sebagai “minoritas yang paling teraniaya di dunia.”

Kini lebih dari 960.000 orang etnis Rohingya mengungsi di Bangladesh dan mayoritas tinggal di wilayah Cox Bazar – yang merupakan lokasi kamp pengungsi terbesar di dunia.

Rohingya adalah pengungsi. Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, mendefinisikan pengungsi sebagai “orang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara tersebut.”

Kehidupan pengungsi Rohingya di Cox Bazar sangat sulit, terlebih lagi bantuan pangan yang mereka terima dari Program Pangan Dunia, WFP, merupakan satu-satunya sumber terpercaya yang dapat mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan nutrisi dasar mereka. Namun sejak awal tahun ini, bantuan kemanusiaan ini berada di bawah tekanan berat karena berkurangnya dana donor

Pengungsi Rohingya tidak memiliki mata pencaharian yang layak dan hidup terasing dibalik jeruji kawat. Penderitaan tersebut secara alami mendorong mereka untuk mencari suaka dan penghidupan.

"Tidak adanya mata pencaharian yang layak adalah penyebab utama para penyintas genosida ini melarikan diri dari kamp pengungsi dan melakukan perjalanan berbahaya ke negara-negara muslim seperti Malaysia dan Indonesia," kata Rezaur Rahman Lenin, seorang peneliti Rohingya yang berbasis di Cox's Bazar, kepada DW (dw.com, 1/12/2023)

Sehingga pengungsi Rohingya mengalami ketertindasan dan penderitaan berkepanjangan baik dulu dan hari ini. Tidaklah tepat jika ingin menjadi bagian masyarakat yang menambah penderitaan bangsa yang membutuhkan perlindungan dan melakukan kesemena-menaan atas pengungsi. Terlebih setelah adanya aksi mengutip liputan6, 29/12/2023 dilakukan oleh sekelompok mahasiswa mengakibatkan sejumlah pengungsi Rohingya histeris dan panik. Beberapa pengungsi terlihat menangis terutama pengungsi perempuan dan anak-anak. UNHCR mengomentari aksi tersebut bahwa "UNHCR, Badan Pengungsi PBB, sangat prihatin melihat serangan massa di lokasi penampungan keluarga pengungsi yang rentan, yang mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan di Kota Banda Aceh, Indonesia," kata Muhammad Yanuar Farhanditya, Senior Communications Assistant UNHCR dalam keterangan resmi diterima detikSumut, Kamis (28/12/2023).

Mengetahui perjalanan panjang sejarah etnis Rohingya hingga sampai di detik mereka terdampar dan mengemis-ngemis suaka, penting untuk dilakukan. Dengan demikian, sikap membela atau menghujat, mengurusi atau mengusir memiliki pijakan yang kuat. Sesuatu yang berpijak pada literasi yang rendah akan memicu provokasi dan terzaliminya komunitas tertentu. Dan, secara jelas pengungsi Rohingya adalah bangsa yang tertindas dan seharusnya diberi suaka.

Oleh : Shela Rahmadhani, S. Pt

(Alumni Universitas Gadjah Mada)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image