Perilaku Self-harm pada Remaja: Bagaimana Mengatasinya?
Parenting | 2023-11-08 15:01:36Kasus Self-Harm pada Remaja
Kasus menyakiti diri (self-harm) di Indonesia cukup memprihatinkan setelah baru-baru ini terungkap kasus self-harm yang terjadi di kalangan remaja SMP di Bengkulu Utara, sebanyak 53 siswa secara massal menyayat tangan. Demikian pula sebanyak 49 remaja putri di daerah Karangasem-Bali melakukan tindakan menyakiti diri sendiri (self-harm).
Temuan Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan pada Oktober 2023, menunjukkan ada sebanyak 76 siswa SMPN di Kabupaten Magetan melukai diri dengan menyayat anggota tubuh menggunakan benda tajam seperti pecahan kaca, jarum hingga penggaris. Sungguh miris membaca berita terkait banyaknya perilaku self-harm dikalangan remaja saat ini.
Sebuah penelitian survei yang dilakukan Liem, dkk (2022) pada bulan Mei-Juni 2021 dengan melibatkan sebanyak 5.211 partisipan dari 34 provinsi di Indonesia menemukan hasil 39,3% partisipan melakukan tindakan menyakiti diri dan keinginan bunuh diri. Selama pandemi sebanyak 4 dari 10 orang Indonesia mengalami tindakan menyakiti diri sendiri dan keinginan bunuh diri. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) menunjukkan bahwa sebanyak 6,2% remaja usia 15-24 tahun mengalami depresi. Kasus menyakiti diri sendiri (self-harm) hingga bunuh diri cenderung dilakukan penderita depresi dan kecemasan. Di Indonesia, kasus bunuh diri yang diakibatkan depresi atau kecemasan dapat mencapai 80-90%. Artinya, setiap satu jam terjadi kasus bunuh diri di Indonesia.
Tindakan self-harm jelas membahayakan kesehatan fisik remaja. Sudah bisa dipastikan ini menandakan adanya kesehatan mental yang terganggu. Secara fisik akan melukai anggota tubuh yang jika dilakukan berulang akan mengakibatkan luka permanen, dapat menambah keluasan area yang dilukai dan keparahan luka.
Secara kesehatan mental menandakan bahwa remaja kurang dapat mengelola emosi dan perasaanya, serta tidak dapat mengatasi rasa kesepian. Jika dilakukan berulang dapat menimbulkan kecanduan terhadap perilaku self-harm ini serta dapat berujung pada tindakan bunuh diri. Pertanyaannya adalah mengapa remaja melakukan self-harm? Padahal mereka adalah calon generasi emas yang akan menjadi subjek utama pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.
Kenali Self-harm pada Remaja
Self-harm menurut Australian health advice (2023) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyakiti diri sendiri, tapi tidak dilakukan untuk mencoba bunuh diri. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengendalikan atau mengekspresikan beban perasaan atau pikiran. Pada umumnya perilaku ini dilakukan dengan diam-diam dan tidak ingin diketahui orang lain. Self-harm dapat dilakukan dalam bentuk perilaku seperti menyakiti diri atau membakar atau memukul diri sendiri serta perilaku lain yang menyakiti diri.
Alasan perilaku menyakiti diri sendiri kebanyakan adalah karena adanya beban perasaan dan pikiran yang sangat berat yang tidak dapat diceritakan pada orang lain, adanya rasa bersalah dan keinginan untuk menghukum diri sendiri. Temuan konsisten dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi yang kurang baik dalam keluarga dan latar belakang keluarga yang kurang harmonis menjadi salah satu penyebab remaja melakukan self-harm (Maidah, 2013; Asyafina & Salam, 2022; Afrianti, 2020).
