Integrasi Tasawuf dengan Syariah
Agama | 2023-12-31 02:28:12INTEGRASI TASAWUF DENGAN SYARI’AH Ajaran Islam dibangun di atas tiga landasan, yaitu akidah, syariat, dan akhlak. Ajaran tersebut secara lengkap tercermin pada pribadi Nabi Muhammad Saw sebagai Al-Quran hidup. Nabi Muhammad Saw merupakan figur sentral yang menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual. Istilah syariat (syari'ah) menurut bahasa berarti jalan, yakni jalan besar di sebuah kota. Syariat pun berarti apa yang diturunkan Allah Swt kepada para rasul-Nya, meliputi akidah dan hukum-hukum, sedangkan secara khusus, syariat berarti hukum Islam." Syariat dalam arti luas adalah al-din, yaitu agama yang diturunkan Allah kepada para nabi, sebagaimana dijelaskan pada Q.S. Asy-Syürǎ [42]: 13 yang artinya berbunyi, "Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)- Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)."Integrasi Syariah dengan Tasawuf. Islam adalah agama yang memadukan syariah dan akhlak (tasawuf) di atas landasan akidah Pada diri Rasulullah SAW Interaksi tersebut tercermin pada sikap beliau yang konsisten mematuhi syariah dalam kehidupan pribadi dan sosial (ibadah dan muamalah). Sementara di sisi lain, beliau adalah seorang yang melewati sebagian malamnya dengan rukuk dan sujud, serta tetes air mata kerinduan kepada Allah. Hati beliau senantiasa berhubungan dengan Allah. Namun, kerinduannya kepada Allah memberikan kebaikan kepada sesamanya tanpa mengenal musim dengan cita rasa kemanusiaan universal. Integrasi keduanya bisa merenggang, namun akan terus diperjuangkan oleh ulama hingga mendekat dan menyatu kembali secara simponi. Sunah Nabi menegaskan, hanya dengan memadukan keduanya, kebaikan dunia dan akhirat akan terwujud, karena keduanya memenuhi kebutuhan individu, sosial, dan spiritual manusia secara terpadu. Integrasi antara tasawuf dan syariah merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Tasawuf, yang merupakan dimensi mistik dan spiritual Islam, dan syariah, yang merupakan hukum Islam, saling melengkapi dalam membentuk praktik keagamaan yang utuh. Dalam ajaran Islam, integrasi ini tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad, yang menaati syariah secara konsisten sambil mendalami dimensi spiritual melalui praktik tasawuf.Tasawuf, atau sufisme, menekankan aspek-aspek seperti pembinaan akhlak, hubungan antara manusia dan Tuhan, dan pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam. Integrasi tasawuf dengan syariah menekankan bahwa aspek-aspek ini tidak bertentangan dengan hukum Islam, melainkan saling melengkapi. Misalnya, tasawuf sunni, yang merupakan aliran tasawuf utama, menekankan bahwa ajarannya selaras sepenuhnya dengan hukum syariah dan tidak mengandung unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam sejarah Islam, tokoh-tokoh seperti Imam al-Ghazali dikenal karena kontribusinya dalam memadukan antara tasawuf dan syariah. Beliau menulis banyak karya yang membahas kedua aspek ini, dan pemikirannya memiliki pengaruh yang besar dalam pengembangan ajaran Islam. Integrasi antara tasawuf dan syariah juga memiliki relevansi dalam konteks kehidupan modern. Dalam masyarakat kontemporer, di mana sering terjadi polarisasi antara aspek-aspek spiritual dan hukum formal, pemahaman yang utuh tentang integrasi ini dapat membantu umat Islam dalam mempraktekkan ajaran agamanya secara komprehensif. Dengan demikian, integrasi antara tasawuf dan syariah merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad dan memiliki relevansi yang besar dalam konteks kehidupan modern. Melalui pemahaman yang utuh tentang integrasi ini, umat Islam dapat mempraktekkan ajaran agamanya secara komprehensif dan seimbang.Integrasi antara tasawuf dan syariah merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Tasawuf, yang merupakan dimensi spiritualitas dan akhlak, dan syariah, yang merupakan hukum Islam, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam ajaran Islam, integrasi ini tercermin dalam kehidupan Rasulullah SAW, yang secara konsisten mematuhi syariah sambil menjaga hubungan spiritual yang erat dengan Allah. Studi juga menunjukkan bahwa konsep tasawuf sebagai bagian integral dari pendidikan Islam di pondok pesantren, di mana tasawuf dan syariat dianggap sebagai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan tasawuf tanpa syariat dianggap tidak akan mencapai tujuan. Oleh karena itu, pendidikan Islam berbasis tasawuf harus memperhatikan penerapan unsur-unsur syariat dan hakikat secara seimbang. Dalam konteks ini, integrasi tasawuf dengan syariah memainkan peran penting dalam membangun keseimbangan antara aspek hukum dan spiritualitas dalam kehidupan umat Islam. Hal ini juga mencerminkan upaya untuk mencapai tujuan akhir, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui pemahaman dan praktik yang seimbang antara syariah dan tasawuf.
