Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afif Sholahudin

Tren Childfree Hingga Marriage is Scary, Selanjutnya apa?

Gaya Hidup | 2024-10-03 09:28:51

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan munculnya berbagai tren sosial yang cukup mencolok, salah satunya adalah tren childfree dan semakin maraknya pandangan bahwa pernikahan itu menakutkan atau "marriage is scary". Kedua tren ini, meskipun terlihat berbeda, memiliki benang merah yang sama: pergeseran nilai-nilai tradisional mengenai keluarga dan peran individu dalam masyarakat.

Tren childfree, atau pilihan untuk tidak memiliki anak, semakin populer di kalangan generasi muda. Hal ini didorong oleh berbagai faktor, mulai dari pertimbangan finansial, karir, hingga kebebasan pribadi. Sementara itu, pandangan bahwa pernikahan itu menakutkan muncul akibat meningkatnya angka perceraian, kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan tuntutan hidup modern yang kompleks.

Fenomena ini tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran. Apakah tren ini merupakan pertanda positif dari semakin meningkatnya kesadaran individu akan hak dan pilihan hidup mereka? Ataukah ini justru merupakan ancaman bagi kelangsungan keluarga sebagai institusi sosial yang fundamental?

Tantangan Masa Depan

Dalam pandangan saya, ada beberapa risiko yang perlu diperhatikan terkait dengan dua tren yang sedang berkembang saat ini. Pertama, krisis demografi dapat menjadi ancaman serius akibat penurunan angka kelahiran yang disebabkan oleh semakin populernya pilihan untuk tidak memiliki anak atau childfree. Hal ini dapat berujung pada berkurangnya jumlah penduduk yang produktif, yang pada gilirannya berpotensi memicu masalah demografi di masa depan. Selain itu, kerusakan jaringan sosial juga menjadi perhatian utama. Keluarga, sebagai unit terkecil dalam masyarakat, memiliki peran penting dalam menjaga hubungan sosial yang lebih luas. Ketika institusi keluarga mengalami pelemahan, dampaknya akan terasa pada jaringan sosial yang lebih besar, yang dapat mengganggu kohesi masyarakat.

Selanjutnya, kehilangan makna hidup juga merupakan dampak yang signifikan. Bagi banyak orang, memiliki anak dan membangun keluarga adalah sumber kebahagiaan dan makna hidup yang mendalam. Ketika tren ini mengarah pada pengabaian peran tersebut, ada risiko bahwa banyak individu akan merasa kehilangan arah. Terakhir, peningkatan isolasi sosial menjadi isu yang tak bisa diabaikan. Individualisme yang semakin menguat dapat memicu perasaan kesepian dan keterasingan di kalangan masyarakat. Semua faktor ini saling terkait dan menunjukkan bahwa kita perlu merenungkan kembali nilai-nilai yang kita pegang dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengaruh yang Buruk

Media sosial memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap konsep keluarga. Dengan semakin banyaknya informasi yang beredar di platform-platform ini, orang-orang dapat melihat berbagai macam model keluarga dan dinamika yang ada, yang pada gilirannya dapat memengaruhi persepsi mereka tentang apa yang dianggap sebagai keluarga ideal. Di sisi lain, tren childfree, atau keputusan untuk tidak memiliki anak, juga memberikan dampak ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Keputusan ini tidak hanya memengaruhi individu dan pasangan, tetapi juga dapat berdampak pada perekonomian secara keseluruhan, karena berkurangnya populasi dapat memengaruhi pasar dan kebutuhan akan berbagai layanan.

Selain itu, kebijakan pemerintah yang mendukung keluarga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan keluarga. Kebijakan-kebijakan ini dapat berupa dukungan finansial, cuti melahirkan, dan program-program yang membantu orang tua dalam merawat anak-anak mereka. Semua ini bertujuan untuk memperkuat struktur keluarga dan memberikan rasa aman bagi anggotanya. Di samping itu, peran agama dalam membentuk nilai-nilai keluarga juga tidak dapat diabaikan. Banyak ajaran agama yang menekankan pentingnya keluarga, kasih sayang, dan tanggung jawab antar anggota keluarga, yang pada akhirnya membentuk norma dan perilaku sosial dalam masyarakat.

Secara keseluruhan, interaksi antara media sosial, tren childfree, kebijakan pemerintah, dan nilai-nilai agama sangat kompleks dan saling memengaruhi dalam membentuk persepsi dan realitas mengenai keluarga di masyarakat kita.

Keimanan yang Lemah

Tidak bisa dipungkiri, banyaknya tren demikian semakin ditelan oleh kaum muda semakin pupus dari masa depan emas. Faktor keimanan dan ketakwaan tidak bisa lepas dari kunci perlindungan generasi yang kuat.

Memahami pernikahan sebagai ibadah adalah tujuan yang harus ditekankan di awal. Agama Islam mengajarkan keluarga adalah pondasi utama sebuah masyarakat. Apalagi Islam mengajarkan anak adalah nikmat yang terbaik, amanah yang harus dijaga, dan penerus peradaban Islam kelak di masa depan.

Islam mengajarkan cinta dan benci karena Allah, dan keluarga adalah cerminan kecintaan tersebut. Setiap bagian keluarga memiliki tanggungjawab masing-masing untuk menjaga keutuhannya.

Ingat, rasa takut datang ketikan tidak ada keyakinan dan putus asa dari pertolongan. Keduanya adalah hasil keimanan. Selama ada manusia teladan, seharusnya mengamalkan agama dalam menyusun misi hidup adalah mudah. Ditambah lingkungan yang saling menguatkan, maka lingkungan (bacaan di era sosmed) adalah faktor penting dalam membimbing dan melahirkan solusi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image