Pentingnya Peran Fungsi Keluarga dalam Penanganan Self-harm pada Remaja
Temuan penelitian di atas menunjukkan bahwa peran keluarga sangat penting dalam perkembangan remaja. Hal tersebut sesuai dengan tujuan berkeluarga antara lain adalah memelihara eksistensi manusia; mewujudkan ketentraman, cinta dan kasih sayang’ pemeliharaan diri dan menjaga nilai-nilai religius dalam keluarga.Tujuan ini ternyata belum sepenuhnya tercapai ketika remaja memiliki masalah kesehatan mental.
Demikian pula dengan fungsi keluarga, jika fungsi keluarga berjalan dengan baik dapat menghindarkan anggota keluarga terutama anak dari gangguan kesehatan mental. Berdasarkan BKKBN, terdapat 8 fungsi keluarga meliputi fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, serta pembinaan lingkungan. Dalam fungsi keluarga menurut BKKBN, sudah sangat lengkap dijabarkan fungsi keluarga untuk memberikan cinta kasih, melindungi semua anggota keluarga termasuk anak, mengasuh dan mendidik anak dengan baik, menanamkan nilai-nilai agama keyakinan pada pencipta, dan masih banyak lagi dapat diaplikasikan dalam kehidupan keluarga.
Penanganan masalah perilaku self-harm ini tentunya memerlukan kerja sama berbagai pihak yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Edukasi untuk keluarga dengan anak remaja perlu digalakkan kembali sebagai program pemerintah dan komunitas masyarakat setempat. Begitu juga edukasi kepada remaja mengenai pentingnya menyayangi diri dan menghindari perilaku menyakiti diri. Sekolah dan pemerintah juga dapat menyediakan program-program untuk remaja serta sarana prasarana yang mengakomodir kebutuhan remaja untuk eksplorasi minat dan bakatnya.
Simpulan
Dari paparan temuan di atas, sudah saatnya setiap keluarga dengan dukungan penuh dari pemerintah, mulai melakukan pengecekan ulang, sejauh mana pelaksanaan fungsi keluarga tersebut. Hal ini menjadi masalah yang sangat urgen, mengingat keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, menjadi aktor penting dalam membentuk generasi yang berkualitas. Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi pemicu semua pihak agar lebih fokus untuk menangani permasalah remaja (tidak hanya kasus self-harm, namun kasus-kasus lainnya yang juga mengiringinya), dengan penguatan pada keluarga-keluarga Indonesia.
Penulis :
Ir. Hj.Tuti Elfita, M.Sc
Pemerhati Perempuan, Keluarga dan Anak
Ketua Departemen Kajian BPKK DPP PKS
Referensi:
Afrianti, R. (2020). Intensi menyakiti diri remaja ditinjau berdasarkan pola komunikasi orang tua. Mediapsi, 6(1), 37-47.
Australian health advice. (2023). Self-harm. https://www.healthdirect.gov.au/self-harm
Bronfenbrenner and Morris, The Ecology of Developmental Processes. In W. Damon(Series Ed.) & R. M. Lerner (Vol. Ed.), Handbook of Child Psychology: Vol. 1: Theoretical Models of Human Development,(New York: Wiley, 1998), h. 234
Georgas, J., Mylonas, K., Bafiti, T., Poortinga, Y. H., Christakopoulou, S., Kagitcibasi, C., ... & Kodiç, Y. (2001). Functional relationships in the nuclear and extended family: A 16‐culture study. International Journal of Psychology, 36(5), 289-300.
Liem, A., Prawira, B., Magdalena, S., Siandita, M. J., & Hudiyana, J. (2022). Predicting self-harm and suicide ideation during the COVID-19 pandemic in Indonesia: a nationwide survey report. BMC psychiatry, 22(1), 1-10.
Asyafina, N., & Salam, N. E. (2022). Fenomena Mahasiswa Pelaku Self Harm di Kota Pekanbaru. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(3), 13930-13936.
Maidah, D. (2013). SELF INJURY PADA MAHASISWA (STUDI KASUS PADA MAHASISWA PELAKU SELF INJURY). Developmental and Clinical Psychology, 2 (1) 6-13.
JawaPos.com, Jumat, 20 Oktober 2023.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.