Ihsan Esensi Ajaran Keruhanian Dalam IslamBanyak ayat Alquran yang mendorong umat Islam untuk mengembangkan kualitas nurani manusia (al-dhamîr al-insânî) agar merasakan ihsân, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, meskipun manusia tidak dapat melihat-Nya, karena Allah senantiasa melihat manusia. Esensi ihsân terletak pada kesadaran bahwa manusia setiap saat berada dalam pengawasan Allah dan para malaikat, baik di dalam salat maupun di luar salat. Kesadaran itu terletak pada kalbu yang memiliki dua kekuatan: al-quwwah al-dzawqiyyah (kepekaan emosi) dan al-quwwah al-rûhiyyah (kepekaan spiritual). Dengan demikian ihsân merupakan modal keruhanian (spiritual capital) untuk menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab dalam melahirkan kebaikan kepada manusia dan lingkungan hidup. Keharusan untuk menyadari bahwa manusia itu berada dalam pengawasan Allah dan para malaikat tersurat dalam Al-Qur’an sebagai berikut “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Q.s. Qaf [50]: 18) “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Q.s. Ghâfir [40]: 19).“Luqman berkata, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Lukmân [31]: 16). “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Q.s. al-Taghâbun [64]: 4). “Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Q.s. al-Mulk [67]: 13).Menurut al-Sarrâj (w. 988 M/378 H) ada empat langkah yang harus dilakukan seorang Muslim guna mewujudkan agenda tazkiyah al-nafs, mensucikan jiwa, yakni: (a) al-’Ibâdâh, yaitu melakukan pelbagai ibadah secara istiqâmah-mudawwamah, konsisten dan berkesinambungan, baik ibadah yang wajib maupun ibadah yang sunah, yang bersifat ‘ibâdah mahdhah maupun ‘ibâdah mu‘âmalah yang berdimensi sosial; (b) al-Mujâhadah, yaitu perjuangan atau jihad melawan dorongan hawa nafsu. Motivasi, idea, atau dorongan untuk berbuat dosa sekecil apa pun harus dilawan dan dikendalikan agar tidak menjadi virus yang mematikan; (c) al-riyâdhuh al-rûhâniyyah, pelatihan ruhani atau altarbiyyah al-rûhâniyyah, pendidikan spiritual (spiritual education); (d) al-inqith` ila Allâh, mengorientasikan diri dengan satu prinsip bahwa hidup ini semata-mata untuk Allah.13 Kesucian jiwa menjadi perhatian utama Alquran, bahkan salah satu tugas pokok seorang utusan Allah adalah menyucikan jiwa manusia dari kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafikan, penyakit hati, dan sifat-sifat tercela.
