Budaya Populer dan Cultural Imperialism
Agama | 2024-01-06 15:33:57Budaya populer (Popular culture atau biasa disebut pop culture) adalah produk (budaya) suatu masyarakat yang berkembang luas dan telah menjadi suatu industri massal global, serta sangat mudah diakses oleh komunitas dunia karena di dukung oleh perkembangan teknologi informasi. Adapun bentuk-bentuk produknya dapat berupa media-media komunikasi—baik cetak seperti majalah, koran, buku-buku komik atau novel, maupun elektronik seperti aneka ragam platform media sosial (Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok, dll) dan platform televisi/cinema (seperti Netflix, Vidio, Vision+, Viu, dll)—dan komunikasi kultural seperti film, drama, musik, dll.
Pada perkembangannya, budaya populer mengacu kepada nilai-nilai sekuler yang sangat berpengaruh terhadap perilaku dan praktik kehidupan beragama di kalangan muslim. Dari praktik sosial—termasuk bidang ekonomi, politik dan dakwah Islam—budaya populer telah mereduksi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Imperialisme budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ideologi politik dan globalisasi yang menyebabkan budaya asing menginvasi budaya lokal bahkan menggantikannya. Termasuk melalui industri budaya populer yang mendunia karena semakin terkoneksi akibat arus informasi yang tanpa batas. Industri yang dikontrol oleh kekuatan global yang mengendalikan produk, pasar dan bahkan arus opini. Pada aspek budaya populer seperti industri film dan musik misalnya, utamanya pengaruh AS masih sangat kuat secara global. Pengaruh tersebut dimanfaatkan sangat baik oleh AS untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasannya melalui film dan musik.
Salwen menyatakan dalam Critical Studies of Mass Communication (1991), kecepatan penyebaran imperialisme budaya yang menguasai secara global (saat ini dikuasai oleh Barat) ada dua hal yang mungkin. Yang pertama imperialisme budaya menyebabkan kerusakan budaya lokal hingga budaya itu perlahan ditinggalkan dan tergantikan dengan budaya asing. Akhirnya budaya lokal tak ada bedanya dengan budaya asing. Berikutnya bahwa seringkali ada upaya baik dari pemerintah dan masyarakat lokal untuk mempertahankan budaya lokalnya dan menghambat persebaran budaya asing dengan segenap tenaga. Namun seringkali pengaruh budaya asing tetaplah kuat, karena dianggap memiliki nilai pasar yang lebih menjual.
Digitalisasi arus informasi yang semakin tanpa batas membuka peluang percepatan transfer budaya melalui industri hiburan yang pasarnya sangat dikuasai terutama oleh Barat. Industri film, serial, variety show yang utamanya menyebar melalui platform OTT global seperti Netflix yang akhirnya mudah masuk dan nilai-nilai yang dibawa selanjutnya mudah diadopsi di negara sasaran. Film atau serial misalnya, seringkali memasukkan nilai-nilai Barat sekalipun diproduksi oleh sineas lokal, seperti adegan seksualitas dan kekerasan yang semakin vulgar dipertontonkan. Amerikanisasi pada serial atau film non Amerika mengindikasikan dominasi kekuatan kultural.
Amerikanisasi melalui platform Netflix menurut riset terjadi karena dua faktor. Pertama, mentarget pasar Amerika sebagai pelanggan terbesar Netflix. Kedua, agar konten dapat diterima secara 'universal' dimana kultur Amerika secara global mendominasi dibanding kultur yang lain. Maka akhirnya dapat dikatakan bahwa ‘cultural diversity’ (keragaman budaya) yang digaungkan Netflix, pada praktiknya adalah ‘cultural imperialism’ (penjajahan budaya) sebagai jalan untuk menarik audien di berbagai belahan dunia demi kepentingan profit.
Tentunya, ini menjadi ancaman penjajahan nonfisik yang tidak kalah mengerikan di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Penjajahan budaya menjadi soft power untuk semakin menancapkan kepentingan hegemoni Barat di negeri-negeri muslim. Generasi muda muslim akhirnya mudah dilemahkan dengan nilai-nilai yang dijejalkan melalui industri budaya populer. Generasi liberal, konsumtif, eskapis, emosional, individualis, hedonis, adalah salah sekian dampak penjajahan budaya yang melekat dalam arus persebaran industri budaya populer saat ini.
*Kutipan Digital Literacy Report yang berjudul "Generasi Muda Muslim Ditengah Arus Industri Budaya Populer" yang selengkapnya dapat diunduh di website Institut Muslimah Negarawan imune.id
Referensi:
(1) https://www.kompasiana.com/labibmajdi/5744abef8c7e61850c649ec8/budaya-populer-dan-agama-fenomena-islam-indonesia-kontemporer?page=2&page_images=1
(2) Cartono. 2019. Agama dan Budaya Popular. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 10, No. 1, Juli 2019.
(3) Xinyi Chen1 and Siwen Shen. 2021. Review of the Impact of Cultural Imperialism in the Context of Globalization to the Film Industry. Proceedings of the 2nd International Conference on Language, Art and Cultural Exchange (ICLACE 2021).
(4) Khansa Salsabila. Netflix: Cultural Diversity or Cultural Imperialism? RUBIKON, Journal of Transnsional American Study, Vol. 8, No. 1 February 2021
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.