Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Konsep Akad Bertransaksi dalam Islam

Agama | Sunday, 17 Dec 2023, 07:15 WIB

A. Pengertian Akad

Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mengajarkan bagaimana cara hubungan berinteraksi dengan tuhan (habluminna Allah), akan tetapi juga mengajarkan bagaimana hubunga berinteraksi dengan sesama manusia (habluminannas). Dalam hubungan berinteraksi dengan manusia, islam telah mengatur sedemikian rupa dengan maksud tercapainya sebuah maslahah. Termasuk didalamnya terkait dengan persoalan bertransaksi.

Ilustrasi kegiatan bertansaksi dengan akad (Sumber: pixeles)

Dalam bertransaksi, syariat islam telah mengajarkan bahwasanya ketika seseorang melakukan sebuah transaksi, haruslah melalui sebuah proses serah-terima yang disebut dengan akad. Akad sendiri berasal dari bahasa arab yakni, عَقَدَ يعْقد عَقْدًا yang memiliki makna sebuah ikatan. Sebuah ikatan yang megikatan antara kedua belah pihak, baik itu bersifat yang dapat diindrawi, maupun tidak. Sedangkan secara istilah akad merupakan keterikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang yang dibenarkan oleh syara’ sehingga dari keterikatan tersebut menetapkan adanya pengaruh terhadap objek yang diakadkan. Pengaruh yang dimaksud adalah terjadinya perpindahan status kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya. Ketika sudah terjadinya sebuah akad, maka telah berpinda hak dan kewajiban sang objek dari pihak pertama ke pihak menerima. Dengan demikian, pihak pertama bukan lagi seorang pemilik dari objek tersebut sehingga ia tidak dapat mengambil manfaat dati objek tersebut tanpa adanya izin dari pihak yang menerima.

Akad memiliki sebuah kedudukan yang amat penting dalam mu’amalah. Sebab akan menjadi penentu dari sah atau tidaknya perpindahan kepemilikan sebuah barang. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam kitabnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu

Dalam proses pembentukan sebuah akad harus memalui tiga tahapan, pertama, seseorang mengutarakan kepada pihak kedua untuk melakukan sebuah janji. Janji yang telah diutarakan tersebut bersifat mengikat kepada yang bersangkutan dan wajib untuk ditunaikan apabila telah mencapai kesepakatan. kedua, pihak kedua memberikan respon terhadap janji yang telah diutarakan sehingga respon dari pihak kedua menjadi penentu terhadap keberlanjutan dari proses pembentukan akad tersebut. ketiga, apabila janji tersebut telah mencapai kesepakatan dan telah direalisasikan oleh kedua belah pihak, maka telah terbentuklah sebuah akad.

B. Syarat dan Rukun Akad

Dalam persoalan akad ini, terdapat beberapa rukun dan syarat sah yang menjadi acuan dari sah atau tidaknya sebuah akad. Para ulama telah merumuska syarat sah dan rukun tersebut sebagai landasan dalam berakad. Lantas yang menjadi perbedaan antara rukun dan syarat sah adalah faktor internal dan eksternal dari sebuah akad. Rukun merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam akad dan merupakan bagian dari esensi dalam setiap akad. Sedangkan, syarat sah merupakan sifat yang harus ada pada setiap rukun akad, tetapi bukan merupakan esensi dari akad.

Untuk rukun akad sendiri, para ulama madzhab memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Mayoritas jumhur ulama berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun yang wajib dipenuhi yaitu al- aqidan (subjek atau pelaku akad), mahlul aqd (objek akad), dan sighat (ucapan akad). Dari rukun-rukun yang telah disebutkan tersebut memerlukan syarat sah agar terbentuknya sebuah akad yang sempurna. Syarat sah akad dapat dilihat dari empat sumber dalam akad

a) Subjek

Subjek disini dimaksudkan kepada pihak yang melakukan akad. Orang melakukan akad harus memenihi dua kriteria. Pertama, berakal. Seseorang yang melakukan akad harus mengetahui apa yang menjadi esensi dari sebuah akad. Oleh karna itu, seseorang yang akan melakukan akad harus memiliki kemampuan dan kesadaran sepenuhnya dalam menentukan pilihan yang baik bagi kehidupannya. Dia tidak hilang akalnya ataupun gila. Ketika seseorang yang tidak berakal melakukan sebuah akad, maka akad tersebut dinyatakan tidak sah dan batal. Kedua, baligh. Pada umumnya seorang anak telah mencapai akil baligh kisaran umur 9-12 untuk perempuan dan 12-15 untuk anak laki-laki. Ketika seseorang sudah baligh, maka dia dinilai sudah memiliki kematangan dalam berfikir, sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam sebuah kasus, ketika seorang anak kecil ingin melakukan sebuah akad yang dimana anak kecil tersebut belum memenuhi syarat sah sebuah akad, maka hal itu harus dalam sepengetahuan walinya agar transaksi tersebut dapat dianggap sah.