Ihsan adalah tasawuf, tasawuf adalah ikhsan Dari penjelasan di atas, dapat ditarik suatu perspektif bahwa ihsan adalah tasawuf, dan tasawuf adalah ihsan. Ihsan adalah tasawuf qur'ani, suni, akhlaki, amali, dan salafi yang tidak bercampur dengan syaṭahat dan bidah. Mahmud Amin al-Nawawi, Guru Besar Universitas menyatakan, "Tasawuf yang bercampur dengan syaṭaḥat dan bidah yang keluar dari kebiasaan para salaf saleh generasi awal merupakan sesuatu yang (menyimpang). Dosanya lebih besar dari manfaatnya, sedangkan keburukannya lebih banyak dari kebaikannya karena tasawuf ini keluar dari jalan lurus. Setan memakaikan tasawuf yang menyimpang itu kepada orang-orang bodoh, lalu membisikkan kepadanya bahwa mereka itu sungguh termasuk orang-orang pilihan yang mendapat petunjuk, padahal mereka tidak mendapat petunjuk. Junayd al-Bagdadi memandang bahwa semua jalan rohani tertutup bagi manusia, kecuali jalan rohani yang sesuai dengan asar (peninggalan) Rasulullah Saw, mengikuti sunah dan membiasakan metodologi beliau karena semua jalan kebaikan hanya terbuka melalui sunah beliau. Dengan demikian, ihsan adalah tasawuf, dan tasawuf adalah ihsan sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas bahwa ihsan merupakan jalan rohani yang sesuai dengan asar Rasulullah Saw. Ihsan adalah pengamalan tasawuf dengan mengikuti dan membiasakan sunah Nabi Saw secara konsisten. Hanya dengan mengikuti dan mengamalkan tasawuf qur'ani, suni, akhlaki, amali, dan salafi, jalan kebaikan dunia akhirat dapat diraih dengan sempurna.
Perpisahan Fikih Dengan TasawufKata Fiqih adalah bahasa Arab yang berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang bermakna mengerti atau memahami. Rintisan memadukan fikih dengan tasawuf dimulai oleh Imam Malik bin Anas, seorang ahli fikih, mujtahid, imam mazhab yang berpengetahuan luas, dan juga salah seorang sufi, pengamal tasawuf. Imam Malik berpendapat (Siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fikih, maka sungguh ia telah menyimpang). Beliau me- mandang bahwa ilmu itu bukan karena menguasai banyak sumber rujukan (al-riwayah), akan tetapi berdasarkan nur yang disimpan oleh Allah Swt di dalam kalbu. Pandangan Imam Malik bin Anas ini memadukan 'ilm al-'aql (pengetahuan akal) dan 'ilm al-qalb (pengetahuan kalbu) yang merupakan landasan tasawuf suni. Berdasarkan pemikiran di atas, Imam Malik berhasil memperkuat ketokohan dirinya dalam bidang fikih dan tasawuf dengan melahirkan dua langkah. Pertama, menekankan pentingnya mempelajari fikih sebelum mempelajari tasawuf agar tidak menjadi zindik (kelompok penyimpangan agama). Kedua, keyakinan beliau bahwa pengetahuan yang sejatinya (al-hikmah) adalah nur yang ditiupkan Allah Swt ke dalam kalbu. Menurut Imam Malik, al-hikmah adalah fikih, pemahaman mendalam tentang agama Allah Swt yang diperoleh melalui cara Allah Swt memasukkan al-hikmah ke dalam sanubari. Dapat pula ditambahkan bahwa al-hikmah adalah menaati Allah Swt, mengikuti bimbingan Allah Swt, memahami agama Allah Swt, dan memiliki pengetahuan tentang agama Allah Swt. Perjuangan Imam Malik bin Anas dalam memadukan fikih dengan tasawuf diteruskan oleh beberapa ulama terkemuka, seperti Abu Abdullah al-Harits bin Asad al-Muhasibi (wafat 243 H), Abu Bakar Muhammad al- Kalabadzi (wafat 380 H), Abu Thalib al-Makki (wafat 386 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi (wafat 465 H), dan mencapai puncaknya pada masa Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H). Beliau berhasil memadukan kedua corak orientasi keberagamaan lahiriah dan batiniah tersebut dalam suatu simfoni indah yang dikenal sebagai tasawuf suni, yakni pengamalan tasawuf berdasarkan bimbingan Al-Qur'an dan sunah Nabi Saw " Perpaduan fikih dengan tasawuf merupakan perpaduan antara law dan morality. Substansi syariat atau fikih adalah aturan-aturan dan norma-norma hukum yang memberikan arah dan tujuan agar ibadah, pengabdian, dan penyerahan diri manusia kepada Allah Swt dilakukan dengan benar sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana digariskan di dalam Al-Qur'an dan sunah Nabi Muhammad Saw, serta membawa dampak pada penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah Swt Syariat atau hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari dimensi akhlak, bahkan dalam keadaan tertentu dituntut untuk mengedepankan akhlak atas hukum. Ada lima komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian muslim. Dasar pertama adalah akidah yang benar, berdiri di atas keimanan yang benar, dan mendorong pada tindakan yang lurus. Dasar kedua adalah model ideal yang menjadi uswatun-hasanah (teladan yang baik), Dasar ketiga adalah kapasitas diri untuk menjadi manusia pembelajar yang mencintai ilmu dan menerapkan ilmu dalam kehidupannya. Dasar keempat adalah ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah Swt. Dasar kelima adalah semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam hidupnya.
