Ironi Ex Koruptor dalam Pesta Demokrasi 2024
Politik | 2023-12-15 13:17:09Ditemukan 56 mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (bacaleg) DPR maupun DPD pada pesta demokrasi 2024 mendatang. Hal ini menunjukkan rendahnya kesadaran dalam menjaga integritas nilai-nilai dalam pemilu. Sebanyak 27 dari 56 calon legislatif tersebut bahkan mendapatkan nomor urut 1 dan 2, menandakan bahwa partai politik memberikan prioritas kepada mantan terpidana korupsi. Meskipun partai politik memiliki puluhan hingga ratusan anggota potensial untuk dijadikan calon legislatif, mereka masih nekat mencalonkan mantan terpidana korupsi, mengindikasikan kegagalan dalam kaderisasi dan kurangnya usaha untuk mendapatkan kandidat terbaik.
Alasan partai politik mengusung mantan koruptor dalam pemilihan legislatif melibatkan faktor ekonomi. Mantan koruptor tidak mengalami kemiskinan karena biaya kampanye untuk menduduki kursi legislatif tidaklah murah. Mereka harus mempromosikan diri dengan cara seperti pemasangan baliho atau money politics, yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain faktor ekonomi, partai politik cenderung memilih kader yang memiliki popularitas dan bersikap pragmatis dalam menentukan figur yang akan dicalonkan sebagai anggota legislatif. Meskipun semua mantan terpidana korupsi pernah terlibat kasus hukum, partai politik tetap menggaet mereka dengan harapan mendapatkan suara berkat popularitas yang dimiliki.
Selain alasan dari partai politik yang mendorong mantan koruptor untuk maju dalam pemilihan legislatif, KPU RI juga memiliki kendali dalam penentuan calon legislatif. Meskipun lembaga ini bertugas menyelenggarakan pemilihan umum, publik kehilangan kepercayaan karena KPU memperbolehkan mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2024. Putusan ini tercantum dalam peraturan KPU No. 10/2023 Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 18 ayat (2), yang memungkinkan mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif tanpa menunggu masa jeda lima tahun, selama vonis pengadilan mencabut hak politik. Keputusan ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.87/PUU-XXI/2023 yang menetapkan aturan yang lebih ketat terkait pencalonan mantan narapidana.
Banyaknya mantan koruptor yang mencalonkan diri membuat masyarakat menilai negatif terhadap partai politik dan parlemen. Beberapa menganggap partai politik sebagai lembaga yang korup dan tidak dapat dipercaya, terutama karena kader partai politik terlibat dalam kasus korupsi. Banyak partai politik juga dianggap kurang peduli terhadap masalah masyarakat, cenderung tutup telinga atau hanya memberikan janji manis tanpa tindakan nyata. Masyarakat menyesalkan keputusan partai politik yang nekat mengusung mantan koruptor untuk kembali menduduki kekuasaan yang seharusnya mereka hindari. Mudahnya mantan koruptor menduduki kursi legislatif juga memicu kekhawatiran bahwa mereka dapat mengulangi kesalahan yang sama karena hukuman yang mereka terima masih terlalu ringan.
Hukuman untuk koruptor di Indonesia minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dengan denda minimal Rp 200 juta dan denda maksimal Rp 1 milyar dianggap terlalu ringan. Dikhawatirkan bahwa mudahnya mantan koruptor menduduki kursi legislatif dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan yang sama karena hukuman yang diterima masih belum cukup memberikan efek jera. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk lebih selektif dan hati-hati dalam menggunakan hak suara mereka pada pemilihan umum, dengan memilih pemimpin yang memiliki kinerja dan rekam jejak yang baik serta mampu mewujudkan Indonesia maju dan sejahtera dengan semangat antikorupsi bagi masyarakat dan pejabat pemerintah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.