Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizal Eko Sayudi

Behind the Political Chessboard: Jokowi vs Megawati, Who is Checkmate?

Politik | 2023-12-15 17:13:21
Ilustrasi Jokowi vs Megawati

“The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman thinks about the next generation.”

(James Freeman Clarke)

Dalam orkestrasi drama politik yang semakin mendalam, sinfonia Pemilu 2024 memasuki babak baru dengan kejutan yang tidak dibayangkan. Layaknya penggalan suara yang dikumandangkan oleh James Freeman Clarke, muda ke mudi, dewasa ke lansia abad ke-21 dipertontonkan dengan tarian politik yang melibatkan figur-figur sentral. Mereka yang awalnya bersama, kini menemukan diri mereka berseberangan di panggung catur politik. Diperlukan meditasi secara khusuk untuk menentukan siapa yang lebih layak memenangkan pertandingan catur dan menjadi king maker atas sabda Tuhan.

Seperti bait puisi yang terlupakan, masyarakat tanah air dihadapkan pada perubahan tak terduga dalam alur drama politik. Pertanyaan besar mencuit dari sudut panggung: bagaimana dua tokoh yang sudah lama bersama kini harus memasuki pertarungan politik dengan jalan yang berbeda. Pemilu 2024 menjadi panggung keheranan, di mana setiap langkah mereka seperti kisah tragis yang mempertontonkan perubahan yang tiba-tiba.

Membaca kembali jurnal lampau kemesraan Jokowi dan Megawati.

Mengenang jurnal kemesraan antara Jokowi dan Megawati membawa kita untuk mulai menyimak dari background seorang Joko Widodo. Lahir pada 21 Juni 1961, Jokowi tumbuh dari keluarga sederhana di Surakarta, Jawa Tengah, dan meniti perjalanannya di Universitas Gadjah Mada hingga meraih gelar insinyur pada tahun 1985. Tidak lama dari kelulusannya, pada usia 25 tahun, ia menapaki jalan pernikahan dengan Iriana. Pertama kali merintis karirnya sebagai karyawan BUMN di Aceh, Jokowi merasakan getirnya dunia korporat selama dua tahun. Pada akhirnya, tekadnya membawanya kembali ke Solo, di mana ia membangun fondasi awal dari CV Rekabu, sebuah usaha mebel yang mengalami liku-liku dan tantangan dalam tiga tahun pertama. Meskipun jatuh bangun, akhirnya bisnis yang ia kembangkan meemui titik terangnya dan menjadi salah satu perusahaan pengekspor dalam industri mebel mencakup Eropa, Amerika, dan Timur Tengah.

Berbekal pengalamannya dalam dunia bisnis, Jokowi memberanikan diri untuk terjun dalam dunia politik. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi mengawali karirnya dengan mencalonkan diri sebagai walikota solo berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo pada tahun 2005 dan menang dengan mengantongi suara sebanyak 36,62%. Partai PDI-P menjadi kendaraan Jokowi dalam pilkada tersebut. Pada waktu itulah kemesraan Megawati dan Jokowi mulai dirangkai. Seperti yang sudah kita tahu, Megawati dengan nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau biasa dipanggil Mega merupakan putri dari Presiden ke-1 RI Ir.Soekarno yang juga sebagai pahlawan nasional. Mega menjadi pengurus partai PDI-P di usianya yang memasuki 39 tahun, setahun kemudian beliau menjadi anggota DPR RI 1987-1992. Karier politik Megawati semakin menguat dimana pada 22 desember 1993 beliau terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Dalam perjalanannya, tahun 1999 PDIP memenangkan pemilu di awal Era Reformasi. Meskipun demikian, Megawati kalah suara dalam pemilihan presiden dengan Abdurrahman Wahid melalui MPR. Presiden yang sering dikenal sebagai Gusdur pada masa itu hanya bertahan sampai 2001 dan Megawati sebagai wakil presiden menggantikannya pada periode 2001-2004. Selanjutnya pada Pilpres 2004 dan 2009 Mega kembali mencalonkan diri, namun nahas beliau belum berhasil dan mengalami kekalahan selama 2 periode berturut-turut.