Perpaduan Fikih Dengan Tasawuf Pada Pokok-Pokok Agamadijelaskan perpaduan fikih dengan tasawuf dalam salat, zakat, puasa, dan haji yang merupakan pokok-pokok agama atau rukun Islam sehingga melahirkan dimensi tasawuf dalam salat, dimensi tasawuf dalam zakat, dimensi tasawuf dalam puasa, dan dimensi tasawuf dalam ibadah haji.Dimensi Tasawuf dalam Salat Salat menurut bahasa berarti doa. Dalam masyarakat jahiliah, salat diwujudkan dalam bentuk komunikasi dengan para dewa melalui pembacaan mantra, bersiul, dan bertepuk tangan sebagaimana disebutkan pada Q.S. Al-Anfal [8]: 35 yang artinya berbunyi, "Salat mereka di sekitar Baitullah tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka, rasakanlah azab ini karena kamu selalu kufur." Sementara itu, salat menurut istilah adalah ibadah khusus yang terdiri dari bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratulihram dan ditutup dengan ucapan salam. Salat memiliki dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir salat adalah salat dalam wawasan fikih, sedangkan dimensi batin salat adalah salat dalam wawasan tasawuf. Salat dalam wawasan fikih terdiri dari bacaan dan gerakan. Bacaan salat terdiri dari takbiratulihram, doa pembuka (iftitah), bacaan Surah Al-Fatihah, takbir al-intiqal, yakni takbir peralihan dari satu gerakan kepada gerakan lain, bacaan ketika rukuk, bacaan ketika sujud, bacaan ketika duduk di antara dua sujud, bacaan tahiat, dan ucapan salam. Sementara itu, gerakan salat yang pokok adalah berdiri menghadap kiblat, rukuk, sujud, dan duduk.
Dimensi Tasawuf dalam Zakat Secara bahasa, zakat berarti suci, bersih, tumbuh, dan berkembang. Dengan mengeluarkan zakat, seorang muslim berarti menyucikan harta yang dimi- likinya dari hak fakir miskin sekaligus mengembangkan aset kekayaannya agar bertambah, berkah, dan mendapat rida Allah Swt. Zakat menurut definisi al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi adalah istilah untuk pengambilan kadar tertentu dari jenis harta tertentu milik seorang muslim atau muslimah menurut sifat-sifat tertentu untuk diberikan kepada golongan masyarakat tertentu yang berhak menerima zakat atau yang disebut dengan mustahik. Sementara itu. menurut jumhur ulama, zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak, berkenaan dengan jenis harta tertentu dengan syarat dan ketentuan yang diatur sedemikian rupa diberikan kepada mustahik zakat, yakni golongan masyarakat yang menerima zakat. Para ulama bersepakat bahwa hukum zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini dijelaskan pula Jalam QS. Al-Bayyinah (98) 5 yang artinya berbunyi, "Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah Swt dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang harus (benar).” Membayarkan zakat, termasuk memberikan infak atau sedekah, secara matematika mengurangi jumlah harta kekayaan yang kita miliki. Namun menurut Allah, berzakat itu menumbuhkembangkan harta. Maksudnya, harta yang dizakatkan bukan berkurang, tetapi bertambah. Bukan bertam bah dalam jumlah, melainkan kualitasnya, yakni bertambah keberkahannya. Keberkahan yang diberikan Allah de dengan mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah dapat berupa energi positif yang mengalir kepada para pihak yang terkait dengan zakat, yakni orang yang berzakat (muzaki), harta yang dizakatkan, penerima zakat (mustahik), dan narahubung yang menjadi jembatan antara muzaki dan mustahik Keberkahan.
