Pengabdian Sang Kyai Hadratus Syeikh Terhadap Negeri
Sejarah | 2023-12-28 07:44:47KH Mohammad Hasyim Asy’ari yang lebih dikenal dengan sebutan KH Hasyim Ashari, pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, dilahirkan pada tanggal atau 24 Dzulqaidah 1287 H/10 April 1875 di Desa Gedang, Diwek, Jombang, Jawa Timur dan tutup usia pada 25 Juli 1947 dikebumikan di Tebu Ireng, Diwek, Jombang. KH Hasyim Asy’ari adalah putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah. KH Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Kyai Asy’ari, ayah KH Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Keras, Jombang. Kakek KH Hasyim Asy’ari, Kyai Usman, pengasuh Pesantren Gedang, Jombang. Dari garis keturunan ibunya, Nyai Halimah, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Sultan Pajang, Adiwijaya. Dari kakek, ayah dan ibunya, KH Hasyim Ashari memperoleh pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Tokoh ulama pemikir dan pejuang, yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, KH Hasyim Asy’ari, tercatat lahir pada 4 Robiulawwal 1292 H /10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kyai Asy’ari putera Kyai Usman yang pindah ke Keras, mendirikan dan mengasuh Pesantren Keras yang terletak di selatan Jombang. KH Hasyim Asy’ari sendiri merupakan anak ketiga dari 11 orang bersaudara. Dari garis keturunan ibu maupun ayahnya, KH Hasyim Asy’ari memiliki garis genealogi dari Sultan Pajang yang terhubung dengan Maharaja Majapahit Brawijaya V.
Sejak kecil KH Hasyim Asy’ari diasuh dan dididik oleh ayah dan ibunya serta kakeknya, Kyai Usman, pengasuh pesantren Gedang di selatan Jombang, dengan nilai-nilai dasar Tradisi Islam yang kokoh. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Asy’ari sudah tampak. Dalam usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar dari dirinya.
Kealiman Kyai Hasyim makin masyhur, terutama setelah Kyai Kholil, guru Kyai Hasyim sewaktu belajar di Bangkalan, Madura, mengikuti pengajian beliau dan menyatakan menjadi murid beliau. Ribuan santri pun menimba ilmu kepada Kyai Hasyim, di mana setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri tersebut yang kemudian tampil sebagai ulama terkenal dan tokoh pejuang yang berpengaruh. Di antara tokoh tersebut adalah KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R.As’ad KH Usman Al-Ishaqi, KH Masykur, KH Achmad Siddiq, KH A.Muchit Muzadi, Brigjend TNl KH Abdul Manan Widjaja, Brigjend TNI KH Sulam Samsun, Kolonel TNI KH Iskandar Sulaiman, Mayor TNI KH Munasir Ali, dan lain-lain.Tak pelak lagi pada paruh awal abad ke-20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa, sampai zamakhsyari Dhofier yang menulis buku ‘tradisi pesantren’ mencatat pesantren Tebuireng sebagai sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.
KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang disegani dan dihormati oleh umat Islam di luar organisasi NU, di mana beliau tidak hanya menduduki jabatan Rois Akbar NU, tetapi juga Rois Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di dalam organisasi MIAI dan Masyumi tertampung berbagai elemen dan organisasi umat Islam Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, PSII, Al-Irsyad, dan lain-lain. Kedudukan beliau sebagai ketua Majelis Syuro menunjukkan betapa besar pengaruh beliau bagi umat Islam di Indonesia.
Insiden yang terjadi pada 19 September 1945 ini kemudian juga menyulut tindakan rakyat yang ingin merebut senjata tentara Jepang, 23 September 1945. Di markas Kampetai Jepang, terjadi insiden tembak menembak antara para pejuang dengan tentara Jepang yang ogah menyerah. Namun, peristiwa ini pada akhirnya dituntas melalui jalur diplomasi yang cukup alot antara dr. Moestopo dengan perwira Jepang. Pertempuran sporadis yang terjadi antara serdadu Jepang dengan para pejuang, maupun antara para pejuang dengan tentara Sekutu dan NICA di berbagai daerah dalam rangka mempertahankan kemerdekaan ini, membuat Presiden Soekarno melalui utusannya menanyakan hukum mempertahankan kemerdekaan kepada KH. M. Hasyim Asy’ari. Menanggapi pertanyaan ini, Kiai Hasyim menjawab dengan tegas, sudah terang bagi umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari ancaman asing.
