Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jason Fernando

Gebrakan Afrika dalam Menghadapi Perubahan Iklim Selama Tahun 2023

Info Terkini | Wednesday, 27 Dec 2023, 09:13 WIB
https://www.freepik.com/premium-photo/planet-earth-melting-climate-change-global-warming-concept-generative-ai_36244679.htm" />

Perubahan iklim sebagai suatu fenomena yang dikhawatirkan akan menjadi bagian dari krisis lingkungan hidup terbesar di abad ke-21. Perubahan iklim menimbulkan ancaman besar bagi seluruh kawasan di planet bumi ini, khususnya negara-negara di Afrika (termasuk negara-negara rentan dan terkena dampak konflik). Mulai dari Republik Afrika Tengah, Ethiopia Somalia, hingga Sudan; menjadi bukti nyata terkini bahwa negara-negara rentan ini akan lebih menderita akibat banjir, kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan, badai, dan guncangan terkait iklim lainnya. Pada faktanya, Afrika dibalik itu hanya menyumbang 4% emisi global; namun kawasan ini terkena dampak terburuk dari kenaikan suhu global.

Menurut data dari IMF, perubahan iklim di negara-negara rentan diperkirakan akan menurunkan sekitar 0,2 poin persentase pertumbuhan PDB per kapita setiap tahunnya. Kekhawatiran terhadap dampak negatif perubahan iklim juga telah memperkuat bahwa degradasi lingkungan dan tekanan demografi akan membuat jutaan orang di negara-negara Afrika yang rentan terpaksa mengungsi dan menciptakan pergolakan sosial yang serius.

Sebagian besar ilmuwan yang mempelajari potensi dampak perubahan iklim memperkirakan bahwa Afrika kemungkinan akan mengalami suhu yang lebih tinggi, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola curah hujan, dan peningkatan variabilitas iklim. Bahkan diprediksi pada tahun 2040, negara-negara rentan di Afrika akan menghadapi suhu rata-rata di atas 35°C selama 61 hari dalam setahun (empat kali lebih tinggi dibandingkan negara lain).

Panas ekstrem yang mengakibatkan kekeringan juga mengganggu produktivitas serta lapangan kerja di sektor-sektor utama seperti pertanian dan konstruksi. Terjadi kekurangan pangan dan air yang parah yang disebabkan panas ekstrem ini akan mendorong lonjakan harga pangan yang sangat tinggi (terbatasnya pertanian biji-bijian) serta jutaan anak di Afrika mengalami malnutrisi dan dehidrasi.

Melihat perubahan iklim semakin mengancam di kawasan Afrika, para pemimpin benua ini menghadiri Africa Climate Summit 2023 hingga COP28, untuk menemukan solusi agar mendukung negara-negara rentan ini terhindar dari krisis lingkungan tersebut. Pertama, Africa Climate Summit pada 4-6 September 2023 di Kenya berfokus untuk mendorong pertumbuhan hijau dan solusi pendanaan iklim melalui “Deklarasi Nairobi,” sebuah seruan dari 18 negara di Afrika untuk mengambil tindakan segera terhadap perubahan iklim, yang mencakup permintaan pajak global baru atas polusi karbon serta penghapusan pajak global secara bertahap, serta mengakhiri subsidi bahan bakar fosil dan batu bara.

Para pemimpin di Afrika memperingatkan bahwa banyak negara rentan di kawasan tersebut menghadapi beban dan risiko yang tidak proporsional akibat perubahan iklim, dan menyerukan komunitas global untuk segera bertindak dalam mengurangi polusi yang menyebabkan pemanasan global dan mendukung Afrika itu sendiri dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Negara-negara Afrika berkomitmen untuk mendukung pemberian US$23 miliar untuk proyek-proyek ramah lingkungan oleh pemerintah, investor, bank pembangunan, dan filantropis.

Selain itu, Africa Climate Summit menghasilkan tuntutan Afrika agar pemangku kepentingan luar kawasan memfasilitasi pendanaan aksi iklim, termasuk peningkatan akses terhadap pinjaman lunak untuk memobilisasi US$100 miliar setiap tahunnya untuk adaptasi dan mitigasi iklim, serta pembentukan inisiatif pasar karbon untuk mendanai infrastruktur energi terbarukan.

Beberapa negara donor dan organisasi multilateral telah menjanjikan sekitar US$26 miliar selama Africa Climate Summit 2023; untuk investasi iklim, mendukung upaya ketahanan pangan di seluruh Afrika, serta menghasilkan inisiatif untuk meningkatkan produksi kredit karbon Afrika sebesar 19 kali lipat pada tahun 2030. Kredit karbon digunakan oleh perusahaan di Afrika untuk mengimbangi emisi karbon, dan biasanya dihasilkan dari pembiayaan proyek yang bertujuan mengurangi polusi karbon di atmosfer, seperti penanaman pohon atau mengurangi polusi yang menyebabkan pemanasan global dengan mendorong peralihan ke energi terbarukan, terutama di negara-negara rentan.