Dimensi Tasawuf dalam Puasa Puasa, atau saum (al-shawm) dalam bentuk tunggal dan siam (al-shiyam) dalam bentuk jamak, secara bahasa berarti menahan atau mengendalikan. Dalam istilah agama, puasa adalah menahan atau mengendalikan untuk tidak makan, tidak minum, tidak merokok, dan tidak melakukan hubungan suami istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari yang dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah . Perintah puasa kepada kaum muslimin termaktub dalam ayat Al-Qur'an berikut. "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah (2): 183) Sementara itu, ayat di atas mengandung tiga pesan utama, yaitu ;1) puasa terkait dengan iman 2) puasa sudah diwajibkan kepada umat para nabi terdahulu, dan 3) puasa memiliki tujuan guna membentuk pribadi yang ber takwa. Dengan demikian, iman menjadi landasan keberhasilan seseorang dalam berpuasa. Iman adalah daya, energi, atau tenaga yang mendorong seseorang untuk tahan dan tangguh dalam menjalani puasa dengan berkelas Dengan kekuatan iman, seorang yang berpuasa memasang niat puasa dengan landasan lillah (untuk Allah Swt). Melalui niat lillah, seorang yang berpuasa memiliki motivasi untuk Allah Swt dan memiliki harapan mendapat rida- Nya. Niat demikian akan menghasilkan tiga kondisi, yakni motivasi yang bersifat internal yang muncul dari dalam dirinya, dorongan yang kuat dengan daya yang sempurna, dan kebulatan tekad guna mewujudkan puasa yang berkelas.
Dimensi Tasawuf dalam Ibadah Haji Pada bagian ini, pembahasan dimensi tasawuf dalam manasik haji difo kuskan pada dimensi tasawuf dalam berihram dari mikat, tawaf, sai, dan wukuf yang dijelaskan sebagai berikut.
Berihram dari Mikat Rangkaian manasik haji dimulai dengan berihram dari mikat. Dalam pelaksanaan berihram, terkandung nilai-nilai tasawuf dalam bentuk hikmah/ rahasia berihram. Pertama, mandi, wudu, dan berhias merupakan langkah tazkiyat al-nafs guna meraih kesucian dan keindahan lahir batin. Kedua, mandi dan wudu menyadarkan kita bahwa ibadah haji adalah miniatur kematian, yakni menghadap, kembali, dan berjumpa dengan Allah Swt di rumah-Nya (Baitullah) dengan bertamu kepada-Nya. Ketiga, sesudah mati, kita dimandikan, dibersihkan, dikafani, disalatkan, didoakan, dan diantarkan ke kuburan, maka dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah, seluruhnya kita sendiri yang melakukan. Keempat, berihram berarti melatih jiwa merasakan kematian sebelum datang kematian dengan mengendalikan diri dari berbagai dorongan rendah (seksual, marah, dan berdebat). Kelima, berihram dengan memakai dua helai kain kafan melatih jiwa kita agar berserah total kepada Allah Swt seperti mayat yang berserah total kepada orang yang me mandikannya. Keenam, kain ihram dan kain kafan sama-sama putih yang sebenarnya bukan melambangkan warna. Ibadah haji mendidik kita untuk takhalli, melepas warna dan corak hidup, pangkat, jabatan, dan status sosial guna menyadari jati diri kita sebagai hamba Allah Swt. Ketujuh, selama berihram dianjurkan untuk terus bertalbiah agar jiwa kita dekat ber- jumpa dengan Allah dengan ber-takhalli dari identitas, pangkat, dan status sosial. Adapun bunyi kalimat talbiah yaitu sebagai berikut. "Aku datang penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku datang penuhi panggilan- Mu, aku datang penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku datang penuhi panggilan-Mu. Sejatinya segala puji, nikmat, dan kekuasaan milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Rahasia Tawaf Terdapat beberapa rahasia tawaf yang dapat kita petik. Pertama, tawaf merupakan bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah Swt mengikuti model penyerahan diri bumi, matahari, dan bulan yang patuh mengikuti aturan Allah Swt berputar pada garis orbitnya. Kedua, membimbing manusia bahwa tawaf, berkeliling mengitari rumah Allah Swt, menumbuhkan kesadaran bahwa manusia membutuhkan Allah Swt. Dengan tawaf, manusia berjihad agar dekat dan berjumpa dengan Allah Swt. Ketiga, menyadarkan manusia bahwa dirinya merupakan bagian dari semesta alam yang secara sunatullah aslama, patuh dan berserah sepenuhnya kepada Allah Swt, baik dengan sadar maupun terpaksa.