Melanjutkan kemesraan antara Jokowi dan Megawati, pada 26 April 2010 kebersamaan mereka semakin terpintal anggun, Jokowi dan pasangannya kembali memenangkan Pilkada Solo sebagai calon petahana dengan perolehan suara mencapai 90,09%. Hasil ini hampir saja mencetak rekor MURI untuk perolehan suara terbanyak, menjadikannya sebagai salah satu pasangan walikota terpopuler.Pada babak berikutnya, keterlibatan Megawati semakin memperkuat karir politik Jokowi. Dengan keyakinan dari Megawati, Jokowi melangkah lebih jauh dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Meskipun di awal tidak diunggulkan, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama berhasil mengalahkan pasangan petahana Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.

Sekitar tahun 2014, Megawati mempercayakan Jokowi untuk melangkah lebih tinggi sebagai calon presiden dari PDI-P. Dalam Pemilihan Umum Presiden 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla berhasil memenangkan kontestasi dengan perolehan suara mencapai 53,15%. Pada pemilihan umum berikutnya, Jokowi mencalonkan diri sebagai petahana dengan pasangan yang berbeda, yakni KH. Ma’ruf Amin. Dalam pertarungan melawan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin berhasil memenangkan pemilu ini dengan perolehan suara sebesar 55,50%. Kisah perjalanan politik Jokowi dan Megawati bukan hanya sebatas aliansi politik, melainkan juga membangun narasi simboisis mutualisme. Dari solo hingga kursi presiden, Jokowi dan Megawati menghadirkan politik yang membingkai babat panjang nan apik.

Harmoni yang retak: Melodi Politik Jokowi Vs Megawati

"Tidak Ada Musuh dan Teman Abadi di Dunia Politik"

Dalam kisah cinta politik yang awalnya indah, namun berakhir dengan harmoni yang retak, kita dihadapkan pada realitas: "Tidak ada musuh dan teman abadi di dunia politik." Pepatah ini menjadi mantra dalam perjalanan politik Jokowi dan Megawati, yang awalnya saling bersatu dalam simfoni kebersamaan, namun sekarang menemukan diri mereka terpisah di lorong-lorong kekuasaan.

Dalam orkestrasi Pemilu 2024, melodi politik antara Jokowi dan Megawati mengalami perubahan yang tak terduga. Pertanyaan filosofis menggelayut: Apa yang mendorong dua tokoh yang dulunya sepaham untuk memilih jalur yang berbeda? Apa arti dari pertarungan politik ini, dan adakah makna mendalam di balik perpecahan harmoni politik mereka?

Lengahnya, cukup kompleks untuk menjelaskan realitas ini. Tidak bisa ditentukan secara pasti faktor utama kenapa bahwa mereka mempunyai jalan masing-masing di Pemilu 2024. Hal pasti yang mungkin bisa digambarkan dalam situasi ini adalah sederetan peristiwa dan sikap yang tegas dari masing-masing tokoh sentral di atas.

 

  • Memulai penjelasan dengan konteks: Tahun Politik dan Pemilu 2024

Menuju Pemilu 2024 pada tanggal 14 Februari, Indonesia memasuki tahap krusial dalam perjalanan demokrasinya. Pada hari tersebut, masyarakat akan memberikan suara mereka untuk menentukan pilihan politik, dimulai dari tingkat dewan yang mewakili ragam aspirasi hingga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang akan membimbing arah negara selama lima tahun mendatang. Partisipasi politik terwujud dalam kehadiran 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh, menciptakan kerangka pluralitas dalam sistem politik. Dinamika politik sepanjang tahun 2023 telah menghadirkan tiga kandidat yang muncul sebagai pemimpin potensial untuk kepemimpinan tertinggi, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Partai Nasdem, Partai Gerindra, dan Partai PDI Perjuangan menjadi basis utama dari masing-masing calon presiden di atas dimana salah satunya diprekarsai oleh Megawati.

 

  • Berangkat dari jarum kompas Jokowi yang terus berputar.

