Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhimatul Khoiriyah

Berkunjung ke Ampenan Melalui Kumpulan Puisi di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? Karya Kiki Sulistyo

Sastra | Tuesday, 02 Jan 2024, 10:06 WIB

Bersalaman dengan Kiki Sulistyo

Kiki Sulistyo. Sumber: borobudurwriters.id

Kalau bicara soal penyair, apakah hanya terlintas nama Sapardi Djoko Damono? M Aan Mansyur? Gus Mus? Atau Chairil Anwar? Memang tidak salah kalau menyebut mereka sebagai penyair kondang, tetapi apakah kamu tau ada penyair terkenal bernama Kiki Sulistyo?

Kiki Sulistyo merupakan seorang penyair kelahiran 16 Januari 1978 yang namanya dikenal karena karya-karya sastranya. Ia adalah seorang penulis kelahiran Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat yang produktif menulis cerpen dan puisi. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan antara lain berjudul Penangkar Bekisar, Di Ampenan Apalagi yang Kau Cari, Belfegor dan Para Penambang, Rawi Tanah Bakarti, Muazin Pertama di Luar Angkasa, Dinding Diwani, dan lain sebagainya.

Kiki menjadi salah satu penulis yang menerima penghargaan Kusala Sastra tahun 2017 lalu pada kategori puisi melalui karyanya yang berjudul Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari?.

Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari terbit pada tahun 2017 dan diterbitkan oleh penerbit BASABASI dengan nomor ISBN 978-602-6651-01-3[1]. Buku ini adalah buku yang menghantarkan Kiki Sulistyo menjadi penyair yang lebih dikenal para pecinta sastra.

Mampir ke Ampenan

Ampenan merupakan sebuah kecamatan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Kecamatan ini dulunya adalah kota, sebelum ibu kota provinsi dipindahkan, sehingga juga disebut sebagai Kota Tua Ampenan. Ampenan juga berarti tempat persinggahan yang berasal dari kata Amben dalam bahasa Sasak. Memang wilayah Ampenan yang merupakan kota pelabuhan menjadi tempat singgah bagi berbagai suku bangsa.

Ampenan awalnya adalah sebuah pelabuhan dan telah dibangun pada tahun 1924. Saat itu bangsa Belanda punya tujuan untuk mengimbangi kerajaan-kerajaan yang ada di Bali. Bisa dibilang pembangunan pelabuhan Ampenan merupakan ambisi kolonial Belanda yang ingin membangun sebuah kota pelabuhan.

Kota Tua Ampenan menjadi saksi sejarah Kota Mataram, Lombok. Kota ini dulunya adalah pusat kota pelabuhan di Lombok saat zaman kolonialisme Belanda. Karenanya, di sana terdapat bangunan-bangunan berarsitektur Belanda. Meskipun terlihat tak terawat, dinding bangunnya mengelupas, terlihat usang, tetapi bangunan tersebut tetap kokoh. Kebanyakan bangunan sudah ada sejak tahun 1800-an sehingga tak heran bila tampak kuno. Bangunan yang ada di Ampenan sengaja untuk tetap dijaga keasliannya hingga saat ini.

Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari?

Puisi-puisi dalam antologi puisi Di Ampenan, Apa yang Kau Cari?, dapat dipahami berisi mengenai segala sesuatu yang ada di Ampenan dari mata penyair atau Kiki, selain itu dikatakan singgah karena pada akhirnya Kiki tidak lagi bermukim di sana.

Antologi puisi tersebut berada dalam isu tentang memori dan pascamemori. Hal ini dikatakan sebagai isu memori karena kota Ampenan dibangun dalam memori tentang keluarga. Sedangkan, hal tersebut dipandang sebagai pascamemori karena kota itu dibangun dalam memori sejarah kota Ampenan yang diingat, dalam artian yaitu ingatan yang menjadi sebuah narasi tentang kota Ampenan. Puisi-puisi ini dibangun atas dasar ingatan Kiki tentang rumah dan keluarganya di Ampenan.

Januari; Ampenan 171. Salah satu judul puisi dalam kumpulan puisi ini mengajak pembaca untuk menilik kembali peristiwa kerusuhan di Ampenan yang terjadi pada 17 Januari 2000. Peristiwa itu seringkali disebut sebagai peristiwa 171 karena terjadi pada tanggal 17 di bulan 1. Kerusuhan yang terjadi diawali dengan pengerusakan terhadap gereja Immanuel setelah tabligh akbar, tepatnya tanggal 25 Desember. Saat itu, momen natal hampir bersamaan dengan Ramadhan.

Lalu, pada 17 Januari, massa merasa panas karena saling tuduh akibat adanya pengeboman di gereja Immanuel dan terjadilah kerusuhan. Kerugian akibat kerusuhan meliputi 10 gereja rusak, 30 rumah dan isinya dibakar, 26 pertokoan dan 10 mobil serta 7 sepeda motor dibakar, korban luka-luka 13 orang termasuk anggota polri. Karenanya, dalam puisi Januari; Ampenan 171, Kiki menjelaskan apa yang ada diingatannya saat kerusuhan itu. Bulan merah yang dimaksud menggambarkan perayaan natal yang identik dengan warna merah.

Januari; Ampenan 171

di bulan merah orang-orang

melempar kaca sejarah

kaca yang pecah disimpan di matamu

setelah kerusuhan Januari

ada ular yang tak pernah tidur

seorang pejalan membisikkan kata-kata

bagi bumi saat kau kecup pagi hari

maka suatu hari pejalan itu menjelma aku

berdiri termangu di depan bangunan yang terbakar

seperti mimpi batu besi sedikit terbuka

denting bel membangunkan sebuah boneka

di bulan merah banyak kenangan dihamburkan

setelah segala sunyi

langit terbuka bagi sekawanan merpati

Pulang dari Ampenan

Kiki benar-benar mengajak pembacanya untuk mampir ke Ampenan, lalu melihat kilasan-kilasan kehidupan masa lalunya di kota tua itu. Dari pembacaan kumpulan puisi Kiki Sulistyo yang berjudul Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? memberikan imajinasi yang luar biasa tentang masa lalu yang dialami oleh penulis, tetapi juga bisa dirasakan oleh pembaca karena satu-dua kesamaan.

Kiki memilih asal sebagai tema penciptaannya, bukan sebagai pilihan badaniah ataupun intelektual, tetapi dia memperlakukan penciptaan sama dengan cara melihat tanah asal sebagai bahan penciptaan yang potensial.

Pembeda antara Kiki dengan penyair lain dengan tema yang sama adalah keberaniannya dalam mengumumkan keperosonalitasan dalam seluruh puisinya. Dari sudut pandang tersebut, Kiki seolah-olah bukan sedang menerbitkan khayalan masa lalu, tetapi seperti menerbitkan serpihan narasi buku diary berbentuk puisi, yang mana bertendensi sentimental: kenangan “aku” di atas kota kelahiran, Ampenan.

[1] Wikipedia. Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? https://id.wikipedia.org/wiki/Di_Ampenan,_Apa_Lagi _yang_Kau_Cari%3F

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image