Hasil pembahasan dari Africa Climate Summit tersebut menjadi masukan bagi perundingan COP28 pada 30 November – 12 Desember 2023:

Pertama, mengurangi bahan bakar fosil secara bertahap dan beralih ke energi terbarukan dengan cara yang adil dan inklusif. Tenaga surya dimanfaatkan oleh Afrika dalam mencapai akses universal untuk menyalurkan listrik ke 250 juta orang di kawasan tersebut. Afrika perlu berupaya meningkatkan porsi investasi global pada sumber energi terbarukan dari 1% per tahun menjadi 10% dalam kurun waktu tahun 2028-2035.

Kedua, memperkuat keselarasan antara keanekaragaman hayati dan iklim melalui inisiatif seperti Restorasi Lanskap Hutan Afrika, Great Green Wall, Great Blue Wall, serta pemutakhiran African Adaptation Acceleration Program untuk membatasi kenaikan suhu kawasan hingga 1,5°C.

Ketiga, mengadvokasi pendanaan baru dan lebih besar untuk iklim oleh Afrika, dengan membutuhkan setidaknya $2,8 triliun antara tahun 2024 dan 2030.

Keempat, menyelaraskan adaptasi iklim dengan transformasi sistem pangan dengan pemutakhiran NDC dan RAN oleh negara-negara Afrika, yang mencakup pengamanan sumber pangan yang paling rentan.

Kelima, mendorong metode cap and share; untuk membentuk sistem pajak karbon yang progresif agar memberikan keuntungan bagi Afrika untuk mencapai keadilan iklim, mendorong penggunaan lahan berkelanjutan, dan pemberantasan kemiskinan ekstrem secara permanen.

Africa Climate Summit 2023 membangun momentum menuju hasil positif dan berdampak pada COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. COP28 ini menjadi kesempatan Afrika dalam memetakan arah ke depan melalui peningkatan ambisi dan tindakan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C. Sebagai bentuk komitmen dari Deklarasi Nairobi, Afrika juga mengedepankan transisi energi yang adil dan pendanaan perubahan iklim, termasuk pendanaan untuk adaptasi pada COP28.

Selama COP28, negara-negara Afrika telah menuntut agar negara-negara maju memberikan dukungan dana untuk membangun infrastruktur dan menerapkan langkah-langkah yang akan membantu mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim, termasuk perihal pembangunan infrastruktur seperti tembok laut untuk beberapa negara di kawasan tersebut yang menghadapi masalah kenaikan permukaan laut yang signifikan.

Afrika mengecam langkah-langkah yang tidak memadai yang dilakukan oleh negara-negara kaya dan bank-bank multilateral dalam menyediakan pembiayaan terjangkau yang meningkatkan ketahanan negara-negara Selatan terhadap keadaan darurat iklim dan kemanusiaan. Hal ini diketahui bahwa selama ini Afrika membayar biaya pinjaman lima hingga delapan kali lebih tinggi dibandingkan negara-negara kaya serta mengalami krisis utang akibat tingginya suku bunga dan praktik pemberian pinjaman yang tidak adil akibat ancaman perubahan iklim.

Afrika kini mengalami pemanasan lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di dunia, dan permukaan air laut di sini meningkat lebih cepat dibandingkan rata-rata global. Itu sebabnya para pemimpin Afrika menyatakan siap untuk mendorong pendanaan dan pengaruh yang mereka perlukan pada COP28. Afrika secara aktif terus mendesak negara-negara kaya untuk berkomitmen terhadap janji pendanaan di masa lalu, serta mereformasi rezim pajak dan merestrukturisasi utang mereka untuk mengantisipasi perubahan iklim.

Afrika memiliki 60% aset energi terbarukan global, termasuk tenaga surya dari iradiasi matahari, angin, panas bumi, dan tenaga air; sehingga mereka memperjuangkan agar terpasangnya banyak kapasitas dan teknologi yang berkelanjutan di kawasan tersebut (terdapat potensi pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 20.000 MW, pembangkit listrik tenaga air sebesar 30.000 MW, dan pembangkit listrik tenaga angin sebesar 110.000 MW).

Africa Climate Summit 2023 dan COP28 memberikan “bingkai baru” mengenai Afrika, bukan sebagai korban, namun sebagai solusi utama terhadap krisis iklim. Afrika berpotensi menjadi pusat industri ramah lingkungan yang hemat biaya, untuk menghijaukan konsumsi Afrika dan menghilangkan karbon dari udara. Dua forum tersebut juga menyoroti pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan transisi energi yang adil dan merata untuk membawa Afrika keluar dari ancaman perubahan iklim.

Dengan demikian, kedua forum ini juga menyoroti bahwa betapa pentingnya kolaborasi negara-negara Afrika dalam mencapai manfaat aksi iklim secara adil agar tidak ada dari mereka yang tertinggal, serta ini memposisikan Afrika sebagai pemimpin dalam transisi global menuju pembangunan ramah lingkungan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image