Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Margareth Maya P.Naibaho

Mengapa KDRT Terus Terjadi?

Edukasi | 2023-12-04 23:07:21

Sepanjang tahun 2023 kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih terus terjadi. Walaupun negara sudah menjamin untuk melindungi perempuan dari KDRT melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun KDRT masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan sampai saat ini.

Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiann serta sebagai bentuk diskriminasi. Seharusnya pasangan merupakan orang terdekat yang memberikan aspek keamanan dan kasih sayang. Namun justru sebaliknya dalam beberapa kasus, pasangan juga menjadi orang terdekat yang tega menyakiti dengan melakukan kekerasan seperti memukuli dan bahkan sampai menghabisi pasangannya.

Masih segar dalam ingatan, warga Bekasi dikejutkan dengan adanya penemuan jenazah dari seorang wanita di kamar kontrakannya yang sempit di daerah Cikarang. Wanita tersebut merupakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya. Korban telah berulang kali mengalami kekerasan berupa pemukulan, penamparan dan penyiksaan sampai akhirnya meninggal karena dibunuh oleh pelaku. Baru-baru ini juga ada kasus seorang dokter yang “menghilang” dari rumah karena mengalami penganiayaan oleh suami, permasalahan ini menambah deretan kasus KDRT di tahun 2023. Korban ditemukan oleh polisi tengah meminta perlindungan diKantor Dinas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

KDRT dalam Angka dan Regulasi

WHO mencatat 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. KDRT dapat dialami oleh siapapun tanpa memandang ras, usia, agama, jenis kelamin maupun tingkat ekonomi. Kasus KDRT bukan saja terjadi di masyarakat pada umumnya, hal ini ternyata terjadi juga kepada para publik figure. Mulai dari mantan idol, mantan puteri Indonesia, hingga penyanyi dangdut. Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021 terdapat 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal.

Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada tahun 2022 terdapat 18.138 korban kekerasan dalam rumah tangga. Umumnya, korban KDRT adalah perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan dapat juga terjadi pada laki-laki. Kentalnya budaya patriarki di Indonesia, dimana laki-laki harus selalu dihargai dan dihormati diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya KDRT. Patriarki adalah suatu nilai yang memiliki pandangan bahwa pria memiliki relasi kekuasaan yang lebih tinggi dari perempuan. Seperti umumnya perilaku KDRT biasanya dimulai dari kekerasan verbal hingga non-verbal abusing. Kekerasan dimulai dari makian, penamparan, pemukulan, penyiksaan sampai tak jarang berakhir dengan kematian.

Berbagai studi menemukan penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, biasanya pelaku menggunakan kekerasan untuk mendapatkan kepatuhan dari pasangan ketika sumber daya tidak ada (Atkinson, Greenstein, & Lang, 2005), karena mereka memandangnya sebagai basis kekuasaan, sebagai alternatif terhadap sumber daya material. Sumber daya perempuan yang relatif lebih banyak dapat meningkatkan kekerasan akibat stress disebabkan oleh ketidakstabilan status (Heise, 2011; Gracia & Merlo; 2016). Di sisi lain, para ahli berpendapat sumber daya perempuan yang relatif lebih sedikit dapat menyebabkan lebih banyak kekerasan karena ketergantungan pada perkawinan (Davis & Greenstein, 2009).

Pemerintah sebenarnya telah menerapkan berbagai langkah sebagai upaya pencegahan dan penghapusan terhadap KDRT. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Disebutkan dalam Undang-Undang tersebut, bahwa KDRT merupakan perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004, menyebutkan setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Secara tegas UU No.23 Tahun 2004, menyebutkan adanya sanksi yang dikenai bagi pelaku tindak kekerasan. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dikenai pidana maksimal yaitu penjara paling lama 5 tahun atau denda Rp.15.000.000.

Selain itu jika seseorang melakukan perbuatan kekerasaan psikis dalam rumah tangga dapat dipidana paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000 dan orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda Rp.36.000.000. Selain pidana diatas, hakim juga dapat memberikan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Ketentuan tambahan tersebut bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan kenjaga keutuhan rumah tangga.

Pencegahan KDRT Sebuah Paradoks

Umumnya kasus KDRT sulit diproses karena merupakan delik aduan, dimana korban harus melaporkan tindak KDRT kepada pihak berwenang. Jika tidak ada aduan dari korban maka pelaku tidak dapat diproses secara hukum seperti halnya delik biasa. Faktor penghambat lain adalah rasa malu dari korban KDRT jika kasusnya sampai ke ranah hukum. Selain itu, korban juga dapat kehilangan sumber ekonomi keluarga karena suami sebagai pencari nafkah terpaksa menjalani hukuman dan kehilangan pekerjaan. Disisi lain masih kurangnya kesadaran keluarga dalam mendukung dan menolong anggota keluarga yang menjadi korban KDRT. Bahkan adanya pandangan di sebagian masyarakat bahwa bertahan dalam perkawinan meskipun terjadi tindak KDRT dianggap sebagai perbuatan yang “mulia”. Tentu saja hal ini bisa menjadikan KDRT dalam rumah tangga menjadi hal yang wajar untuk dilakukan.

Pencegahan KDRT, Perlu Kerja Bersama

Meski demikian, pencegahan KDRT bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Perlu adanya kerjasama pemerintah dengan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk tidak melakukan “pembiaran” dan “pembiasaan” terhadap perilaku KDRT. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya KDRT terhadap perempuan dan anak dengan sosialisasi dalam membangun kesadaran setiap orang tentang dampak negatif perilaku KDRT, melakukan edukasi terkait sanksi bagi para pelaku KDRT, mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang terjadi di sekitarnya, peningkatan pengetahuan terkait menciptakan rumah tangga yang harmonis melalui dari pendidikan agama yang dilakukan pada saat pembinaan calon pengantin (catin) untuk pengantin beragama Islam, bimbingan pra-nikah di Gereja untuk pengantin beragama Kristen, dan bimbingan serupa untuk agama lainnya serta optimalisasi pengaduan dan penanganan korban KDRT melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di berbagai provinsi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image