Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Kebebasan Beragama Bukan Monopoli: Kritik untuk Arya Wedakarna

Info Terkini | 2024-01-02 13:52:46
Sumber foto: dokumen Wikipedia

Pernyataan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali, Arya Wedakarna, baru-baru ini menuai kontroversi. Dalam video yang beredar di media sosial, Arya terlihat tengah memarahi beberapa pegawai Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sambil menyinggung penggunaan jilbab.

Arya mengatakan tidak ingin pegawai dengan jilbab yang melayani di garis depan bandara. Ia menginginkan gadis Bali dengan rambut terbuka yang melayani wisatawan. Menurutnya, Bali bukan Timur Tengah sehingga tidak perlu memakai jilbab. Pernyataan ini jelas merendahkan hak perempuan muslim untuk mengenakan pakaian sesuai keyakinannya.

Sebagai anggota DPD yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat, sikap Arya sangat kontra produktif dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia. Ia seolah memandang sebelah mata penggunaan simbol agama tertentu dan menganggapnya tidak pantas untuk Bali. Padahal, keberagaman adalah kenyataan yang harus dihargai dan dijaga.

Jilbab bagi muslimah bukan sekadar pakaian, tapi juga simbol kepatuhan terhadap perintah agama. Seseorang tidak bisa begitu saja melarang penggunaannya karena itu sama dengan melarang perempuan muslim menjalankan kewajiban agamanya. Apalagi di negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia, jilbab sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keragaman budaya.

Memang benar bahwa Bali dikenal dengan budaya Hindu yang kental. Namun, seiring perkembangan zaman, Bali juga menjadi rumah bagi banyak pendatang dari berbagai suku dan agama. Mereka juga berhak mendapat perlakuan setara dan mengekspresikan identitas agamanya di Bali, termasuk melalui pakaian.

Bali sebagai destinasi wisata internasional justru seharusnya mengapresiasi keragaman sebagai daya tarik. Dengan beragam budaya dan agama yang ada, Bali bisa menunjukkan wajah toleransi dan kerukunan Indonesia. Jika ada upaya membatasi kebebasan beragama dan berekspresi di Bali, itu justru akan merusak citranya sebagai destinasi ramah dan inklusif.

Oleh karena itu, pernyataan Arya soal larangan jilbab di bandara Bali patut dikritisi. Ia telah melanggar hak asasi manusia, khususnya hak perempuan muslim untuk menjalankan ajaran agamanya. Ia juga telah menabur benih intoleransi yang dapat memicu konflik dan disharmoni sosial.

Sebagai penyelenggara negara, Arya seharusnya malah memberikan teladan agar masyarakat menghargai perbedaan dan menciptakan kerukunan. Sikap eksklusif dan stigma negatif terhadap simbol keagamaan tertentu hanya akan memperlebar jarak di antara sesama warga negara. Padahal, Indonesia dibangun di atas semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi keberagaman.

Oleh karena itu, pernyataan Arya soal pelarangan jilbab di Bali perlu ditarik kembali dan dimintakan maaf secara terbuka. Ia juga perlu mengklarifikasi sikapnya agar tidak menimbulkan prasangka negatif. Sementara dari sisi kebijakan, pemerintah perlu menegaskan komitmennya untuk melindungi kebebasan beragama sesuai konstitusi. Dengan begitu, insiden ini bisa menjadi pembelajaran penting untuk menjaga kerukunan dan kesetaraan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image