Jokowi sebgai Presiden Indonesia dari tahun 2014 sampai hari ini tentunya masih memiliki basis suara yang besar dan pendukung yang loyal. Keberpihakan Jokowi akan sangat berpengaruh signifikan terhadap masing-masing calon presiden. Sebagai kader PDI-Perjuangan dibawah naungan Megawati, sudah seharusnya Jokowi memberikan dukungan dan restunya pada calon presiden yang diusung oleh PDI atau dalam hal ini Ganjar Pranowo. Tapi apakah demikian terjadi? jawabannya tdak, Jokowi pada masa awal-awal deklarasi capres masih memberikan sinyal dukungan yang sangat abu-abu. Dibeberapa kesempatan memang Presiden RI ini memberikan narasi yang menunjukan dukungan terhadap Ganjar Pranowo, namun jauh sebelum tahun politik ini Jokowi sempat menyinggung bahwa periode pemilu ini “Jatahe Pak Prabowo” ucap beliau seusai sambutan di perayaan partai Perindo. Banyak momen-momen lain dimana Jokowi sesekali seolah memberi dukungan ke Ganjar Pranowo dan sesekali seolah memberi dukungan ke Prabowo Subianto. Dari sinilah masih sulit ditarik kesimpulan kemana sebenarnya jarum kompas Jokowi menunjuk ke arah yang pasti dan menjadi awal hubungan Jokowi dan Megawati dipertanyakan meskipun batas garis belum terlihat tebal.

 

  • Dilanjutkan penyebrangan kapal melawan arus.

Polemik muncul saat seorang aktivis 98 Budiman Sudjatmiko dan Juga Bobby Nasution (menantu Jokowi) yang juga merupakan kader dari PDI-P sekaligus Juru Kampanye dari Ganjar Pranowo malah mendeklarasikan secara penuh untuk mendukung Prabowo subianto menjadi Presiden di 2024. Hal ini menjadi suatu rasa keheranan dari kader PDI-P tak terkecuali Megawati, alhasil buntut dari deklarasi ini, keduanya mendapat surat pemecatan langsung sebagai kader PDI-P. Projo (Pro-Joko Widodo) merupakan nama untuk kumpulan para relawan Jokowi juga melakukan hal yang sama dimana pada Rakernas Projo yang digelar 14 Oktober 2023 secara resmi dan menyeluruh memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Sejumlah pengamat politik memaknai deklarasi dukungan organisasi relawan Pro Joko Widodo (Projo) terhadap bakal calon presiden Prabowo Subianto, turut "mencerminkan" preferensi politik Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2024. Selain berbagai penyebrangan melawan arus di atas, masih sangat banyak kejadian-kejadian serupa yang sifatnya mebelot dari kubu sebeleh ke kubu yang lainya. Peristiwa ini turut menjadi penebal garis pembatas terkait hubungan Megawati dan Jokowi yang semakin menimbulkan efek janggal.

 

  • Pak tani dan mawar kecil: Partai Solidaritas Indonesia.

Dalam perjalanan menuju kontestasi demokrasi di 2024, muncul banyak spekulasi terkait hubungan antara Presiden Joko Widodo dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Video viral berjudul "Pak Tani dan Mawar Kecil" menimbulkan pertanyaan apakah Presiden Jokowi memiliki keterkaitan lebih dalam dengan PSI. Sejarah PSI menunjukkan dukungan kuat terhadap Jokowi, dengan slogan "Jokowiisme" yang memperkuat hubungan erat antara keduanya. Pernyataan Giring Ganesha, salah satu pendiri PSI, tentang "mengembalikan PSI ke pemilik aslinya" menimbulkan spekulasi lebih lanjut. Penunjukkan Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, sebagai Ketua Umum PSI, menambahkan elemen misterius, memicu pertanyaan apakah ini strategi terakhir Jokowi menjelang akhir masa jabatannya. Perjalanan PSI dan Kaesang Pangarep semakin menarik ketika tidak jauh dari peristiwa ini secara solid PSI mendeklarasikan mendukung Prabowo Subianto sebagai Presiden di 2024. Pola semakin terlihat dan garis semakin menebal.

 

  • Alenia baru: Gibran maju menjadi Cawapres Prabowo.

Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh beberapa kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 16 Maret 2023, mengusulkan agar batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden dikembalikan ke 35 tahun. Seiringnya waktu, Partai Garuda turut mengajukan gugatan serupa pada 9 Mei 2023, meminta agar "pengalaman sebagai penyelenggara negara" diakui sebagai syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun. Gugatan ini menciptakan kekhawatiran terkait kemungkinan penyalahgunaan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kepentingan dinasti politik keluarga Presiden Jokowi, terlebih karena Ketua MK Anwar Usman adalah adik ipar Jokowi. Selanjutnya, meskipun awalnya Mahkamah Konstitusi menolak gugatan untuk batas usia 35 tahun, putusan akhir menetapkan bahwa batas minimal usia capres-cawapres adalah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai Kepala Daerah. Putusan ini membuka pintu untuk Gibran Rakabuming Raka untuk dipinang menjadi cawapres Prabowo subianto dan pada akhirnya pada Minggu, 22 Oktober, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto resmi mengumumkan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calon wakil presidennya. Dari paparan peristiwa ini mempertegas sikap Jokowi yang bersebrangan dengan Megawati dan harus menelan kenyataan bahwa mereka dalam Pemilu 2024 akan berbeda jalan.

