Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfiah Suhaila Hutagalung

Hukuman Cambuk dan Relevansinya dengan Hukum Islam

Agama | Friday, 01 Dec 2023, 22:22 WIB
(Ilustrasi/Thinkstock)

Hukuman cambuk dalam bahasa arab disebut jald berasal dari kata jalada yang berarti memukul,dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Jadi, hukuman itu sangat terasa dikulit meskipun sebenarnya ia lebih ditujukan untuk membuat malu dan mencegah orang dari pada berbuat kesalahan dari pada menyakitinya. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa orang yang dihukum cambuk tidak disuruh membuka pakaian sama sekali, tetapi hanya diminta untuk menanggalkan pakaian yang tebal yang dapat menahan pukulan. Ini juga disebutkan oleh Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa orang yang dihukum cambuk harus memakai pakaian dalam, sepotong atau rangkap. Dalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa sebaiknya bagian tubuh yang didera bukan hanya satu tempat, melainkan dibeberapa tempat dengan tujuan agar tidak mengakibatkan luka pada suatu tempat tertentu. Walaupun demikian harus dijaga jangan sampai memukul muka dan kemaluan.

Hukuman cambuk ini disebut dalam Al-Qur’an surat An-nur ayat 2 dan 4 untuk tindak pidana zina, dan dalam beberapa hadist untuk pidana khamar (minuman keras) dan ta‘zir. Jumlah sebatan yang disebut untuk zina adalah 100 kali. sedangkan terhadap pidana qadzaf (menuduh orang lain berzina) adalah 80 kali. untuk hukuman terhadap pemabuk berdasarkan beberapa hadist ialah 40 kali. Namun, pada masa Khalifah Umar, hukuman 40 kali ini justru ditambah menjadi 80 kali. Rupanya Umar melihat bahwa cambuk 40 kali itu tidak mempan lagi dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat seperti Ali dan mereka sepakat menetapkan cambuk 80 kali bagi peminum khamar. Pelaksanaan hukuman cambuk dalam hukum Islam berbeda-beda jumlah bilangannya. Seseorang yang meminum khamar, hukumannya adalah dipukul atau cambuk. Para ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa digunakan beberapa alat antara lain tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya atau disebut hukuman hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tata caranya sudah diatur oleh Allah SWT.

Rasulullah Saw. bersabda, siapa yang minum khamar maka pukullah. Hadis ini termasuk jajaran hadist mutawatir. Ditingkat sahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang sahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas’ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menentukan jumlah pukulan. Jumhur Ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Sayyidina Ali ra., Bila seseorang minum khamar maka akan mabuk, bila mabuk maka meracau, bila meracau maka tidak ingat, dan hukumannya adalah 80 kali cambuk. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra. berkata, Rasulullah Saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali, Abu Bakar juga sama sebanyak 40 kali cambuk bagi peminum khamar. Sedangkan Utsman 80 kali cambuk, dan kesemuanya itu adalah sunnah. Sedangkan Imam Asy-Syafi`i ra. berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk sebanyak 40 kali. Dasarnya adalah hadist Rasulullah Saw. dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. Mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali.

Diriwayatkan bahwa pada suatu saat Rasulullah akan menjilid seseorang, lalu diberikan kepada beliau cambuk yang kecil. Maka beliau meminta cambuk yang agak besar. Lalu beliau menyebutkannya terlalu besar dan menyatakaan cambuk yang pertengahan diantara keduanya itulah yang digunakan. Maka dapat disimpulkan bahwa untuk hukuman cambuk harus digunakan cambuk yang sedang. Disamping itu juga diisyaratkan bahwa cambuk tersebut ekornya tidak boleh lebih dari satu, apa bila lebih dari satu ekor maka jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyak ekor cambuk tersebut. Hukuman tidak boleh sampai menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum, Karena hukuman ini bersifat pencegahan. Karena itu hukuman tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan panas terik atau cuaca yang sangat dingin. Demikian pula hukuman tidak dilaksanakan atas orang yang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang sedang hamil sampai ia melahirkan.

Di sisi lain , penerapan UU Cambuk selanjutnya menimbulkan kontroversi dan perpecahan di tengah masyarakat . Beberapa orang bertanya apakah hukum cambuk sejalan dengan hukum Islam dan relevan . Ringkasnya , ada banyak poin penting yang harus dipertimbangkan sehubungan dengan legitimasi hukum Cambuk dari sudut pandang Islam .

Menurut catatan sejarah , cambuk bukanlah satu - satunya jenis hukum yang diterapkan dalam ajaran Islam klasik. Dalam fikih terdapat berbagai jenis hukuman ta’zir yang digunakan untuk menetapkan hukum bagi pelakunya , seperti hukuman penjara , denda , dan hukuman mati pada suatu perkara tertentu. Cambuk hanyalah salah satu jenis hukum ta'zir , dan sifat nya tidak mutlak harus diterapkanPara ulama juga menganjurkan asas keadilan dan kemaslahatan dalam menafsirkan hukum Ta'zir. Hakim diberikan insentif untuk memilih hukuman yang paling adil dan memberikan manfaat sesuai dengan kondisi pelaku dan keadaan masyarakat . Dari sini, penerapan hukuman cambuk yang seragam untuk beragam kasus jarimah dapat dipertanyakan keadilan dan kemaslahatannya. Sejatinya, hukuman ta'zir perlu disesuaikan dengan konteks jarimah dan pelakunya, bukan seragam cambuk untuk semua kasus. Hukuman juga perlu mempertimbangkan aspek perbaikan dan pencegahan, bukan semata-mata pembalasan.

Menurut Tgk. Faisal Ali yang merupakan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, pada dasarnya melakukan hukuman cambuk di dalam penjara tidak bertentangan dengan hukum Islam, selama dilakukan di depan masyarakat umum. Begitu juga tidak bertentangan dengan hukum kenegaraan. Apabila ada kekhawatiran dari Pemerintah dalam pelaksanaan hukuman cambuk di tempat umum seperti difoto oleh masyarakat dan dilihat oleh anak-anak maka itu saja yang seharusnya dibenahi, bukannya memindahkan lokasi pelaksanaan hukuman cambuk ke penjara. Selain itu, pelaksanaan hukuman cambuk yang terbuka dan difilmkan serta viral di media sosial juga bertentangan dengan prinsip Islam. Di hadapan khalayak ramai, tercambuk melanggar martabat dan kerahasiaan individu. Ini justru dapat memicu penghinaan dan pelecehan terhadap terhukum. Padahal dalam kaidah fikih dinyatakan "menolak bahaya (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan". Jika publikasi hukuman cambuk justru memunculkan mafsadah yang lebih besar, maka harus dihindari.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan hukuman cambuk masih menyisakan polemik dan perlu dikaji ulang relevansinya dengan nilai-nilai syariat Islam. Pemerintah perlu lebih bijak dalam merumuskan jenis hukuman yang proporsional untuk setiap kasus pelanggaran, dengan tetap memelihara prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan sebagaimana diajarkan dalam hukum Islam. Dengan demikian, penerapan syariat Islam dapat benar-benar mewujudkan rasa keadilan dan kedamaian di tengah masyarakat, bukan malah menimbulkan polemik dan pandangan negatif dari publik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image