Soekarno bertanya kepada Kiai Hasyim karena pengaruh dan legitimasinya di hadapan para ulama sangat besar dan strategis. Dengan cara ini, Bung Karno sekaligus ini menegaskan kembali makna mempertahankan RI yang baru berusia beberapa minggu ini dalam perspektif hukum agama. Selain itu, dengan adanya jawaban yang cukup jelas ini, Soekarno memiliki alasan yuridis untuk terus mempertahankan kemerdekaan ini di dunia internasional, sebab Belanda getol melobi Negara-negara lain agar tidak mendukung kemerdekaan Indonesia. Selain ini, Belanda juga memberikan statemen bahwa pemerintah Indonesia hanyalah bentukan dari Fasis Jepang yang tidak perlu didukung. Oleh karena itu, melalui jawaban tersebut, Soekarno semakin mantab dan kukuh mempertahankan kemerdekaan sebuah negara yang baru lahir.
Namun, di antara pengaruh terpenting KH. Hasyim Asyari adalah pada saat mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945. Fatwa ini antara lain berbunyi:
1. Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir.
2. hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid.
3. hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Berpijak pada fatwa inilah, kemudian para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya. Selain dihadiri oleh para utusan konsul NU se-Jawa dan Madura, pertemuan penting ini juga dihadiri oleh panglima Laskar Hizbullah, K.H. Zainul Arifin. Rapat ini dipimpin oleh K.H. A. Wahab Chasbullah.
Fatwa jihad Fi Sabilillah dan Resolusi jihad ini dibawa oleh konsul-konsul Nahdlatul Ulama yang hadir untuk disebarluaskan kepada umat Islam di daerahnya masing-masing. Sedangkan Salinan dari Keputusan resolusi jihad fi Sabilillah dikirimkan kepada Presiden Soekarno, pimpinan Angkatan perang Republik Indonesia, dan kepada Markas Tinggi Hizbullah dan Sabilillah. Pengaruh Resolusi Jihad ini semakin meluas.
Selain Hizbullah dan Sabilillah, anggota kelaskaran lain berbondong-bondong ke Surabaya. Melalui corong radionya, Bung Tomo menggelorakan semangat rakyat. Pidato Bung Tomo ini semakin “menggila” setelah terbitnya Resolusi Jihad dan kabar kedatangan tentara Sekutu, 25 Oktober 1945.
Dalam pandangan Bizawie, ada tujuan ganda yang ingin dicapai melalui Resolusi Jihad ini. Pertama, sebagai bahan untuk “mempengaruhi” pemerintah dan agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang terindikasi menggagalkan kemerdekaan. Kedua, jika himbauan yang ditujukan kepada pemerintah itu tidak terwujud maka resolusi bisa dijadikan pegangan moral bagi Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan badan perjuangan lain untuk menentukan sikap dalam melawan kekuatan asing.
Perjuangan KH. Hasyim As’ari tidak surut, sungguhpun kemerdekaan telah diraih, ia terus berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tidak lama proklamasi dibacakan oleh Presiden Soekarno, Belanda kembali dating ke Indonesia dengan tujuan menjajah kembali Indonesia. Kyai Hasyim pun berjuang dengan para santri untuk kembali mengusir Belanda. Sehingga pada tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Berdasarkan hasil dari keputusan yang dihasilkan dari Rapat Besar Konsul-konsul Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura, 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur, Maka dikeluarkanlah sebuah Resolusi Jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Kesimpulan
Hadlratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, yang merupakan pendiri Pesantren Tebuireng di Jombang dan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), adalah seorang guru yang luar biasa. Ribuan santri telah menerima didikan darinya, dan ratusan di antaranya telah menjadi ulama, kiai, pendiri pondok pesantren, atau tokoh-tokoh penting dalam umat Islam. Selain itu, banyak santri yang menjadi mustami’ (pendengar setia), mengaji sejenak, atau sekadar meminta doa dan obat darinya.
K.H. Hasyim Asy’ari adalah sosok yang memberikan kontribusi besar tidak hanya untuk Islam dan agamanya, tetapi juga untuk Indonesia dan bangsanya. Ia dikenal sebagai seorang kiai, pejuang, dan pembaru. Kontribusinya melibatkan berbagai bidang, termasuk pendidikan. Pondok Pesantren Tebuireng, yang didirikannya pada tahun 1899, dan NU, yang didirikannya pada tahun 1926, merupakan warisan besar yang mencerminkan kepemimpinan dan dedikasi beliau.
Kehadiran dan pengaruhnya tidak terbatas pada masa lalu di Jombang, tetapi telah merambah seluruh bangsa Indonesia hingga saat ini. Kehidupan dan karya-karya beliau menjadi bukti bahwa kebesaran serta karisma beliau tidak terkikis oleh waktu. Hasil karya dan pengaruh positifnya masih dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikan beliau sebagai tokoh yang berharga dan dihormati hingga saat ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.