Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yusuf Khairul Ramadhan

Pernikahan Dini di Ponorogo

Agama | 2023-12-08 08:32:05

PERNIKAHAN DINI DI PONOROGO

Yusuf Khairul Ramadhan

422021212177

Studi Agama Agama

A. Pendahuluan

Islam adalah agama fitrah, dan Allah Ta'ala membuat manusia sesuai dengan fitrah ini. Karena itu, Dia memerintahkan mereka untuk menghadapkan diri ke agama fitrah agar tidak ada kekacauan atau kesalahan. sehingga manusia mengikuti fitrahnya Karena pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, Islam menganjurkan menikah karena itu adalah ghazirah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Jika ghazirah ini tidak dipenuhi dengan pernikahan, maka ia akan mencari cara lain untuk menjerumuskan orang ke dalam dosa.[1] Semua makhluk Allah, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan, berpasang-pasangan, seperti manusia, makhluk yang paling sempurna.[2] Kedewasaan pasangan muda diperlukan untuk membentuk keluarga yang bahagia, penuh kasih, dan saling menyanyangi. Keluarga yang dibentuk dengan kebiasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial dan ekonomi, emosi dan tanggung jawab, pernikahan, nilai-nilai kehidupan, dan keyakinan atau agama akan memiliki saham yang cukup besar dan meyakinkan untuk mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dalam keluarga mereka.[3]

Data menunjukkan bahwa di Kabupaten Ponorogo ada peningkatan jumlah perkawinan di bawah umur dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya permintaan surat dispensasi perkawinan di bawah umur yang diajukan ke Pengadilan Agama Ponorogo. Pada tahun 2007, rata-rata 15 hingga 19 surat dispensasi diajukan per bulan, berbeda dengan tahun sebelumnya, di mana jumlah surat yang diajukan rata-rata hanya satu hingga tiga surat per bulan. Peningkatan 75% dalam perkawinan di bawah umur.[4] Menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun." Ini adalah syarat yang diperlukan untuk melakukan penikahan menurut hukum Islam.

B. Pembahasan

Setelah masing-masing pasangan siap melakukan peran mereka yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan, perkawinan adalah cara Allah memilih untuk manusia untuk beranak, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidup. Tuhan tidak ingin manusia seperti makhluk lain, hidup tanpa aturan dan mengikuti nalurinya sendiri. Namun, Allah membuat hukum sesuai dengan martabatnya untuk menjaga martabat dan kehormatan.[5] Dalam pergaulan, atau embrio bangunan masyarakat yang sempurna, nikah adalah asas hidup yang paling penting. Pernikahan bukan hanya merupakan cara yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dilihat sebagai cara untuk memperkenalkan orang-orang dari suatu kaum dengan orang lain, dan perkenalan ini akan memungkinkan orang dari suatu kaum berinteraksi satu sama lain. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia. Definisi ini memudahkan pemahaman tentang definisi perkawinan sebagai perjanjian. Adanya kemauan bebas antara dua pihak yang berkomitmen berdasarkan prinsip suka sama suka mendefinisikan perjanjian. Pernikahan, atau perkawinan,

didefinisikan dalam Fiqh sebagai: "Suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan sorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syari'at Islam."[6] Al-Qur'an dan Hadis mengakui betapa pentingnya kedewasaan dalam pernikahan. Dalam fiqh, tanda-tanda jasmani, yaitu tanda-tanda baligh, digunakan untuk menentukan usia dewasa.[7] Untuk menjadi salah satu bentuk pembebanan hukum, pernikahan tidak hanya memerlukan baligh (cukup umur). Pembebanan hukum (ta'lif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur), dan pemahaman. Dalam Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, ayat 1 menyatakan bahwa "Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun." Ketentuan ini secara jelas menunjukkan bahwa umur calon mempelai (calon).[8]

Menurut Husein Muhammad, pernikahan di usia muda atau belia adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang belum mencapai status baligh atau mimpi basah. Batas usia baligh ditentukan dalam tahun, dan mayoritas ahli fikih menganggap pernikahan di bawah umur 15 tahun, dan Abu Hanifah menganggap pernikahan di bawah umur 17 atau 18 tahun.[9] Hukum Islam hanya membatasi jika sudah mampu, yaitu mampu menjalin hubungan suami istri dan memberikan nafkah untuk anak dan istrinya. Selain itu, yang paling penting dalam hukum Islam adalah berani, yaitu berani bertindak dewasa dalam menentukan dan menetapkan tanggal pernikahan atau kawin. Karena banyak pemuda yang menikah pada usia tua karena tidak memiliki keberanian. Adapun beberapa factor penyebab terjadinya pernikahan dini diantaranya adalah;

1) Sudah saling mencintai

2) Sudah bertunangan

3) Kehamilan sebelum menikah

4) Desakan dari orang tua

5) Factor pergaulan

Menurut Madzab Syafi'i, asal hukum pernikahan adalah mubah (boleh-boleh saja) dan bukan sunnah karena ada beberapa sahabat yang tidak menikah dan itu tidak menjadi masalah. Karena itu, hukum pernikahan dapat menjadi wajib, sunnah, makruh, atau bahkan haram karena ada keinginan untuk menikah. Menurut beberapa ulama di Kabupaten Ponorogo, hukum pernikahan dini boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang sesuai dengan peraturan saat ini. Undang-Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 7 Ayat (1) menetapkan batas minimal umur untuk melangsungkan pernikahan. Tidak ada undang-undang yang mengharuskan pernikahan dini. Untuk warga negara, pembatasan umur pernikahan pada dasarnya bertujuan untuk menetapkan aturan untuk melangsungkan pernikahan. Prinsip pembatasan umur minimal untuk menikah bagi warga negara bertujuan untuk memastikan bahwa orang yang akan menikah sudah memiliki kematangan mental, emosi, dan fisik yang cukup. Pasangan tersebut dinilai memiliki kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan berkeluarga, yang dapat mencegah perceraian.

[1] Ahmad Junaidi, Pernikahan Hybrid Studi Tentang Komitmen Pernikahan Wong Nasional Di Desa Patokpicis Kecamatan Wajak Kabupaten Malang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 28

[2] Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 13.

[3] Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologis dan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 8.

[4] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresi (Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2015), 101

[5] Ansori, Abdul Ghofur, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011), 21

[6] Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta: Bina Cipta, 1987), 1

[7] http://hakamabbas.blogspot.com/2014/02/batas-umur-perkawinan-menurut-hukum.html/m=1. Diakses pada pukul 10:08 WIB, 3-06-2017

[8] Miftahul Huda, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2014), 114

[9] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarta : Lkis, 2001), 68.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image