Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ratna Nisrina Puspitasari

Secangkir Teh yang Mengawali Cerita

Sastra | 2023-11-09 10:10:10
Jill Wellington dari Pixabay)" />
Ilustrasi jamuan teh (Sumber: Gambar oleh Jill Wellington dari Pixabay)

Kepulan teh masih membumbung di atas cangkir. Seduhan teh hangat yang ada di meja menghantarkan pada obrolan panjang. Dua sosok berlawanan jenis memulai perbincangan seru. Seolah sudah saling mengenal lama. Padahal, baru kali ini dapat berjumpa langsung. Setelah janji temu yang disanggupi melalui pesan singkat, mereka sepakat bertemu.

Sejak pertama kali pesan singkat laki-laki di depanku ini kuterima, hanya ada rasa was-was dan curiga. Kebiasaan yang tak pernah sedikitpun berubah. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Bertanya-tanya siapakah gerangan dirinya. Mengapa bisa mendapatkan nomor teleponku.

Berbagai pemikiran aneh singgah di kepalaku. Sayangnya, tak ada satu pun pemikiran positif tentangnya. Terkadang, aku sendiri bertanya-tanya mengapa selalu seperti itu. Takut menjadi kebiasaan yang tertanam kuat. Rasa-rasanya hidup jadi selalu was-was, kurang tenang.

Sekelebat pemikiranku buyar. Suara sapaan laki-laki di depanku membuyarkan segala prasangka sesaat.

“Permisi, betul ini dengan rumah Dik Diana?” ucapnya dengan sedikit ragu. Mungkin tak yakin dengan alamat yang dituju.

“Betul, dengan saya sendiri. Dengan Mas Adi ya?” tanyaku memastikan. Ragu dengan nama yang kumaksud. Jangan-jangan bukan dia laki-laki yang kujanjikan pertemuan. Jujur saja, aku sendiri tak paham rupa wajahnya. Hanya berkirim pesan tak lantas paham akan siapa sosok dirinya.

“Silakan masuk Mas,” kupersilakan dirinya masuk. Tak ingin membuat dia berdiri terlalu lama. Dilihat dari manapun juga, dia adalah tamu yang harus kuhormati. Terlepas bagaimana dirinya nanti, hal pertama yang harus kulakukan adalah menjamunya dengan layak dan hormat.

“Maaf ya Dik, sudah menganggu waktumu,” ujar Mas Adi begitu tubuh tingginya menyentuh kursi tamu di ruangan ini. Pembicaraan dimulai dengan sebuah permintaan maaf. Sebenarnya tak ada yang salah, aku sendiri tak merasa terpaksa dengan pertemuan ini. Aku pikir, pertemuan ini memang perlu.

Aku sendiri tak biasa berteman dengan seseorang tanpa memastikan bagaimana sesungguhnya orang tersebut. Bertukar pesan melalui media sosial tanpa mengenal sudah pasti bukan kebiasaanku. Sebagian teman menganggapku kolot dan kuno. Tidak masalah apa pendapat mereka. Bagi diriku, memastikan sifat seseorang sebelum memutuskan berteman adalah sebuah prinsip. Tidak paham sejak kapan prinsip itu mengakar di diriku Mungkin sepaket saja dengan kepribadianku yang cenderung kaku, monoton, dan membosankan. Sifa-sifat yang disematkan oleh teman-teman pada diriku.

“Santai saja Mas, saya sendiri tak merasa terganggu,” jawabku mencoba meredakan kecanggungan yang ada diantara ruangan yang sepi. Maklum, aku sendiri tinggal bersama Bibiku. Kebetulan beliau sedang ada hajatan di komplek sebelah. Hanya ada aku dan sepupuku di rumah ini.

Tak berselang lama, dua cangkir teh diantarkan oleh sepupuku. Kepulan muncul dari dalam cangkir, pertanda kehangatan dari apa yang ada di dalamnya.

“Silakan dinikmati sambil mengobrol Mas. Ngga perlu sungkan.”

“Iya Dik.”

“Kalau boleh tahu, ada perlu apa menemui saya ya Mas? Saya sendiri belum begitu mengenal sampeyan. Mungkin ada hal penting yang perlu dibicarakan,” tanyaku dengan berani, langsung pada intinya, tak ingin terlalu lama berbasa-basi.

“Hanya ingin kenalan saja Dik, mungkin kita bisa jadi teman baik.”

“Begitu ya boleh saja Mas. Lagi pula saya orang baru di sini, tak begitu banyak teman yang bisa saya jumpai di sini.”

Aku setuju saja dengan tawaran pertemanan darinya. Sambil sibuk menyelidik. Aku coba mengingat-ingat siapa tahu pernah mendengar siapa dirinya.

“Ngomong-ngomong, dapat nomor saya dari siapa Mas?” tanyaku dengan hati-hati dan penuh selidik.

“Dari grup chatting, aku satu grup sama kamu Dik.”

“Wah grup apa Mas?”

“Grup lowongan kerja, kamu kan juga ada di situ,” ujarnya dengan yakin.

Jawaban darinya membuatku teringat sesuatu. Jika dia satu grup denganku, berarti teman dan kenalanku di grup itu kemungkinan besar paham bagaimana sebenarnya Mas Adi ini. Sebagian kenalanku memang asli sini, mungkin hanya aku saja yang berasal dari luar daerah.

Lewat grup yang dimaksud ini pula aku mendapatkan info-info lowongan kerja. Media yang cukup membantu, namun sekaligus membuatku was-was. Maklum saja, banyak orang yang tergabung di grup ini dengan berbagai niat, bukan hanya untuk mencari info lowongan kerja, namun niat-niat lain yang tak kuketahui.

