Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yasmin Nur Izzatul Fatimah

Pendidikan Menurut Fazlur Rahman dan Aktualisasinya di Zaman Modern

Sejarah | Wednesday, 27 Dec 2023, 08:20 WIB

Pendidikan Islam hari ini jauh dari kata sempurna. Pendidikan adalah bekal manusia untuk mencapai kesuksesan dan kemajuan dunia juga akhirat yang seharusnya merespon perkembangan zaman serta dinamis. Namun realita sekarang tidak begitu, dalam dunia Islam telah muncul berbagai isu krisis pendidikan dan problem

Kemajuan Barat dalam cara berfikir juga telah menimbulkan perubahan, pengetahuan yang dirancang dan disebarluaskan oleh peradaban Barat mengandung banyak persoalan, yang mana mereka menginginkan kenyataan, kepastian, tetapi yang ia hasilkan ialah keraguan. Pengetahuan Barat dianggap telah bersikap dualisme antara kultural dan religius. Akibatnya, kerusakan pada kualitas manusia juga lingkungan hidupnya.[1] Pengetahuan itu menyebabkan kekacauan pada tiga alam: alam binatang, alam tumbuhan dan alam mineral.[2]

Di zaman modern, belakangan cukup terkenal baik di Barat maupun di Timur adalah tokoh asal Pakistan, yakni Fazlur Rahman (1919-1988). Menurut Rahman, pembaharuan Islam yang bagaimanapun yang mau dilakukan sekarang ini untuk memecahkan dan mencari jalan keluar dari segala permasalahan mestilah dimulai dari pendidikan. Ia menandaskan, model pembaharuan apapun dalam Islam tidak akan pernah mencapai apa yang diharapkan bila tanpa keterlibatan pendidikan didalamnya. Disinilah letak signifikasi pendidikan tersebut bagi pembaharuan Islam.[3]

Fazlur Rahman (Sumber gambar: TribunnewsWiki.com)

Fazlur Rahman juga menjelaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam dalam pengertian praktis, yakni pendidikan yang dilaksanakan di dunia Islam sekarang. Kedua, pendidikan Islam yang disebut dengan intelektualisme Islam penghasil (ilmuwan) integratif yang padanya berkumpul sifat-sifat, seperti kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dsb yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam demi kebaikan umat manusia, dan demi menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.

Fazlur Rahman menegaskan bahwa watak pertama ilmu pengetahuan ialah pentingnya individu guru. Sebab, kehadirannya merupakan "penarik" bagi para murid untuk mengkaji dan mendalami ilmu pengetahuan. Terkait hal itu, Fazlur Rahman mengatakan, dulu guru seusai mengajar akan memberikan gelar secara pribadi kepada siswanya. Terkadang gelar tersebut diberikan hanya untuk satu mata pelajaran, misalnya fiqh atau hadis. Fazlur Rahman banyak menceritakan perihal kehidupan para ulama masa lampau yang senantiasa menulis. Selain itu, guru harus mampu menyusun kurikulum yang tepat bagi para murid.

Pemikiran-pemikiran emas para tokoh pendidikan Islam dari klasik hingga modern mengambil pemikiran yang berkembang di Barat tanpa mengikuti penjelasan filosofis yang berada di belakangnya. Inilah yang menurut Fazlur Rahman, menyuburkan sekularisme itu. Turki merupakan contoh terbaik tentang proses modernisasi yang mengarah kepada sekularisme.[4]

Interaksi negara Islam dan Eropa dalam konteks kolonialisme dan imperialisme menjadi latar belakang yang menjelaskan berbagai perkembangan penting kehidupan keagamaan di negara-negara Islam. Fazlur Rahman meyakini bahwa tingkat dan perkembangan modernisasi di kalangan kelompok muslim di suatu wilayah tergantung kepada beberapa faktor yang seluruhnya terkait dengan kolonialisme dan imperialisme yang pertama dari pemerintahan yang bersifat de jure maupun de facto, kedua karakter dari organisasi-organisasi ulama, kepemimpinan keagamaan, dan interaksinya dengan negara sebelum masuknya kolonialisme. Ketiga, keadaan dan perkembangan sistem pendidikan Islam bersama budaya yang melatarbelakanginya sebelum masuknya kolonialisme Eropa. Keempat, karakter dari pemerintahan kolonial sendiri, apakah Belanda, Inggris, atau Perancis.[5]

Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam warisan masa lalu. Telah disebutkan bahwa madrasah sepenuhnya diabdikan kepada ilmu-ilmu keislaman. Ilmu-ilmu umum, meskipun mengalami perkembangan pesat di dunia Islam, tidak mengalami perkembangan signifikan di madrasah. Hal ini terus berlanjut sampai dengan munculnya gerakan modernisasi dalam Islam sejak abad ke-19 dan seterusnya. Madrasah-madrasah pada awal Islam terkait erat dengan penguasa. Madrasah diberikan penguasa melalui mekanisme wakaf dan filantropi Islam lainnya.[6]

Terdapat dua pendekatan yang diterapkan kalangan intelektual muslim dalam menyikapi ilmu-ilmu umum modern. Pertama, hanya terbatas kepada level teknologi dan menolak aspek pemikiran yang menjadi basis filosofis pengembangan teknologi tersebut. Mereka khawatir produk intelektual Barat akan menimbulkan pengaruh negatif terhadap keyakinan teologis kaum muslim. Kedua, mengadopsi seluruh produk intelektual Barat teknologi dan pemikiran tanpa kekhawatiran apa pun. Kelompok ini mengambil temadan kepada muslim pada masa lalu yang telah mengadopsi filsafat Yunani dan mengembangkannya dalam konteks Islam.

