Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erika Dwi Septianti

Tantangan dan Solusi dalam Menangani Pengungsi Rohingya di Aceh

Info Terkini | 2023-12-31 15:27:04

Rohingya adalah kelompok etnis minoritas muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar – Negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR. Pada tahun 1982, Pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan. Melalui Undang-Undang itu, etnis Rohingya tidak dimasukkan sebagai ‘ras nasional’ Myanmar dan dianggap sebagai populasi tanpa kewarganegaraan menurut keterangan dari UNHCR. Oleh karena itu, hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, bekerja, dan lain-lain sangat terbatas.

PBB menggambarkan etnis Rohingya adalah salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan, sehingga tidak berhak atas hak-hak dasar dan perlindungan. Mereka sering mengalami diskriminasi dan kekerasan oleh tentara militer dari negara mereka dan masyarakat mayoritas. Mereka juga rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, seperti mengalami kekerasan seksual, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan dan pengusiran paksa yang bertujuan untuk mengintimidasi, mengusir, atau memusnahkan mereka. Akibatnya, mereka meninggalkan negara asalnya untuk menyelamatkan diri dan mengungsi ke wilayah lain. Sebagian dari mereka berada di wilayah tetangga, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Salah satu negara yang menjadi tujuan bagi pengungsi Rohingya adalah Indonesia, khususnya Provinsi Aceh. Lebih dari 1.500 pengungsi Rohingya telah tiba di pesisir provinsi Aceh sejak pertengahan November, yang menurut PBB merupakan gelombang pengungsi terbesar dalam delapan tahun terakhir. Salah satu alasan pengungsi Rohingya lebih memilih tinggal di Aceh karena biayanya yang lebih murah dibanding ke Malaysia. Untuk menuju ke Indonesia, khususnya Aceh, mereka membayar ke agen seharga Rp 14 juta untuk dewasa dan Rp 7 juta untuk anak-anak. Tetapi, mereka tidak menjelaskan secara rinci biaya ke agen untuk pergi ke Malaysia. Alasan lain yang membuat mereka memilih untuk ke Aceh adalah adanya kesamaan agama. Namun, keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh menimbulkan berbagai tantangan.

Salah satu tantangan dalam menghadapi pengungsi Rohingya di Aceh adalah adanya penolakan dari masyarakat setempat. Penolakan ini muncul karena adanya kekhawatiran dari masyarakat setempat akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengungsi rohingya tersebut, seperti gangguan keamanan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi. Beberapa warga juga merasa tidak suka akan sikap mereka yang kerap kurang menghormati dan menghargai masyarakat tersebut.

https://aceh.tribunnews.com/2023/11/16/tetap-ingin-mendarat-di-bireuen-manusia-perahu-rohingya-dalam-kapal-buang-bantuan-sembako-ke-laut" />
https://aceh.tribunnews.com/2023/11/16/tetap-ingin-mendarat-di-bireuen-manusia-perahu-rohingya-dalam-kapal-buang-bantuan-sembako-ke-laut

Kedatangan mereka di Aceh mengalami penolakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat karena mereka dianggap menunjukkan sikap yang kurang menghormati dan menghargai masyarakat Aceh, seperti mereka yang membuang bantuan sembako ke laut. Kejadian ini terjadi pada Kamis, 16 November 2023 ketika para pengungsi Rohingya dalam kapal tersebut hendak mendarat di Pantai Kuala Pawon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, tetapi ditolak oleh warga setempat. Alasan penolakan tersebut karena para pengungsi kerap bikin masalah, seperti kabur dari lokasi penampungan dan lain-lain. Warga Aceh telah menunjukkan sikap toleran dan berbelas kasih dengan memberikan bantuan sembako yang berisi beras dan mie instant yang diantarkan ke kapal mereka. Namun, sikap tersebut tidak dibalas dengan rasa berterima kasih melainkan dengan membuangnya ke laut. Hal ini menunjukkan bahwa pengungsi rohingya tidak menghargai bantuan yang diberikan oleh warga Aceh dan tidak memiliki nilai kemanusiaan. Pada akhirnya, bantuan tersebut diambil kembali oleh warga walaupun sudah terendam air laut.