“Oh ya? Wah saya sendiri tidak begitu mencermati siapa saja yang ada di grup, kebetulan sekali ya,” timpalku mencoba menanggapi jawaban Mas Adi.

“Maaf sebelumnya kalau saya lancang. Sebenarnya ada apa gerangan Mas Adi sampai menyempatkan menemui saya? Kalau hanya sekadar berkenalan, mungkin melalui pesan saja cukup,” tanyaku mencoba menyelami maksud kedatangannya, sekaligus mengulang pertanyaan di awal.

“Tolong jangan salah paham. Benar niatanku tadi. Aku hanya ingin berteman, tak bermaksud lain. Namun jujur saja, aku dalam tahap mencari pasangan hidup dan aku tertarik padamu Dik.”

“Maksud Mas Adi bagaimana ya?”

“Mungkin seiring berjalannya waktu, aku akan membawa hubungan kita ke tahap yang lebih serius Dik.”

“Apa perkataan Mas tadi tidak terlalu terburu-buru? Saya rasa kita berdua belum lama saling mengenal. Itupun hanya melalui pesan singkat lewat handphone. Sekiranya hal apa yang membuat Mas tertarik kepada saya?” selidikku penuh tanya.

“Mas merasa kamu orang yang tepat Dik. Bisa jadi istri yang baik. Entah sejak kapan Mas sangat mencintaimu Dik. Tak pernah ada rasa seperti ini terhadap perempuan yang Mas kenal sebelumnya selain kepadamu Dik. Selain itu

“benar seperti itu yang Mas Adi rasakan terhadap saya?”

“Sungguh Dik, Mas sayang sekali terhadapmu. Kalau kamu belum siap dengan niatan Mas tadi, kita bisa pacaran dulu Dik. Mungkin perlu waktu untuk mengenal luar dan dalam.”

Namun, aku tak begitu percaya dengan perkataan Mas Adi begitu saja. Di zaman sekarang, percaya kepada orang asing itu bagaikan berjudi. Iya kalau baik? Kalau tidak? Siapa pula yang akan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari.

Apalagi mengingat diriku adalah seorang perempuan. Perlu berjaga-jaga terhadap laki-laki yang baru dikenal. Pantang bagiku percaya begitu saja terhadap mulut manis mereka. Kaum kita ini bagaikan bunga, pasti banyak kumbang yang tertarik untuk hinggap. Hati-hati, itu satu dari beberapa prinsip yang kutetapkan.

Bukan bermaksud sombong. Ini adalah bentuk rasa sayang dan perlindungan terhadap diri sendiri.

“Kalau saat ini saya mengiyakan niatan Mas tadi. Sanggupkah Mas membawa saya ke hadapan orang tua Mas Adi saat ini juga?”

“Hmm mungkin tidak sekarang Dik. Aku memang serius, namun tak bisa aku membawamu langsung saat ini ke hadapan orang tuaku. Namun aku janji akan segera mempertemukanmu dengan orang tuaku jika waktunya tiba.”

Ah aku paham bagaimana sebenarnya laki-laki di hadapanku ini. Hanya berani di mulut saja, namun tak berani mewujudkan secara nyata. Selain itu, rayuan Mas Adi sungguh maut, bagi wanita yang tak sadar pasti langsung mabuk kepayang.

Jawaban Mas Adi sekaligus menjadi penutup pembicaraan kami hari ini. Tidak berselang lama, ia pamit undur diri. Ia beralasan sudah ada janji temu dengan teman sekantornya. Apapun alasannya terserah saja, aku tidak begitu peduli.

***

Sudah seminggu sejak pertemuan terakhirku dengan Mas Adi. Sesekali ia masih berkirim pesan denganku. Namun ada fakta yang tidak kalah penting. Kecurigaanku terhadapnya menemui titik terang.

Salah seorang temanku, Siska namanya, yang sama-sama berada di grup chatting denganku memberikan info tentang Mas Adi. Sebenarnya tidak begitu mengherankan bagiku. Prasangkaku terbukti, ia bukan laki-laki yang cukup baik nyatanya. Sudah ada beberapa korban yang terjerat dengan mulut manisnya.

Modusnya sama, berpura-pura serius dengan wanita agar luluh dan dengan mudah diperdaya. Ia memanfaatkan wanita dengan berbagai bentuk. Salah satu yang sering adalah berpura-pura meminjam uang untuk pengobatan orang tuanya. Siapa wanita yang tidak luluh dengan alasan seperti itu. Apalagi jika sudah terlanjur cinta. Sungguh, wanita yang sudah mencintai terlalu dalam pasti akan percaya begitu saja.

Satu informasi dari teman tidak lantas membuatku percaya. Aku mencoba untuk mencari kesaksian yang lain. Hingga temanku Hamzah, salah seorang teman sekantor juga menceritakan hal yang sama persis. Jujur saja sedikit terkejut karena Hamzah ini ternyata sekampus dengan Mas Adi walau beda angkatan.

Dari Hamzahlah aku mendapat keterangan yang detail tentang perilaku Mas Adi. Ternyata ia tidak segan menyewa orang untuk berpura-pura mengaku sebagai orang tuanya. Aku hanya tertawa saat mendengar cerita dari Hamzah, sedikit geli juga dengan totalitas yang dilakukan Mas Adi.

Pertemuanku dengan Mas Adi adalah pelajaran berharga untukku. Meskipun awalnya tidak begitu percaya, namun aku punya niat untuk mencoba percaya dengannya. Aku tidak habis pikir, ia bisa merencanakan skenario dengan serapi itu. Aktingnya patut diacungi jempol, sungguh meyakinkan. Aku hampir terperdaya sesaat. Lain waktu, aku akan menyarankannya untuk ikut audisi film saja. Sepertinya ia lebih cocok jadi aktor daripada kerja di kantor.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image