Rahasia Sai Sesungguhnya, Safa dan Marwa itu termasuk di antara syiar Allah Swt. Maka barang siapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak bersalah baginya untuk sai di antara keduanya." Kata sai secara bahasa berarti usaha, langkah, atau berjalan cepat. Sai merupakan isyarat bahwa manusia perlu berusaha, melangkah, dan berjuang untuk menjadi tamu Allah, dekat dengan-Nya, dan berjumpa dengan-Nya (di rumah Allah Swt).Esensi ibadah adalah melepas ego dan keakuan dengan mematuhi aturan Allah Swt dan berserah lahir batin kepada-Nya secara total. Dengan bersai di antara Safa dan Marwa sesuai aturan, berarti mengikuti diklat untuk melepas ego agar diterima menjadi tamu Allah Swt Etos perjuangan ini diharapkan membentuk karakter orang beriman yang pernah menunaikan ibadah haji atau umrah guna merasakan pendidikan spiritual untuk melepas ego dan mendidik penyerahan diri secara total kepada-Nya agar diterima menjadi tamu Allah Swt dan menjadi sahabat serta kekasih-Nya.
Rahasia Wukuf di Arafah Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, al-hajju 'arafatun (berhaji adalah wukuf di Arafah). kata wuquf secara bahasa berarti berhenti, diam, atau berdiri. Dalam ibadah haji, wukuf adalah berada di Arafah sejak zuhur pada tanggal 9 Zulhijah hingga subuh pada tanggal 10 Zulhijjah dengan niat wukuf, atau setidaknya hingga terbenam matahari. Wukuf adalah takhalli, yaitu mengosongkan pikiran, perasaan, dan kesadaran dari selain Allah Swt dengan diam dan berhenti dari segala aktivitas dan duduk bersimpuh di hadapan Allah Swt. Dalam wukuf, kita bermunajat serta berzikir secara lisan dan kalbu dengan menghubungkan pikiran, rasa, dan kesadaran kepada Allah Swt semata. Wukuf adalah muräqabah dan muhasabah, yaitu melihat diri sendiri dengan jujur, lalu menghitung dan merasakan kekurangannya. Ucapkan di hadapan Allah Swt dengan tulus permohonan ampun dari segala dosa, bulatkan tekad untuk lebih baik, dan memohon bimbingan agar hidup istiqamah mudawamah dalam iman dan takwa. Ketika wukuf, Allah membuka hijab dan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Para malaikat turun ke bumi untuk mengaminkan doa-doa hamba.
Kesimpulannya Islam adalah agama yang memadukan syariah dan akhlak (tasawuf) di atas landasan akidah. Pada diri Rasulullah Saw. integrasi tersebut tercermin pada sikap beliau yang konsisten mematuhi syariah dalam kehidupan pribadi dan sosial (ibadah dan muamala Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya. Seperti misalnya perintah untuk shalat, berpuasa, dan larangan untuk membunuh. Sebagai umat Muslim, kita wajib melaksanakan syariat ini dengan sepenuh hati.Sedangkan tasawuf adalah ilmu yang mengajarkan tentang cara menyucikan jiwa dan menjernihkan akhlak serta membangun lahir dan batin untuk mencapai ketenangan abadi. dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan cabang ilmu yang tidak bisa dipisahkan. Saat menjalankan Syariah (perintah Allah) diperlupan akhlak dan batin yang bersih agar tidak merusak eksistensi ibadah.
Sumber Ismail, A. U. (2023). Kuliah Akhlak Tasawuf. PT Bumi Aksara.Rahman, Abd. (2021). Hakikat Ilmu Tasawuf. CV KAAFFAH LEARNING CENTERNurhayati. (2018). FIQH DAN USHUL FIQH. PRENADAMEDIA GROUPKhan, Saniyasnain. (2013). Ibadah Haji Agar Kita Memahami Secara Tepat. Penerbit MARJA
Penulis: 1. Dr. Canra Krisna Jaya, MA.Hum (Dosen UIN Jakarta) 2. Ahmad Mukhlish
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.