Politik Dinasti dan Ancaman Demokrasi
Politik | 2023-12-15 08:18:17Praktik kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat dalam hubungan keluarga atau sering disebut dengan “politik dinasti” ini menjadi bahasan yang cukup hangat akhir-akhir ini. Seperti berita yang beredar bahwa mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Anwar Usman yang tidak lain adalah adik ipar dari Presiden Jokowi yang putusan terkait kandidat Capres-Cawapres yang paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah, ini meliputi Gubernur, Bupati, Walikota, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD. Keputusan ini menjadi pembuka jalan bagi putra sulung dari Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mendaftar sebagai Capres-Cawapres pada Pilpres 2024 mendatang.
Hal ini menjadi pro dan kontra yang tak terhindarkan. Dimana jika dilihat dari latar belakang keduanya, seperti menggunakan dan memanfaatkan kekuasaannya untuk tujuan tertentu. Sehingga bisa jadi adanya rasa kegelisahan pada kader lainnya, karena merasa adanya ketidak adilan.
Menurut Marcuz Mietzner (2009: 20), praktik sebuah pemerintahan yang mengerucut kepada politik dinasti merupakan sebuah penyimpangan dari sistem demokratis, sehingga bisa diartikan bahwa demokrasi sedang tidak sehat. Asas dasar politik dinasti adanya hubungan pertalian sedarah atau keterikatan hubungan keluarga yang akan memudahkan dan menjangkau sebuah kekuasaan lewat pengalaman keluarga yang sebelumnya, sehingga dalam pertarungan merebutkan kekuasaan relatif mudah karena adanya sistem yang menghendaki terjadinya turun-temurun jabatan.
Politik dinasti yang mulai berkembang di Indonesia merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi. Bagaimana tidak, fakta bahwa setiap orang cenderung melibatkan orang terdekatnya untuk menguasai kebijakan dibeberapa aspek. Disamping itu dapat menimbulkan terbatasnya atau tertutupnya peluang lahirnya pemimpin yang berkualitas, juga dapat memunculkan tirani dalam bentuk baru.
Politik dinasti biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu by design dan by accident. Politik dinasti by design merujuk pada jaringan keluarga dalam pemerintahan yang kuat, sehingga anggota keluarga yang terjun dalam dunia politik direncanakan sedemikian rupa untuk merekayasa keberhasilannya. Sedangkan politik dinasti by accident terjadi dengan pemerintahan secara tiba-tiba mencalonkan kerabat untuk menggantikannya demi menjaga kekuasaannya jika dia telah terpilih.
Kehadiran politik dinasti mencoba untuk mengelilingi perebutan kekuasaan di level regional sampai pada level nasional. Oligarki yang melekat di partai politik menyebabkan mekanisme pencalonan kandidat tidak berjalan pada semestinya. Karena kecenderungan partai politik yang seringkali mencalonkan kandidat yang berasal dari kelompoknya, bukan melalui mekanisme demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan calon kandidat.
Sehingga problem utama dari politik dinasti adalah proses rekrutmen politik yang seringkali tidak demokratis, dan tidak dibangunnya berdasarkan kompetensi atau kemampuan mereka meskipun pada akhirnya memang rakyat yang memilihnya. Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli menilai politik dinasti membajak dan membonsai demokrasi khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. “Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close games” katanya.
Menunjuk seseorang yang memang sengaja ditunjuk dengan niatan untuk melangengkan atau meneruskan kekuasaan kelompok tertentu juga akan membahayakan demokrasi. Apalagi jika dia berasal dari pemilik modal (orang yang memiliki jabatan tinggi), mereka akan cenderung memiliki peluang untuk memperoleh kekuatan sosial daripada orang yang berasal dari non-pemilik modal.
Di dalam politik dinasti biasanya tidak akan terlepas dari kharisma atau kesan yang dibangun oleh pemimpin pertama, sehingga keadaan ini memungkinkan masyarakat menaruh kepercayaan berlebih kepada turunannya karena dianggap memiliki potensi yang sama meskipun belum terbukti kualitasnya. Sehingga adanya faktor keturunan tersebut menimbulkan keikutsertaan kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya. Dan kunci kemenangan politik dinasti adalah dengan memiliki jaringan kekuasaan yang berasal dari keluarga yang masih aktif dalam menjalankan atau mempertahakan kekuasaanya.
Dalam demokrasi yang ideal, sudah seharusnya rakyat memiliki peluang yang lebih besar dalam proses politik. Maksudnya, adanya ruang yang sangat terbuka bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi merebutkan jabatan-jabatan politik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga dengan adanya partisipasi masyarakat yang luas dalam dunia politik, diharapkan mampu menghentikan dan mengurangi kecenderungan menjamurnya kekuasaan yang terkonsentrasi dalam satu kelompok atau keluarga saja.
Dalam keadaan tersebut, jika kita melihat arti dari politik dinasti dan demokrasi yang ideal, maka tentu keduanya sangat bertolak belakang. Karena justru dengan adanya politik dinasti akan mengakibatkan proses regenerasi terputus dan memunculkan kekuatan yang absolut pada seseorang untuk bersekongkol mengeksploitasi politik. Dan ketika kekuatan itu bersifat absolut, maka memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang besar. Tidak hanya itu, dengan menguatnya politik dinasti yang berdasarkan pada kedekatan politik keluarga ini akan menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang yang berasal dari non dinasti sehingga melahirkan presepsi yang buruk dimasyarakat.
Hal tersebut menimbulkan efek untuk membawa kepentingan keluarga dan pribadi bukan berdasarkan masyarakat umum. Meskipun demikian, praktik ini masih tetap berkembang di Indonesia, karena politik dinasti yang selalu berlindung di balik alasan konstitusional hak politik bagi setiap warga negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa politik dinasti memiliki peluang untuk mengancam, menguasai, bahkan mematikan demokrasi didalam politik. Apalagi bagi negara Indonesia yang sekarang demokrasinya sedang berjalan secara baik. Hal tersebut dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.