 

  • Tebakan, Spekulasi, dan Hipotesis yang belum mencapai benang merah.

Dari berbagai segmen masyarakat terheran penyebab berpisahnya dua tokoh politik sentral di tanah air. Meskipun sejumlah isu telah muncul, namun belum terdapat benang merah yang jelas. Salah satu klaim awal menyiratkan bahwa retaknya hubungan antara Megawati dan Jokowi dipicu oleh permintaan khusus yang diajukan oleh Jokowi kepada Megawati. Jokowi diduga ingin memperpanjang masa jabatannya sebagai respons terhadap dampak pandemi Covid-19, bahkan sampai mengusulkan ide agar seorang presiden dapat menjabat hingga tiga periode. Namun, Megawati menolak dengan argumentasi berlandaskan prinsip-prinsip konstitusional.Isu lainnya mengindikasikan bahwa ketidakharmonisan antara keduanya timbul akibat perasaan kurang dihargai yang dirasakan oleh Jokowi terhadap Megawati. Sebagai seorang presiden, Jokowi merasa sering direndahkan dengan dilabeli sebagai petugas partai. Megawati bahkan pernah melontarkan pernyataan merendahkan, yaitu "Pak Jokowi itu ngono lho mentang-mentang, lah iya padahal Pak Jokowi kalau gak ada PDIP kasihan dah," dalam pidato peringatan HUT PDIP. Meskipun demikian, respon Jokowi terhadap hal tersebut hanya berupa senyuman. Selain itu, ada informasi bahwa Jokowi, sebagai Presiden dan kader PDIP, tidak terlibat dalam penentuan Calon Presiden (Capres) yang diusung oleh partai, seperti dalam kasus Ganjar Pranowo. Isu-isu ini menjadi objek spekulasi dan hipotesis di kalangan publik. Meski begitu, faktor utama yang menjadi pemicu perpisahan kedua tokoh ini masih belum dapat diidentifikasi dengan pasti. Isu-isu tersebut bersifat relatif dan sangat tergantung pada preferensi politik masing-masing individu.

Penutup: Menikmati Perhelatan Akbar Pertandingan Catur Politik

Dalam perhelatan akbar pertandingan catur politik yang semakin menghangat, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo menjadi dua bidak yang bergerak saling menantang. Sebuah pertarungan yang melibatkan pemikiran strategis, kelicikan taktis, dan pergerakan maju-mundur untuk meraih kekuasaan. Di satu sisi, Megawati Soekarnoputri menjadi sang maestro yang menciptakan gerakan-gerakan cemerlang, sementara Jokowi menjadi sosok yang menghadirkan kejutan-kejutan menarik dalam permainan ini.Seperti dalam pertandingan catur, setiap langkah memiliki arti dan konsekuensi. Ratu dan gajah bergerak mengelilingi papan politik, menciptakan aliansi dan strategi baru. Pion-pion menjadi saksi bisu, terbawa arus permainan yang mengubah dinamika politik nasional. Namun, di tengah kecanggihan langkah-langkah politik, kita juga menyaksikan kisah pribadi dan ego yang melibatkan kedua tokoh utama, Jokowi dan Megawati.

Sebagai penutup, pertandingan catur politik ini bukan sekadar permainan kekuasaan. Ia adalah panggung epik di mana tokoh-tokoh ini menunjukkan kepiawaian, kepintaran, dan kadang kala, ketidakpastian. Seperti dalam setiap pertandingan, pemenang dan pecundang belum dapat diprediksi secara pasti. Masing-masing langkah menciptakan jejak sejarah baru dan setiap keputusan menjadi bagian dari narasi panjang perpolitikan tanah air. Dengan mata catur yang waspada, masyarakat menanti perkembangan selanjutnya, sementara tokoh-tokoh ini terus berlaga di atas papan permainan politik yang kompleks dan penuh intrik. Oleh karena itu, siapakah diantara mereka yang berhasil mengglontorkan serangan mutlak skakmat? hanya rintihan waktu yang bisa menjawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image