b) Objek

Objek dalam akad adalah barang yang akan diserahterimakan. Barang tersebut harus memenuhi sebuah syarat agar dianggap sah dalam bertransaksi. Barang yang diakadkan tidaklah bertentangan dengan hukum syara’. Barang tersebut merupakan barang yang halal dan thoyyib. Barang yang diakadkan haruslah ada ketika akad tersebut berlangsung dan dapat diserah terimakan. Seekor burung dilangit atau seekor ikan dilaut tidak dapat dijadikan sebagai objek akad, karena barang tersebut tidak ada dan tidak dapat diserahterimakan. berbeda kasus ketika seorang pembeli memesan sebuah baju dengan ukuran dan model yang spesifik, akan tetapi pedagang tidak memiliki barang yang diinginkan pembeli sehingga pedangan berjanji akan memproduksi barang tersebut dengan sedemikian rupa dalam kurung waktu yang jelas, maka ketika waktu tersebut datang, pedagang wajib memberikan baju tersebut kepada pembeli. Sehinga akadpun dinyatakan sah.

c) Sighoh

Sighoh disini berarti lafadz yang dinyatakan dalam berakal atau ijab qobul. Dalam berijab qobul harus jelas dan sesuai, jangan sampai penjual mengakadkan barang A tetapi pembeli menerima barang B. Dalam ijab qobulpun harus terdapat ketersambungan antar ijab dan qobul yang harus dilakukan pada waktu yang sama. Bahkan terdapat ulama yang berpendapat bahwa harus dilakukan pada satu majelis yang sama.

d) Tujuan akad

Tujuan akad harus benar dan memiliki kesesuaian dengan syara’. Pada hakikatnya tujuan akad memiliki satu arti dengan maksud asli akad dan hukum akad, akan tetapi jika lebih diperinci, maksud asli akad berada pada sebelum terjadinya sebuah akad, dan hukum akad berapa pada setelah terjadinya akad, sedangkan maksud akad berada pada keduanya.

Ketika sebuah akad memenuhi segala bentuk rukun dan syarat sahnya, maka barulah akad tersebut dapat dinyatakan sah. Ketika sebuah akad tidak memenuhi syarat sahnya, maka akad tersebut dinyatakan fasid atau rusak sehingga akad tersebut harus diperbaiki selagi masih bisa dipenuhi syaratnya. Ketika sebuah akad tidak terpenuhi rukunnya, maka akad tersebut dinyatakan batal.

C. Pembagian Jenis Akad

Pada umumnya akad dapat dibagi menjadi dua, yakni akad Tabarru dan akad Tijaroh. Dari kedua akad tersebut nantinya akan dapat lebih spesifikan menjadi beberapa jenis akad.

1. Akad tabarru

Akad tabarru adalah segala bentuk akad atau perjanjian yang menyangkut non-profit. Akad ini pada hakikatnya dilakukan bukan untuk meraih profit, malainkan dilakukan dengan tujuan untuk tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Kata tabarru berasal dari bahasa arab yakni البر yang berarti kebaikan. Akad tabbaru mengakibatkan perpindahan kepemilikan suatu barang tanpa adanya konpensasi dengan ikhlas yang bertujuan untuk saling membantu antar sesama manusia. Pada transaksi tabarru, hakikatnya dia sedang tidak bertransaksi kepada manusia, akan tetapi dia sedang melakukan transaksi langsung kepada Allah SWT. Allah SWT-lah yang langsung membayarnya. Dari akad tebarru tersebut dapat beberapa transaksi yang dapat dikatagorikan sebagai akad tabarru, antara lain al-Qardh (pinjam-meminjam), Rahn (gadai), Hawalah (pemindahan utang piutang), Wakalah (mewakilkan), Kafalah (penjaminan), Wadi’ah (titipan), Shodaqoh, Waqof, dan Hibah.

2. Akad Tijaroh

Berbeda dengan akad tabbaru, akad tijaroh adalah segala bentuk akad atau perjanjian yang semata-mata untuk mencari sebuah profit. Kata tijaroh berasal dari bahasa arab yakniتجارة yang berarti perdagangan. Akad tijaroh mengakibatkan perpindahan kepemilikan suatu barang dengan adanya sebuah konpensasi. Akad tijaroh sendiri dapat dikatagorikan menjadi dua macam, dari dua macam inilah akad-akad yang lainnya dapat digolongkan.

1) Natural Certaunty contracts (NCC)

Maksud dari natural certaunty contrats (NCC) adalah suatu transaksi yang memberikan kepastian kepada kedua belah pihak baik dalam segi jumlah, kualitas, harga, maupun waktu. Natural certaunty contracts (NCC) menawahkan retrun yang tetap dan pasti. Akad-akad yang tergolong dalam Natural Certaunty contracts (NCC) antara lain adalah Murabahah (jual-beli), salam (jual-beli barang pesanan tanpa proses produksi), Istishna (jual-beli barang pesanan dengan proses produksi), dan Ijaroh (sewa-menyewa).

2) Natural Uncertaunty contracts (NUC)

Natural Uncertaunty contracts (NUC) adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dan tidak memberikan kepastian dalam return. Akad-akad yang tergolongkan sebagai Natural Uncertaunty contracts (NUC) bersifat infestasi yang dimana pihak-pihak yang terjalin dalam akad menggabungkan aset mereka menjadi satu kesatuan sebagai modal awal sehingga seluruh keuntungan dan kerugian yang didapat dari akad tersebut ditanggung oleh seluruh pihak yang terjalin dalam akad tersebut. Terdapat tiga akad yang tergolong dalam Natural Uncertaunty contracts (NUC), yaitu Musyarokah, Muzaro’ah, dan Musaqoh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image