Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image tubagus farhan maulana

Waris: Antara KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Islam

Edukasi | Friday, 05 Jan 2024, 16:28 WIB

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa kewarisan merupakan orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Senada dengan hal tersebut, Hukum Islam mengidentifikasi waris sebagai bentuk suatu hak yang diterima oleh seseorang dalam bentuk harta pusaka. Lebih lanjut, bentuk harta pusaka yang diterima bisa dalam bentuk material maupun nonmaterial. Dalam aspek terminologi hukum, waris atau disebut kewarisan adalah hukum yang mengatur distribusi harta warisan yang ditinggalkan pewaris untuk ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang mempunyai hak menerimanya.

Kewarisan disebut juga proses perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal kepada individu yang masih hidup. Ketika terjadi peristiwa hukum seperti kematian seseorang, hal ini mengakibatkan dampak hukum terkait pengelolaan dan kelanjutan hak-hak serta kewajiban individu yang telah meninggal. Penyelesaian terhadap hak-hak dan kewajiban sebagai hasil dari peristiwa hukum, yakni kematian seseorang, diatur dalam ranah kewarisan.

Secara formil, pemerintah Indonesia telah mengatur bagaimana pembagian warisan dalam bentuk perundang-undangan. Nomenklatur yang menjadi landasan formil dalam kewarisan di Indonesia yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Jika ditelisik, setiap peraturan tersebut memiliki karakteristik masing-masing dalam ketentuan kewarisan. Sehingga, dalam implementasi pembagian kewarisan di Indonesia terkadang memiliki perbedaan walaupun pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan secara substantif. Dalam perkawinan yang sah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Adapun dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk menentukan hukum yang digunakan dalam pembagian warisan.

Sumber: https://images.pexels.com/photos/3760067/pexels-photo-3760067.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 830 disebutkan bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”, sehingga suatu kewarisan hanya muncul jika ada kematian. Hal tersebut menyebabkan munculnya subjek hukum seperti pewaris dan ahli waris. Pewaris merupakan orang yang memiliki harta pusaka, sedangkan ahli waris merupakan orang yang berhak menerima perpindahan harta pusaka si pewaris. Selanjutnya, klasifikasi yang berhak menjadi ahli waris disebutkan pada Pasal 832 KUHPer yaitu para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Jika tidak ada, maka akan diatur oleh negara melalui lembaga “BPH” atau disebut Balai Harta Peninggalan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau disebut juga “Waris Barat”, ahli waris mempunyai hak untuk menuntut harta “Pewaris” yang meninggal. Hak tersebut disebut Hereditatis Petitio yang pada Pasal 834 dijelaskan bahwa “ Tiap-tiap waris berhak mengajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hak pun menguasai seluruh atau dst”.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 171 menjelaskan bahwa hukum kewarisan merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa‐siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing‐masing. Adapun harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Lebih lanjut, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 atau disebut Kompilasi Hukum Islam memang ditujukan untuk umat muslim di Indonesia. Sehingga ketentuan yang mengatur khusus warga negara yang beragama Islam. Seperti pada Pasal 172 menyebutkan bahwa “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”. Adapun dalam klasifikasi siapa yang berhak menjadi ahli waris dijelaskan dalam Pasal 174 Ayat 1 dan 2 yaitu;

1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri:

a. Menurut hubungan darah:

- golongan laki‐laki terdiri dari: ayah, anak laki‐laki, saudara laki‐laki, paman dan kakek.

- golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Perlu diketahui bahwa pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (waris barat) tidak melihat besar nilai dari pembagian waris laki-laki dan perempuan. Sehingga yang diutamakan mendapatkan warisan merupakan keluarga, baik sedarah atau karena perkawinan. Hal tersebut dikarenakan diperuntukan untuk non muslim. Dan jika terjadi sengketa dalam pembagian warisan diselesaikan di Pengadilan Negeri. Sedangkan, pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam) terlihat jelas pembagian besar nilai suatu kewarisan terhadap laki-laki dan perempuan, sesuai nash Al-quran yang ada. Walaupun sejatinya dalam nomenklatur ini, jika setiap ahli waris rela secara sadar menerima pembagian secara rata itu diperbolehkan sesuai dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam. Dan jika terjadi sengketa dalam pembagian warisan diselesaikan di Pengadilan Agama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image