Apakah Cara Kita Menjadi Orang Tua Normal?
Gaya Hidup | 2023-12-11 08:08:24Mengapa ini saatnya mempertanyakan praktik umum mengasuh anak.
Poin-Poin Penting
· Pola asuh masa kini sering kali mengandalkan hukuman dan penghargaan.
· Sebaliknya, pola asuh dalam masyarakat pemburu dan pengumpul ditandai dengan pengasuhan komunal dan rasa hormat.
· Kembalinya pola asuh yang lebih intuitif dimulai dengan memperhatikan dan mempertanyakan apa yang kita anggap "normal".
Pernahkah Anda bertanya-tanya apakah wajar jika orang tua merasa lelah dan letih di akhir minggu? Atau hari itu? Pernahkah Anda bertanya-tanya apakah melakukan sebagian besar tugas mengasuh anak sendirian adalah hal yang normal? Pernahkah Anda merasa bersalah karena tidak lebih menikmati setiap momen menjadi orang tua? Pernahkah Anda mempertanyakan apakah pendekatan Anda dalam mengasuh anak sudah benar? Pernahkah Anda menyerah pada tekanan atau ekspektasi orang lain, meskipun hal tersebut bertentangan dengan intuisi Anda?
Jika Anda menjawab 'ya' untuk semua pertanyaan di atas, Anda tidak sendirian.
Saya telah menyuruh putri saya untuk duduk di meja karena ekspresi yang saya lihat di wajah ayah saya. Saya khawatir jika tidak ikut campur lagi, dia akan menjadi manja. Saya merasa terbebani sebagai orang tua. Dan saya merasa malu karena merasa kewalahan.
Pandangan arus utama mengenai pengasuhan anak dalam budaya kita menekankan pentingnya mengajar anak-anak berperilaku “baik” melalui hukuman dan penghargaan. Diasumsikan bahwa cara terbaik bagi anak-anak untuk belajar mengatur emosinya adalah dengan mengecilkan hati atau menyangkalnya. Dan hal ini mengasumsikan bahwa kita perlu mendorong anak-anak untuk menjadi mandiri, dengan mengabaikan permintaan mereka akan kedekatan.
Hal ini juga mengasumsikan bahwa kita tidak boleh mengeluh karena kita melakukan semuanya sendirian. Seperti yang ditunjukkan oleh generasi yang lebih tua, ketika mereka memiliki anak kecil, cuti orang tua yang dibayar, subsidi pengasuhan anak, dan pengaturan kerja yang fleksibel tidak ada atau kurang ekstensif dibandingkan saat ini.
Jadi, sebagai perbandingan, kita bisa melakukannya dengan mudah (atau begitulah logikanya).
Hal ini wajar terjadi di masyarakat kita.
Artinya, itulah yang dilakukan kebanyakan orang.
Namun menjadi normal tidak sama dengan natural.
Bersikap normal belum tentu benar atau sehat bagi pihak-pihak yang terlibat. Ini bahkan tidak berarti bahwa hal itu memberikan hasil yang diinginkan.
Misalnya, merupakan hal yang normal (dan di AS tidak melanggar hukum sampai tahun 1993) jika seorang suami memukuli istrinya. Dan di Amerika Utara, merupakan hal yang lumrah untuk mengambil anak-anak pribumi dari orang tuanya dan memaksa mereka masuk ke sekolah asrama (atau sekolah berasrama Indian Amerika) hingga akhir abad ke-20.
Norma-norma ini mempunyai dampak buruk terhadap orang-orang yang dianiaya dan dianiaya.
Dan apa yang kita anggap sebagai pola asuh yang normal saat ini, juga mempunyai dampak buruk terhadap anak-anak dan orang tua.
Semakin banyak anak yang bergulat dengan depresi, kecemasan, dan tantangan kesehatan mental lainnya. Demikian pula, orang tua sering kali stres dan kewalahan, berjuang untuk tetap tenang di tengah situasi yang panas.
Betapapun normalnya hal ini, hal ini bukanlah aspek alami dalam mengasuh anak; sebaliknya, ini adalah produk dari lingkungan kontemporer kita.
Pola Asuh Alami
Ketika kita melihat suku-suku pemburu dan pengumpul, cara kita hidup hampir sepanjang sejarah umat manusia, kita melihat gambaran yang sangat berbeda:
· Anak-anak dibesarkan oleh komunitas pengasuh, bukan hanya satu atau dua orang tua.
· Anak-anak diperlakukan dengan rasa hormat dan otonomi, bukan paksaan dan kontrol.
· Anak-anak terpapar pada kontak fisik dan kasih sayang yang terus-menerus, bukan isolasi dan keterpisahan.
· Anak-anak tenggelam dalam alam dan budaya, bukan layar dan jadwal.
Bagi kelompok hunter, menikmati mengasuh anak adalah hal yang wajar, bukan merasa terbebani. Merasa percaya diri, mengetahui secara intuitif apa yang harus dilakukan, dan didukung oleh banyak orang adalah hal yang wajar.
Mereka secara intuitif mengetahui bahwa setiap anak memiliki kebutuhan bawaan yang sama: akan rasa aman, koneksi, dan otonomi. Sepanjang sejarah evolusi kita, kegagalan untuk memenuhi kebutuhan ini berarti kelangsungan hidup seorang anak terancam. Misalnya, bayi yang tidur sendirian bisa saja menjadi mangsa empuk singa, dan anak yang tidak terhubung atau terlalu terkontrol tidak akan mempelajari keterampilan penilaian risiko yang penting, sehingga meningkatkan bahayanya.
Kembali ke Pola Asuh Alami
Berpisah dengan alam, dan mengadopsi budaya yang menghargai individualisme, persaingan, dan materialisme, telah membawa kita pada situasi ini.
Hal ini telah menciptakan sebuah norma baru, namun kita semua menderita karenanya. Untungnya, kita dapat kembali ke cara kita mengasuh anak dulu, dan menjadikan apa yang alami menjadi normal kembali.
Bagaimana kita melakukan itu?
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita dapat mempelajari kebutuhan anak-anak yang terus berkembang dan menemukan cara untuk memenuhinya. Kita dapat menemukan cara untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri dengan lebih baik. Dan terhubung kembali dengan intuisi kita sendiri. Kita bisa memperlambatnya.
Namun menurut saya langkah pertama (dan mungkin yang paling penting) adalah memperhatikan. Perhatikan seperti apa pola asuh yang “normal” saat ini. Perhatikan narasi dan gagasan budaya tentang cara memperlakukan anak-anak, dan cara (merasa sebagai) orang tua. Dan berani bertanya.
Melihat bahwa cara kita sebagai orang tua saat ini tidak sesuai dengan perkembangan kita, dan tidak memenuhi kebutuhan orang tua maupun anak-anak, akan memungkinkan kita untuk mengambil sikap berbeda terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di awal.
Kewalahan, isolasi, ketidakpastian, stres, dan rasa malu mungkin merupakan pengalaman normal sebagai orang tua di dunia saat ini, namun hal tersebut tidak dapat dihindari. Memperhatikan dan mulai mempertanyakan praktik pengasuhan anak yang normal adalah langkah pertama menuju cara lain (yang lebih tua).
***
Solo, Senin, 11 Desember 2023. 8:00 am
Suko Waspodo
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.