Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adela Maritza

Hoaks, Konten Negatif, dan Stereotip Pengungsi Rohingya di Indonesia

Politik | 2023-12-15 16:08:03

Latar Belakang

Pengungsi Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang telah menetap di Myanmar selama berabad-abad. Hal ini menimbulkan ketegangan dengan mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Buddha. Pemerintah Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan Rohingya dan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2014. Pemerintah menganggap bahwa Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Selama di Myanmar, mereka diperlakukan buruk oleh warga setempat. Seperti pemerkosaan, penyiksaan, dan ancaman lainnya. Kemudian mereka menjadi sekelompok orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) dan mencari suaka ke negara-negara tetangga.

Mereka terlibat dalam konflik sosial yang berlarut-larut dan mengalami diskriminasi berdasarkan etnis dan agama di Myanmar. Keputusan mereka untuk melarikan diri dipicu oleh kondisi konflik, pengalaman diskriminasi, dan tindakan kekerasan. Selain itu, beberapa dari mereka memiliki tujuan tertentu untuk bertemu keluarga di Malaysia, sementara yang lain melarikan diri tanpa tujuan khusus, hanya untuk menyelamatkan diri dari situasi sulit di Myanmar.

Sekitar 730.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar. Kemudian pada tahun 2017 mereka tinggal di kamp-kamp yang padat dan minim fasilitas di Bangladesh. Mereka menghadapi pembatasan yang ketat dari pemerintah Bangladesh dan ancaman kekerasan dari kelompok-kelompok bersenjata. Mereka tidak diberikan akses pendidikan, bekerja, bahkan sulit untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka sebagai manusia, yaitu makan dan minum.

Mencari Suaka dan Terombang-Ambing di Lautan

Menurut sebuah reportase yang ditulis oleh Aqwam F. Hanifan di JawaPos, para pengungsi di pelabuhan Kuala Langsa, Aceh bercerita tentang peristiwa kelam yang mereka alami selama 41 hari terombang-ambing di selat malaka. Mereka hanya berbekal makanan dan minuman yang jauh dari kata cukup dan kapal yang melebihi kapasitas penumpang.

“Setelah terapung-apung 41 hari di atas laut, perahu yang disesaki 363 orang dan sudah overload itu meski ke tambahi 558 orang tambahan dari tiga perahu kecil yang berdatangan. Kondisi ini diperparah dengan kaburnya kapten kapal dan smugglers yang meninggalkan mereka. Kapal pun terombang-ambing tanpa arah dan tujuan. Dengan muatan yang sangat berlebihan selama sebulan lebih.”

Membaca reportase tersebut lantas membuat perasaan saya tak karuan, ditambah lagi banyak sekali konten-konten yang terus muncul di sosial media saya yang sungguh diskriminatif terhadap Rohingya. Konten dzolim yang berisi tentang informasi palsu tak berdasar, atau konten candaan yang tidak etis ini masih berkeliaran di sosial media dan dianggap wajar. Perlakuan buruk salah satu oknum pengungsi, tidak lantas membuat kita mewajarkan untuk menghukum satu bangsa tersebut. Para pengungsi tersebut didalamnya terdiri dari anak-anak dan perempuan. Mereka butuh perlindungan.

Informasi Palsu Membentuk sebuah Justifikasi untuk Rasis

“Orang Aceh aja nolak mereka”

“Mereka itu Pemalas, Pemerkosa, Kriminal”

“Liat kelakuan mereka di Malaysia”

“Menjajah jalur kasian”

Ujaran kebencian tersebut saya temukan di platform X dan Tiktok, narasi penuh kebencian tersebut menyebar, diterima, dan semakin “digoreng” oleh seluruh netizen di Indonesia.

Bagaimana false narrative membentuk stereotip terhadap pengungsi Rohingya dapat dijelaskan dalam teori kultivasi media, teori ini dikembangkan oleh George Gerbner, menyatakan bahwa media massa memiliki dampak bertahap dalam membentuk pandangan dunia individu. Jika seseorang terus-menerus terpapar pada tema atau narasi tertentu di media, hal tersebut dapat membentuk persepsi mereka terhadap realitas sosial. Dalam konteks pembentukan stereotip terhadap suatu kelompok, seperti Etnis Rohingya, terus menerusnya paparan media yang merendahkan atau memunculkan false narrative dapat membentuk pandangan negatif dan stereotip di kalangan masyarakat.

Dalam hukum kebiasaan internasional (Customary International Law) terdapat prinsip hukum yang berlaku terkait pengungsi, yaitu Prinsip non-discrimination yaitu melarang negara untuk mendiskriminasi pengungsi berdasarkan ras, agama, kebangsaan, jenis kelamin, atau status lainnya. Prinsip ini juga telah menjadi norma hukum internasional yang diterima secara universal, dan diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional, termasuk Konvensi mengenai Status Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967. Sehingga masyarakat seharusnya tidak memperparah situasi refugee dan mereka bukan sebuah “materi” komedi. Sebagai tambahan Indonesia belum meratifikasi dan menjadi negara pihak dari Konvensi 1951 tentang pengungsi, sehingga persoalan penanganan pengungsi diurus dan ditangani oleh UNHCR yaitu Badan PBB yang mengurusi soal pengungsi dan Indonesia tidak berwenang untuk menangani sepenuhnya karena belum menjadi negara pihak dari Konvensi Pengungsi 1951. Sehingga Indonesia tidak berkewajiban untuk menolong pengungsi namun mendiskriminasi pengungsi tetap perbuatan yang salah dan tak pantas untuk dibenarkan.

Selain itu, seorang komedian Indonesia, Marshel Widianto mengunggah suatu konten komedi tak pantas tentang Rohingya di platform sosial medianya. Dengan pengikut sebanyak 1.4M di instagram, konten diskriminatif itu dipertontonkan demi sebuah engagement. Selain itu konten tersebut mengandung sebuah komen yang dibuat seolah-olah oleh akun UNHCR Indonesia yang akan memberikan tempat tinggal, KTP, makan, dan rumah untuk pengungsi Rohingya. Padahal akun tersebut bukan akun asli UNHCR Indonesia, melainkan akun palsu yang memakai nama lembaga tersebut. Sungguh ironi, akun UNHCR tersebut ternyata hanya netizen biasa yang mengganti usernamenya. Kemudian malah dipakai sebagai “bensin” komedi untuk memojokkan Rohingya. Menganggap isu Rohingya sebagai bahan lelucon merupakan hal yang tidak pantas. Sebaliknya, seharusnya kita fokus mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan genosida dan pengusiran terhadap orang Rohingya, daripada mendemonisasi mereka sebagai penjajah.

Sungguh ironi melihat salah satu orang yang berbicara secara lantang soal kemanusiaan yang dialami etnis di belahan lain, namun dalam kasus Rohingya justru ia absen dan malah membuat narasi palsu mengenai mereka, kelompok yang tertindas. Perihal kemanusiaan menurut saya, tidak bisa tebang pilih. Mereka sama-sama jauh dari kata beruntung dalam hidup, memiliki pengalaman buruk akibat perlakuan orang-orang korup. Membuat narasi yang seolah-olah mereka ini adalah kelompok orang yang tak pantas diberi pertolongan adalah hal yang jahat dan tidak bisa dibenarkan dalam konteks apapun.

Referensi

Sultoni, Yahya (2014) Alasan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 Tentang Pengungsi Dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi Di Indonesia. Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.

https://www.hrw.org/id/news/2023/09/29/future-bleak-rohingya-bangladesh-myanmar

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image