Selain menunjukkan sikap yang tidak menghargai, alasan warga Aceh menolak pengungsi Rohingnya adalah mereka sudah terlalu banyak dan menjadi beban bagi warga Aceh dalam penyediaan bantuan dan fasilitas. Sejumlah warga Aceh mengaku merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Warga Aceh juga merasa resah dengan perilaku pengungsi Rohingya. “Mereka menganggap dapat musibah jadi bisa seenaknya seolah-olah tempat mereka. Contohnya, mereka mencuri kelapa warga tanpa meminta,” tutur Beni selaku warga setempat yang dikutip dari bbc.com. Persoalan lain, pernah ada seorang perempuan setempat yang dilecehkan oleh pengungsi Rohingya. Kemudian, ada juga pengungsi yang mencoba kabur tetapi ketahuan dan menuduh warga setempat ikut terlibat dalam aksi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengungsi Rohingya tidak memiliki rasa hormat dan berterima kasih kepada warga Aceh yang telah membantu mereka. Selain itu, Di Aceh terdapat daerah yang masih ketat Islamnya, seperti laki-laki dan perempuan tidak boleh disatukan karena bertentangan dengan syariat Islam di Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa pengungsi Rohingya tidak menghargai peraturan agama yang sudah lama diterapkan di Aceh. Itulah alasan mereka menolak para pengungsi Rohingya.

Dari tantangan tersebut, kita dapat melihat bahwa pengungsi Rohingya mengalami penolakan dan ketidakpastian dan warga Aceh mengalami kekhawatiran dan keterbatasan yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, kita membutuhkan solusi yang dapat mengatasi tantangan dan risiko tersebut, serta memberikan harapan dan masa depan yang lebih baik bagi pengungsi Rohingya di Aceh.

Solusi pertama yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi internasional, lembaga sosial, dan masyarakat yang kuat dalam menangani pengungsi Rohingya di Aceh. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melaksanakan rencana aksi bersama, seperti adanya pemantauan, perlindungan, bantuan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan tempat tinggal.

Solusi yang kedua dengan mengadakan program pelatihan keterampilan bagi para pengungsi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan agar bisa mengurangi beban pemerintah dan masyarakat setempat. Program pelatihan keterampilan dapat meliputi keterampilan bahasa, pertanian, perikanan, atau kerajinan. Selain itu, pemerintah juga bisa mengadakan berbagai kegiatan untuk mengetahui minat dan kemampuan mereka, seperti memasak, membuat produk kerajinan, berjualan, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada para pengungsi agar bisa bersikap mandiri dan tidak bergantung kepada masyarakat setempat.

Solusi yang ketiga adalah adanya upaya diplomasi di tingkat ASEAN untuk penyelesaian akar dari konflik di Myanmar yang perlu dikuatkan dengan komitmen politik penanganan pengungsi Rohingya secara bersama-sama. Khususnya, Indonesia, diharapkan turut aktif dalam mendorong komitmen penanganan penyelundupan pengungsi untuk melindungi mereka dari tindak pidana penyelundupan atau perdagangan manusia.

Solusi yang keempat adalah dengan mengedukasi masyarakat mengenai isu-isu pengungsi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyebarkan informasi, fakta, dan data yang akurat tentang pengungsi Rohingya, baik melalui media massa, media sosial, atau bertemu langsung dengan para pengungsi agar bisa melihat kondisi dan situasinya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman dan rasa empati yang tinggi. Dengan mengedukasikan masyarakat tentang isu-isu pengungsi, diharapkan dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan kemanusiaan antara pengungsi rohingya dan warga Aceh agar bisa menciptakan suasana yang harmonis dan damai dan bisa membangun pemahaman dan kerjasama yang berkelanjutan untuk msa depan yang lebih baik.

Dalam menemukan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi harus tetap mempertimbangkan kekhawatiran dan kendala yang dialami oleh masyarakat setempat, pemerintah, organisasi internasional. Hal ini dilakukan dengan bekerja sama dalam menyediakan tempat penampungan yang layak dan mengedukasi masyarakat tentang pengungsi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image