Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image rahmatia rahel

Menghadapi Isu Dunia Penerbitan Indonesia

Sastra | 2022-01-03 21:02:43

Seiring dengan teknologi yang terus berkembang, penerbit buku di Indonesia harus menghadapi berbagai isu yang di antaranya merupakan plagiarisme, minat baca, hingga penerbitan terhadap kualitas isi buku. Isu terakhir merupakan fokus yang akan dibahas dalam artikel ini.

Berjalan-jalanlah ke toko buku dan perhatikan deretan buku terlaris bulan ini. Pengunjung akan mendapati banyak bacaan novel populer yang menjadi mayoritas buku terlaris, dan beberapa di antaranya dilengkapi dengan poster film yang akan diadaptasi dari novel tersebut. Mayoritas novel-novel populer yang diterbitkan adalah cerita dari Wattpad yang merupakan layanan situs web dan aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk menulis cerita sehingga dapat dibaca oleh masyarakat luas. Hal tersebut terpampang jelas dari cover buku yang bertuliskan “Telah dibaca sekian juta kali di Wattpad.”

Banyak cerita-cerita Wattpad yang laris, akhirnya dilirik dan diterbitkan oleh penerbit buku. Penerbitan cerita wattpad ini mulai terkenal sejak 2015 terhadap salah satu karya penulis asal Jakarta. Lalu dalam waktu beberapa tahun setelahnya, penerbitan cerita Wattpad memiliki pasar yang menjanjikan—terlihat dari semakin maraknya novel-novel adaptasi cerita wattpad di toko-toko buku.

Lalu, apakah posisi novel wattpad sebagai novel populer akan mendapatkan posisinya sendiri dalam khazanah karya sastra? Atau sebaliknya, penerbitan fiksi populer yang marak sebenarnya adalah isu bagi penerbitan Indonesia?

Sejauh ini fiksi serius lebih dianggap memberikan sesuatu yang “berguna” bagi pembaca, sedangkan kehadiran fiksi populer sejak awal memang dilakukan untuk memberikan hiburan. Stanton dalam bukunya Teori Fiksi (2012) menyebutkan bahwa memberikan label fiksi serius dan fiksi populer terhadap suatu karya, sama saja dengan memuji dan mengutuk karya tersebut.

Meski begitu, sastra populer yang merupakan “hiburan” jelas tidak selalu buruk. Hal ini terbukti dari adanya novel Laskar Pelangi Andrea Hirata, Lupus milik Hilman Hariwijaya, hingga Cintaku di Kampus Biru milik Ashadi Siregar. Hal ini menandakan bahwa fenomena sastra populer bukan hal yang baru, dan sastra populer yang merupakan “hiburan” tidak selalu menjadi karya yang buruk.

Namun, fenomena maraknya novel populer adaptasi wattpad layak mendapatkan perhatian dan analisis. Maraknya fiksi populer harus diiringi dengan pengenalan baik-buruknya karya tersebut bagi para pembaca. Aprinus Salam dalam tulisannya “Posisi Fiksi Populer di Indonesia” (2002) memberikan tiga kecenderungan yang ditawarkan fiksi populer bagi para pembacanya.

Pertama, fiksi populer hanya melegitimasi hal-hal yang dianggap benar oleh masyarakat kelas atas atau masyarakat mapan. Kedua, fiksi populer cenderung menjual selera keinginan dan mimpi yang sedang tren. Ketiga, pembaca yang menyukai fiksi populer memiliki imajinasi pemberontakan atas kehidupan yang mereka jalani.

Dalam fenomena maraknya fiksi populer adaptasi wattpad ini, kecenderungan kedua lah yang paling relevan. Fiksi populer hasil tulisan Wattpad cenderung menjual selera dan mimpi yang dihasilkan dari tulisan stereotipe dan angan-angan yang itu-itu saja. Misalnya, kisah yang paling laris dan banyak beredar adalah kisah cinta anak remaja dengan anak lelaki berkarakter dingin, tetapi tampan dan kaya. Karya fiksi ini mendorong remaja-remaja perempuan memiliki berangan-angan menjadi penakluk karakter dingin tersebut.

Bukan hanya itu, kecenderungan kedua mengenai menjual selera keinginan dan mimpi yang sedang tren, membuat para penulis berlomba-lomba menuliskan hal serupa, dan kemudian penulis tak jauh dari sekadar buruh bagi penerbit buku. Hal ini sejalan dengan pernyataan Aprinus Salam (2002) bahwa tren tertentu dari sebuah bacaan hanya menjadikan masyarakat dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan pemilik modal.

Fenomena fiksi populer dari tulisan Wattpad ini bisa dianalogikan seperti tren sebuah baju. Semakin banyaknya orang yang minat dengan tren suatu pakaian, semakin banyak pula toko baju dan penjahit yang dipekerjakan untuk membuat gaya pakaian tersebut. Namun, bedanya, pakaian tidak berhubungan dengan perkembangan moral dan pemikiran seseorang. Maka, menakutkan sekali membayangkan terdapat suatu produksi tren yang memengaruhi pemikiran dan moral suatu bangsa.

IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) dalam artikel VOA Indonesia, mencatat pangsa pasar buku dalam negeri mencapai sekitar 14,1 Triliun Rupiah. Meskipun Indonesia memiliki jumlah peminat buku yang cenderung sedikit, tetapi data tersebut menyatakan rata-rata orang Indonesia membeli dua judul buku setiap tahun. Tak hanya itu, IKAPI menyatakan ada sekitar 1.300 penerbit di Indonesia dan setengahnya adalah penerbit yang aktif karena mencetak minimal 10 judul buku setiap tahun. Dari data ini, jelas bahwa dengan menggaet penulis wattpad, penerbit buku memiliki peluang besar untuk memiliki bayangan pasarnya sendiri.

Kebebasan dan peluang yang dimiliki penerbit buku terhadap “bayang-bayang pasar” yang mereka miliki, mengingatkan kita terhadap sejarah penerbitan buku di era Kolonial dan Soeharto. Terjadinya pengetatan penerbitan buku di era Kolonial saat penerbitan buku mendapatkan kontrol melalui manajemen Balai Pustaka yang berisi aturan buku harus netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, dan tidak berpolitik, membuat para pengarang saat itu menanggung julukan “bacaan liar” untuk karya-karya yang tidak memenuhi keinginan dan syarat dari pemerintah kolonial. Tidak berbeda jauh, di era Soeharto, pemerintah juga melakukan pengetatan penerbitan buku untuk urusan politik, mengatasnamakan “Mempertahankan ideologi”, yang membuat pembaca harus membatasi bacaan novel-novel dari sastrawan tertentu.

Mengingat bahwa bangsa kita pernah mengalami sejarah pembatasan penerbitan buku atas kepentingan suatu golongan semata, maka kebebasan penerbitan buku saat ini seharusnya menjadi berkah—baik bagi penulis dan pembaca—untuk dapat lebih meningkatkan kualitas bacaan. Berkah tersebut harusnya dimanfaatkan penebit sebagai mediator gagasan penulis, yang memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan moral dan pemikiran suatu bangsa. Bukan sebaliknya, memberikan yang masyarakat inginkan atas nama hiburan dengan jargon “yang penting menumbuhkan minat baca terlebih dahulu”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image