Mengenang Oshin: Kisah Perjuangan di Layar Hitam-Putih
Sastra | 2025-06-08 10:56:00
Di era ketika gemuruh riuhnya kota belum seramai sekarang, dan layar gawai belum merebut perhatian tiap pasang mata, ada sebuah ritual sore yang begitu dinanti.
Jauh sebelum era televisi berwarna mendominasi, di sudut-sudut rumah yang sederhana, layar kaca hitam-putih menjadi jendela ke dunia.
Bagi keluarga kami, dan mungkin banyak keluarga lain di pelosok negeri, jendela itu adalah hadiah yang tak ternilai, sebuah lambang kebahagiaan dan kebanggaan. Televisi itu, yang kala itu masih memancarkan gambar monokrom, bukanlah barang biasa.
Ia adalah piala kemenangan, buah dari kegigihan sepupu kami yang menjuarai lomba tilawah Al-Qur'an tingkat kabupaten. (Iapun telah wafat, alfatihah buat Kak Hajjah Halawiah Binti Sake).
Di tengah desa (tepatnya kelurahan) kami, ia menjadi kebanggaan, dan kehadirannya menjadi kesempatan belajar bagi siapa kami para sepupunya, sekaligus mendapatkan cerita tentang wilayah lain.
Setiap sore, ketika matahari mulai condong ke barat dan azan Asar baru saja usai berkumandang, aroma masakan Ibu beradu dengan suara riuh rendah obrolan yang datang dari rumah tetangga sebelah.
Bukan sembarang obrolan, melainkan bisikan-bisikan antusias yang menanti satu tayangan: Oshin. Drama seri Jepang ini, yang diputar rutin di TVRI, bukan sekadar tontonan hiburan.
Ia adalah sebuah epik perjuangan, sebuah kisah hidup yang seolah merangkum esensi kegigihan manusia dalam menghadapi badai kehidupan.
Rumah tetangga kami, yang ruang tengahnya lapang, menjadi bioskop dadakan bagi keluarga besar kami. Bukan hanya kami yang masih duduk di bangku sekolah dasar, melainkan juga paman, bibi, sepupu, bahkan tetangga-tetangga lain yang tak punya televisi.
Kami duduk berjejer, bersila di lantai, atau berebut tempat di bangku kayu panjang yang usang. Mata kami terpaku pada layar hitam-putih, mengikuti setiap langkah Oshin, seorang gadis kecil yang harus menanggung beban hidup yang begitu berat di usianya yang belia.
Belajar dari Negeri Sakura: Lebih dari Sekadar Drama
Melihat Oshin yang berjuang dari kemiskinan, menjadi pelayan, pedagang, hingga akhirnya memiliki bisnis sendiri, membuka mata kami pada sebuah realitas yang mungkin tak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Di balik layar hitam-putih itu, Jepang bukan hanya sekadar nama negara di peta. Ia adalah tempat di mana ketabahan dan disiplin menjadi pondasi hidup. Dari kisah Oshin, kami belajar tentang kegigihan dan etos kerja tinggi.
Perjuangan Oshin yang tanpa henti, dari seorang anak desa miskin hingga menjadi pengusaha sukses, menunjukkan betapa kuatnya etos kerja masyarakat Jepang. Tak peduli seberapa sulitnya keadaan, mereka selalu berusaha dan pantang menyerah.
Ini adalah pelajaran yang begitu relevan, mengajarkan kami untuk tidak mudah menyerah dalam menggapai cita-cita.
Selain itu, serial ini juga mengajarkan tentang disiplin dan tanggung jawab. Dalam setiap peran yang Oshin jalani, ia selalu menunjukkan kedisiplinan dan tanggung jawab yang luar biasa.
Baik saat ia menjadi pelayan di toko beras, maupun saat ia mengurus bisnisnya sendiri, ia selalu menyelesaikan tugasnya dengan sepenuh hati. Ini adalah cerminan dari budaya Jepang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ini, mengajarkan pentingnya ketepatan waktu dan komitmen.
Kami juga banyak belajar tentang kesederhanaan dan rasa syukur. Meskipun Oshin pada akhirnya meraih kesuksesan, ia tetap mempertahankan kesederhanaan dan tidak pernah melupakan asal-usulnya.
Ia selalu bersyukur atas apa yang ia miliki, tidak larut dalam kemewahan. Ini adalah pengingat penting bagi kami bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu terletak pada harta benda, melainkan pada kemampuan untuk menghargai apa yang ada.
Bgaian yang juga penting, Oshin menyoroti nilai keluarga dan solidaritas. Meskipun seringkali terpisah dan menghadapi berbagai rintangan, ikatan keluarga dalam serial Oshin tetap kuat. Mereka saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam suka maupun duka.
Ini menggambarkan betapa pentingnya nilai keluarga dalam masyarakat Jepang, serta pentingnya solidaritas antar sesama. Terakhir, kami melihat bagaimana Oshin menunjukkan adaptasi dan resiliensi.
Ia menghadapi berbagai perubahan besar dalam hidupnya, dari pedesaan ke kota, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan ia selalu mampu beradaptasi. Ia tidak membiarkan kesulitan menghancurkannya, melainkan menjadikannya pelajaran untuk menjadi lebih kuat. Ini adalah pelajaran tentang resiliensi, kemampuan untuk bangkit kembali setelah terjatuh.
Setiap episode Oshin adalah sebuah pelajaran hidup. Kami tidak hanya terpaku pada alur cerita yang menyentuh, tetapi juga secara tidak langsung menyerap nilai-nilai luhur yang ditawarkan.
Layar hitam-putih itu, di ruang tengah tetangga kami, bukan sekadar media hiburan. Ia adalah kelas kehidupan, tempat kami belajar tentang arti perjuangan, ketabahan, dan bagaimana sebuah negara yang jauh bisa mengajarkan begitu banyak hal kepada kami, anak-anak Indonesia di era itu.
Kini, televisi sudah berwarna, bahkan bisa digenggam dalam saku. Drama-drama dari berbagai belahan dunia bertebaran, mudah diakses kapan saja. Namun, kenangan akan Oshin, yang kami tonton berjejer di lantai ruang tengah tetangga, dengan layar hitam-putih yang memancarkan kisah perjuangan tak terlupakan, akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari ingatan kolektif kami.
Itu adalah era ketika hiburan bukan hanya sekadar tontonan, tetapi juga guru yang mengajarkan banyak hal tentang hidup, tentang Jepang, dan tentang diri kami sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