Terdapat dua tipologi modernisasi pendidikan di negara-negara muslim. Pertama, melakukan transformasi lembaga pendidikan tradisional seperti madrasah sehingga menjadi modern, terutama dengan memasukkan ilmu-ilmu umum modern dan transformasi kelembagaan. Kedua, mendirikan lembaga pendidikan baru sebagai jalan untuk mengakselerasi modernisasi. Mesir-untuk menyebut contoh pada era Muhammad Ali dan 'Ismā'il mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang diarahkan memperkuat sistem militer dan memasukkan teknologi. Pola serupa ditemukan di Turki, negara-negara muslim Afrika Utara, dan pada tingkat tertentu di Indonesia.[7]

Berkaitan dengan modernisasi pendidikan Islam penting disebutkan peranan printing (percetakan) dalam ikut mendorong percepatan modernisasi. Tradisi percetakan juga mendorong penerbitan jurnal-jurnal yang menyuarakan ide-ide modernisasi masyarakat muslim.[8] Sebelumnya, tradisi pembelajaran berlangsung dengan menyalin kitab-kitab dengan tulisan tangan. Setelah adanya percetakan, maka buku-buku teks merupakan hasil cetakan.[9] Di Mesir, sebagaimana diceritakan Gregory Starrett, pembelajaran di kuttāb semata-mata diberikan secara oral, sedangkan tradisi tulisan baru digunakan di level yang lebih tinggi, baik dengan cara murid menyalin atau guru membacakannya secara detail. [10]

Kelahiran jurnal-jurnal yang menyuarakan modernisasi Islam. Penting dicatat bahwa kehadiran percetakan pada abad ke-19 tersebut telah menghadapkan ulama kepada sebuah dilema. Percetakan bukan hanya akan menghapus monopoli ulama terhadap teks, tetapi juga akan menyebabkan penyebaran teks lepas dari tangan ulama.[11]

Model-model Modernisasi Madrasah contohnya pengalaman Mesir tentang inisiatif modernisasi Muhammad Ali merupakan faktor terpenting yang melatarbelakangi munculnya sekolah-sekolah militer dan teknik. [12] Pendidikan umat Islam, menurut Fazlur Rahman, mulai abad pertengahan dilaksanakan secara mekanis (pendidikan yang secara rutin, mengulang-ulang tanpa memperhatikan unsur pemahaman apalagi kreativitas). Oleh karena itu, pendidikan umat Islam lebih cenderung pada aspek kognitif (pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan tanpa ada pengamalan) daripada aspek afektif dan psikomotor. Peniruan term-term dan frasa-frasa bagaikan burung beo, masih mengajari anak-anak dengan menghafal, bukan mengolah pikiran secara kreatif. Konsep ini secara diametris bertentangan dengan pandangan pengetahuan sebagai sesuatu pertumbuhan yang terus-menerus sebagaimana dianjurkan oleh Al-Qur'an. Tragedi itu terus berlanjut sampai pada pendidikan umat Islam modern.[13]

Pendidikan Islam hari ini belum sempurna, kemajuan Barat dalam cara berfikir juga telah menimbulkan perubahan. Fazlur Rahman menjelaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya mencakup pendidikan Islam praktis (pendidikan yang dilaksanakan di dunia Islam sekarang) dan pendidikan Islam yang disebut dengan intelektualisme yang sekarang dibutuhkan dengan beberapa syarat yang belum terpenuhi dan menjadi tugas umat Islam untuk memenuhinya.

[1] (Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam; Gagasan Besar Para Ilmuaan Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)

[2] Abdullah Fadjar, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hlm. 29

[3] Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Pendidikan Islam dan Aktualisasinya dengan Dunia Modern (2021), Nusamedia

[4] PEMIKIRAN PEMIKIRAN EMAS PARA TOKOH. Yanuar Arifin 2018, IRCISOD

[5] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chi cago: The University of Chicago Press, 1982)

[6] Nehemia Levtzion dan John O. Voll (ed.), Eigtheenth-Century Renewal and Reform in Islam, (New York: Syracuse University Press, 1987)

[7] Jakob Skovgaard-Petersen, Defining Islam for Egyptian State, Muftis and Fatwas of the Dar al Ifta, (Leiden: Brill, 1997)

[8] Jutta Bluhm, “A Preliminary Statement on the Dialogue established between the Reform Magazine Al-Manar and the Malay-Indonesian World”, Indonesian Circle, no. 32, 1983, h. 35-42

[9] William R. Roff, Bibliography of Malay and Arabic Periodicals Published in Straits Settle- ments and Peninsular Malay States 1876-1941, (London: Oxford University Press, 1972).

[10] Gregory Starrett, Putting Islam to Works: Education, Poltics, and Religious Transformation in Egypt (California: University of California Press, 1998), h. 27. “Gregory Starrett, Putting Islam to Works

[11] Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), Bagian 4. “Asal Usul Modernisme Islam: Tiga Jurnal”, h. 183-203. Natalie Mobini-Kesheh, “The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies 1914- 1942”, BKI, 152, 11, 1996.

[12] M. Winter, “Educational Development under Muhammad Ali”, El CD-ROM Edition, v.1.1., 2001,

[13] Lembaga pendidikan Islam Indonesia abad ke-20 Lembaga Pendidikan Islam Indonesia pergumulan antara modernisasi dan identitas. Arief Subhan 2012, Kencana

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image