Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image jok

Kebiasaan Menonton TV Dikaitkan dengan Risiko Penurunan Kemampuan Penalaran

Gaya Hidup | Monday, 01 Jan 2024, 17:33 WIB
Menonton TV dalam jumlah sedang sekalipun dikaitkan dengan kinerja yang lebih buruk pada tes kognitif seiring bertambahnya usia. Foto: Abdan Syakura/Republika via republika.co.id.

MEREKA yang berusia paruh baya yang secara reguler menonton TV untuk hiburan tampaknya memiliki risiko penurunan yang lebih besar dalam hal penalaran dan ingatan mereka di kemudian hari. Demikian tiga penelitian baru menunjukkan, sebagaimana dilaporkan kantor berita UPI, beberapa waktu lalu.

Para peneliti menemukan bahkan menonton TV dalam jumlah sedang sekalipun dikaitkan dengan kinerja yang lebih buruk pada tes kognitif seiring bertambahnya usia. Mereka yang rutin menonton TV dapat juga mengalami atrofi otak yang lebih besar.

Namun, para peneliti tidak dapat menyatakan secara persis apakah faktor TV itu sendiri yang menjadi penyebab penurunan kemampuan otak ini, atau apakah faktor jumlah waktu duduk di sofa saat menonton televisi sebagai biang penyebabnya.

Ketiga penelitian tersebut dipresentasikan secara virtual di acara American Heart Association’s Epidemiology, Prevention, Lifestyle and Cardiometabolic Health Conference.

“Kami menemukan bahwa dibandingkan dengan partisipan penelitian yang melaporkan menonton televisi sangat sedikit, partisipan yang melaporkan menonton televisi dalam jumlah sedang atau tinggi mengalami penurunan sekitar 7% lebih besar dalam fungsi kognitif, berdasarkan kinerja mereka pada tes kognitif selama 15 tahun,” kata Priya Palta, asisten profesor ilmu kedokteran dan epidemiologi di Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons di New York City, yang terlibat dalam salah satu penelitian.

Penelitian Palta melibatkan hampir 6.500 peserta yang cenderung menonton televisi dalam jumlah yang hampir sama selama periode waktu sekitar enam tahun pada pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an.

Penelitian kedua berfokus pada sekitar 970 orang dengan kebiasaan menonton TV yang relatif stabil yang menjalani pemindaian otak tambahan untuk melacak perubahan dalam struktur otak mereka.

Menurut Kelley Pettee Gabriel, ketua penelitian dan juga seorang profesor epidemiologi dari School of Public Healthdi University of Alabama, Birmingham, tim peneliti menemukan bahwa orang yang kadang-kadang atau sering menonton TV memiliki volume materi otak abu-abu tua yang lebih rendah lebih dari satu dekade kemudian, yang mengindikasikan adanya atrofi atau kerusakan otak yang lebih besar.

Materi otak abu-abu memiliki kaitan dalam soal kontrol otot, penglihatan, pendengaran, pengambilan keputusan, dan fungsi otak penting lainnya. Semakin banyak volume materi abu-abu di otak seseorang, semakin baik kemampuan mereka untuk mengingat dan bernalar.

Penelitian ketiga juga berfokus pada materi otak abu-abu, tetapi menggunakan kumpulan data berbeda yang diambil dari studi jangka panjang terkait risiko gangguan arteri koroner pada orang dewasa muda.

Sekitar 600 orang ditanya tentang jumlah rata-rata waktu yang mereka habiskan di depan TV setiap hari selama dua dekade.

Penelitian ini juga menemukan bahwa menonton TV yang lebih banyak dikaitkan dengan volume materi otak abu-abu yang lebih rendah di kemudian hari.

“Penemuan ini menunjukkan bahwa perilaku yang tidak banyak bergerak dapat memberikan risiko unik sehubungan dengan kesehatan otak dan kognitif,” jelas Ryan Dougherty, dari Department of Epidemiology di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Baltimore, lewat rilisnya.

“Ini adalah temuan penting karena sekarang diterima dengan baik bahwa neurobiologi demensia, termasuk atrofi otak, dimulai pada usia paruh baya. Itu adalah periode di mana perilaku yang dapat dimodifikasi seperti menonton TV yang berlebihan dapat dikurangi agar penuaan otak berlangsung secara sehat,” lanjut Dougherty.

Sementara itu, Palta menyatakan bahwa menonton TV dapat diklasifikasikan sebagai perilaku menetap pasif secara kognitif yakni perilaku menetap yang tidak membutuhkan banyak konsentrasi atau pikiran.

“Ini berbeda dengan perilaku menetap yang aktif secara mental, seperti membaca, yang akan lebih merangsang secara kognitif atau membutuhkan lebih banyak kerja otak,” tambah Palta.***

Sumber: United Press International

--

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image