Kepergian yang Misterius
Sastra | 2024-12-26 20:31:24Munzir berziarah ke makam nenek usai shalat subuh bersama Agam. Sebelum ia pergi, terdapat sebuah pesan dari ibu, bahwa setelah ia kuliah nanti, jangan lupa membawa cinta sejati. Ingin sekali ibu menimang cucu. Agam abangnya yang sudah menikah selama sepuluh tahun, belum diberi keturunan sehingga membuat ibu berharap banyak pada Munzir.
"Munzir, emak dan ayah sudah tua. Tidak perlu kamu lanjut S3 sebelum berumah tangga. Pikirkan siapa yang akan mengurus mu nanti. Sebab emak dan ayah ini sudah renta. Ingin pula menimang cucu." Wajah teduh ibu membuat Munzir terdiam lesu karena ucapan itu.
"Iya benar enuk lon (anakku) jika engkau sudah S2 lekas kembali dan bawa menantu untuk lon (aku) hanya engkaulah harapan kami. Agam sudah divonis takkan memiliki keturunan, meski tidak tahu takdir Tuhan ke depan. Namun, jangan engkau sampaikan padanya jika aku mengatakan ini, aku tak mau Agam tersinggung dan sedih."
Munzir tidak menjawab pernyataan ayah. Tetapi matanya nanar seperti ingin membulirkan air mata. Suara mobil sedan mengklakson dari arah belakang. Paman Riza menjemput Munzir menuju terminal untuk terbang ke Belanda, melalui Bandara di Medan. Dua tas berisi pakaian dimasukkan dalam bagasi. Tas ranselnya ia pangku karena berat sekali.
Besok adalah hari Senin, seharusnya ia berangkat kemarin. Dosen Aldo telah berkali-kali menelpon agar ia lekas terbang untuk mengikuti seminar pertanian di sana. Tetapi, karena merasa ilmu dalam seminar tersebut bisa diperoleh dari surat kabar, ia tidak pergi cepat karena akan jauh dari keluarga. Biarkan dirinya lebih lama sebelum tinggal di negeri orang.
Pagi itu Minggu, tepat pukul 07.30. Munzir menyalami ayah dan ibunya. Mencium kening perempuan senja itu, dan memeluk kedua orangtuanya. Terdengar suara ombak pantai Lampuuk di seberang sana. Kampung Munzir memang sangat berdekatan dengan laut. Pantai indah dan disampingnya terdapat tebing-tebing disertai pepohonan yang asri.
"Munzir pamit mak, nanti akan sering Munzir kabari ayah dan ibu jika sudah tiba ya."
"Baik nak, doa kami menyertaimu."
Tidak ada yang menyadari sebuah peristiwa akan terjadi. Setelah dua puluh menit menuju loket. Gempa terjadi. Sangat kencang sehingga membuat para pengendara motor terjatuh. Di kejauhan, pohon-pohon melambai-lambai. Munzir menelpon Agam selanjutnya ayah. Tetapi, sinyal sangat buruk. Sedangkan bus akan berangkat. Munzir pamit dengan pamannya. Ia akan melanjutkan perjalanan.
Sampai di area kota Banda Aceh, mengapa banyak sekali orang-orang berlarian berteriak dan banyak yang menyebut nama Allah. Anehnya, mereka lari dengan baju serba ada. Wajah mereka juga menunjukkan ketakutan besar. Supir menerima kabar bahwa air laut telah menerjang daratan dan akan sampai di tengah kota. Benar saja, di kejauhan terlihat air dengan ketinggian hampir setara dengan pohon kelapa datang dengan gagahnya. Mobil berhenti karena tidak bisa lewat akibat banyaknya manusia. Semua keluar dari mobil. Masing-masing mencari jalan keluar. Sayang, air telah dekat dan membawa Munzir. Saat terbangun, tubuhnya penuh lumpur dengan tangan terkoyak akibat terkena atap besi. Kemeja merahnya semakin menyala karena bercampur darah. Ia bingung berada di mana. Ia melihat begitu banyak mayat di sekelilingnya dan tanah sedikit masih bergetar. Serune ambulan menggema di mana-mana.
Kamis, 26 Desember 2024
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.