Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Garnisa Pramesti

Sampai Kapan Perempuan Dihantui Kekerasan?

Curhat | Tuesday, 04 Jan 2022, 10:50 WIB
Ilustrasi Kekerasan terhadap Perempuan. Photo by istock.com

Perempuan makhluk lemah. Ujaran itu terkadang masih terdengar di telinga banyak orang hingga saat ini. Generalisasi bahwa perempuan makhluk yang lemah membawa banyak pengaruh bagi kehidupan perempuan di dunia nyata. Berbagai kasus timbul yang melibatkan perempuan sebagai korbannya, terutama perihal kekerasan. Fisik, verbal, non verbal, bahkan seksual menjadi bentuk kekerasan yang sering dialami perempuan dari orang yang tidak bertanggung jawab. Berbagai peraturan demi menekan angka kasus kekerasan nyatanya belum menjadi solusi manjur apabila melihat data kekerasan hingga saat ini. Lantas, sampai kapan kekerasan terus menghantui perempuan?

Bulan November menjadi bulan yang ramai muncul perbincangan mengenai kasus kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Dimulai dari munculnya kasus pelecehan mahasiswa Universitas Riau yang mana pelaku merupakan seorang dosen sekaligus dekan fakultas yang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Kejadian berawal ketika mahasiswa bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) mendatangi tersangka untuk keperluan bimbingan skripsi. Saat itulah kejadian – kejadian tak mengenakkan dilakukan tersangka kepada korban, yang menyebabkan korban ketakutan. Kasus ini muncul dan langsung menyita perhatian publik karena sangat merendahkan akademisi sekaligus perguruan tinggi. Seorang akademisi yang seharusnya dapat bijak untuk menjadi pendidik yang baik, justru berbalik menjadi pelaku tindakan kekerasan dan pelecehan mahasiswanya.

Berlanjut ke kasus yang sedang hangat diperbincangkan di media adalah seorang istri bernama Valencya yang dituntut 1 tahun penjara akibat memarahi suaminya yang pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Sebelumnya juga sang isteri telah mendapat perlakuan penelantaran istri dan anak oleh suaminya yang mana sang suami telah ditetapkan menjadi tersangka pada Desember 2020 atas kasus tersebut. Akan tetapi, sang suami menuntut balik Valencya atas kasus KDRT psikis, dan menyebabkan hukuman 1 tahun penjara untuk Valencya. Sontak hal ini menjadi perhatian publik karena ketidakadilan yang menjerat korban. Hak dan kewajiban istri yang mana harus tetap menjaga keutuhan keluarga, justru malah berbalik menjadi hukuman yang jenaka. Terlihat bahwa hukum tidak bekerja sepatutnya untuk melindungi mereka yang tertindas dalam kasus ini.

Satu hal lagi yang pernah memicu kemarahan publik di media sosial adalah pernyataan seorang lelaki tentang tanggapannya mengenai wanita. Lelaki tersebut menyatakan bahwa wanita di matanya hanya sebagai ‘objek’ untuk memuaskan hasrat nafsunya. Pernyataan yang jelas melecehkan perempuan ini langsung mendapat banyak kecaman dari publik khususnya netizen. Banyak komentar netizen yang menyatakan kemarahannya, dan menyayangkan pernyataan tersebut karena termasuk dalam perbuatan kejahatan dalam bentuk verbal.

Dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa perempuan masih menjadi makhluk yang tertindas, baik fisik maupun non fisik. Miris? pastinya sangat miris. Di saat kesetaraan gender sudah mulai disuarakan, namun nyatanya hal dasar tentang menghargai perempuan saja belum terwujud di negara ini. Berbagai permasalahan mengenai kekerasan dan pelecehan bukan merupakan hal baru. Seharusnya, semakin berkembangnya jaman, bukan berarti semakin lumrah pula kasus kekerasan yang terjadi.

Ketika berbicara kekerasan, tidak melulu soal pukul memukul, dorong mendorong, dan tinju meninju. Bentuk kekerasan ini nyatanya berkembang menjadi banyak wujud. Kekerasan fisik, seksual, psikis contohnya. Ketiga bentuk kekerasan itu menjadi kasus – kasus seirus yang perlu ditindaklanjuti. Berbagai usaha tentunya perlu dilakukan demi menekan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Seperti keharusan pembentukan regulasi yang paten dan tegas terkait pelanggaran – pelanggaran kekerasan terhadap perempuan. Permendikbud No. 30 yang baru saja dikeluarkan harusnya dapat menjadi regulasi mendukung untuk menekan angka kasus kekerasan di perguruan tinggi. Regulasi harus dibuat sedemikian rupa agar tidak terjadi perdebatan. Tak hanya itu, regulasi bukan hanya soal aturan tertulis untuk diakui saja, namun harus menjadi perlindungan atas kasus yang sudah terjadi. Hukuman dan sanksi pun harus jelas dan tegas bagi mereka para oknum tak bertanggung jawab. Aparat penegak hukum harus tajam dalam menindak siapa yang menjadi penindas, dan harus senantiasa melindungi siapa yang tertindas.

Tak hanya regulasi, pemahaman akan menghormati sesama juga penting dipahami oleh setiap manusia. Baik laki – laki maupun perempuan seharusnya memiliki pemahaman akan saling menjaga kehormatan demi kenyamanan bersama. Tentunya pemikiran dan pemahaman ini perlu dibangun di setiap orang melalui berbagai cara, salah satunya adalah gerakan. Saat ini muncul banyak pergerakan – pergerakan akan perlindungan perempuan yang menjadi wadah aspirasi perempuan untuk saling melindungi. Gerakan – gerakan ini harus didukung positif oleh berbagai elemen di masyarakat, termasuk oleh lembaga – lembaga besar yang menaung.

Tidak ada lagi istilah perempuan makhluk lemah yang membuat makna perempuan tidak bisa berbuat apa – apa. Tak boleh lagi ada pandangan perempuan sebagai objek pemuas hasrat. Masyarakat yang bijak akan senantiasa menghargai siapapun, tak terkecuali.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image