Benarkah Membaca Lahirkan Etos Kerja?
Agama | 2023-12-28 18:39:29Saat ini, pemerintah dan beberapa komponen masyarakat tengah gencar mengkampanyekan peningkatan literasi pada masyarakat Indonesia. Terlebih, setelah ramai laporan dari UNESCO yang menyebutkan bahwa, indeks tingkat literasi (minat dan kemampuan membaca) masyarakat Indonesia begitu rendah dibanding Negara-negara lain. Disebutkan, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang gemar membaca.
Sedangkan Central Connecticut State University (CCSU) menempatkan Indonesia di posisi 60 dari 61 negara. Kondisi ini mengetuk hati setiap orang untuk tampil ke gelanggang memperbaiki keadaan. Mencerca, mengutuk keadaan tanpa sedikitpun tergerak hati dan pikirannya adalah cara tak elok dan tidak akan pernah mengubah kenyataan. Justru kontribusi dan kiprah kita yang sedang ditunggu-tunggu.
Dalam catatan sejarah, kemajuan peradaban sebuah bangsa senantiasa berbanding lurus dengan tingkat literasi bangsa itu sendiri. Dalam arti lain, bangsa yang memiliki kegemaran membaca tinggi akan mengalami lompatan perubahan sekaligus menjadi sumber lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa syarat kemajuan bagi sebuah bangsa adalah literasi (membaca dan menulis).
Ber-literasi, menurut perspektif Alquran yang termaktub dalam surah Al-Alaq bukan hanya sekedar melafalkan kata dan angka. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah proses atau kegiatan mengumpulkan, menelaah, mengamati, memikirkan dan meneliti alam semesta, yang dengannya dapat mengantarkan seseorang mengenal Tuhan sang pencipta. Menariknya, konsep ini dikenalkan oleh Islam sejak awal kelahirannya hingga kini.
Hanya saja, aktualisasi nilai dari perintah membaca ini kurang mendapatkan perhatian dari umat Islam saat ini. Jikapun ada, masih sebatas minat atau hanya segelintir orang saja yang benar-benar menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai barometer kemajuan. Sialnya lagi, justru umat nonIslam yang cenderung memiliki minat serta kemampuan membaca tinggi, meski belum sampai mengenal Tuhan semesta alam.
Jika menengok ke belakang, ketika perintah membaca ini turun kepada nabi Muhammad SAW, lalu kemudian sampai kepada masyarakat Arab waktu itu atau lebih tepatnya para sahabat. Terjadi perubahan secara radikal pada orang-orang yang menerima seruan membaca. Cara pandang dalam melihat kehidupan serta pola pikir yang belandaskan pada nilai-nilai keimanan benar-benar nampak adanya.
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S: Al-Alaq:1-5) Ayat ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya membaca bagi kita, sebab pembeda antara manusia dengan makluk lainnya adalah membaca.
Konon, melalui surah ini lahirlah dua kalimat sahadat. Sebagai bentuk pengakuan sekaligus persaksian diri bahwa, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT. Orang yang awalnya menuhankan berhala, jabatan, kekayaan dan hawa nafsu kemudian menanggalkan semuanya. Bahkan, jiwa dan raganya siap dikorbankan demi membela serta menegakkan kalimat Laa ilaha Illallah di atas muka bumi.
Bangsa yang awalnya penakut, lantas berbalik menjadi bangsa paling berani. Melawan dan berhasil mengalahkan dua imperium raksasa, yakni Romawi dan Persia. Bangsa yang mulanya pemalas, seketika menjadi bangsa paling rajin dalam segala bidang. Hingga beberapa abad lamanya, umat Islam bagaikan rembulan di tengah kegelapan malam. Menyinari semesta dengan ilmu yang berhasil ditemukan dan dikembangkan.
Begitulah energi membaca, mampu melahirkan etos kerja luar biasa. Siapapun yang membaca akan menjadi manusia sesungguhnya. Membaca akan menambah wawasan serta membuka kesempitan cara berfikir kita. Membaca, akan melepaskan seseorang dari belenggu kebodohan yang selama ini menyanderanya. Membaca, akan mengantarkan kita pada derajat tinggi dan mulia di sisi manusia dan sisi-Nya.
Makanya, penting bagi kita agar terus membaca. Meningkatkan kapasitas sekaligus kualitas keilmuan dan keahlian kita, yang keduanya bisa didapat dengan cara melakukan penempaan diri baik melalui pendidikan formal (kuliah, sekolah) ataupun non formal (pelatihan, otodidak) dll. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab moral sekaligus percepatan dalam memenuhi Sumber Daya Insani (SDI) yang unggul dan berkualitas.
Kegiatan ini, jika ditarik menggunakan kacamata agama Islam. Maka, kita semua tidak boleh berhenti untuk ber-Iqra’, berpuas diri dengan kemampuan dan keahlian yang saat ini kita kuasai. Kegiatan membaca harus senantiasa menyala dalam hati dan pikiran, mewujud dalam bentuk pekerjaan dan karya nyata peradaban. Tidak ada alasan untuk berhenti membaca, karena sampai detik ini perintah membaca dari tuhan masih terus menyapa.
Bukan sekedar tuntutan pekerjaan semata apalagi didasari keterpaksaan hati demi sebuah citra. Namun, ber-Iqra’ harus benar-benar menjadi kebutuhan pokok yang tanpanya kita tidak ada artinya. Nabi Muhammad SAW menegaskan, “Belajar wajib hukumnya bagi seorang muslim, laki-laki dan perempuan.” (H.R: Ibnu Majah) dalam sabda lainnya, Rasulullah SAW menegaskan; “Belajarlah, mulai dari buaian ibu hingga meninggal.”
Sekali lagi, membaca akan melahirkan energi dan gerakan perubahan untuk diri sendiri dan juga dunia. Melahirkan etos kerja luar biasa, menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab sebagai pengelola dunia. Dengan membaca, kita akan memahami bagaimana seharusnya bekerja, memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan manusia. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.