Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Solidaritas Sampai Kemerdekaan Untuk Palestina

Politik | Wednesday, 08 Nov 2023, 03:42 WIB

Kutukan yang paling keras sudah dialamatkan kepada Israel dari seluruh dunia atas kekejaman yang terjadi di Gaza sejak 7 Oktober lalu. Beberapa pemerintahan, khususnya di Amerika Latin seperti Chile, Bolivia, El Savador, telah menarik duta besarnya dari Israel sebagai bentuk protes. Aksi-aksi massa juga terjadi di berbagai negara. Tapi Israel tidak menghiraukan. Mereka beralasan bahwa militan Hamas berlindung di pemukiman sipil untuk meluncurkan roket dan serangan darat. Dengan alasan itu pengeboman atas sasaran-sasaran sipil tetap mereka benarkan, seburuk apapun dampaknya bagi rakyat Palestina dan anak-anak di Gaza.

Sampai berkali-kali rudal Israel menghantam sekolah-sekolah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), kutukan semakin menggema, Israel tidak setuju gencatan senjata. Klaim Israel bahwa sekolah-sekolah tersebut digunakan sebagai basis peluncuran roket Hamas sesungguhnya sangat tidak masuk akal berhubung fasilitas PBB itu dijamin ‘netral’ sehingga warga Gaza menganggap cukup aman untuk berlindung. Tapi, kutukan bukan hanya layak diberikan manakala rudal tersebut menyasar fasilitas PBB atau rakyat sipil, melainkan karena agresi antar bangsa yang dilakukan.

Satu hal yang perlu dipahami dengan baik, bahwa rentetan kejadian belakangan ini bukan lagi sekumpulan insiden. Bukan karena kesalahan-kesalahan teknis atau human error di lapangan. Bisa dipastikan semua itu disengaja. Disamping masalah kemanusiaan yang sedang mengemuka, ada persoalan hak merdeka bangsa Palestina yang selama ini diinjak-injak oleh Israel.

Bila merunut pada masalah hak kemerdekaan ini, sudah tidak terhitung jumlah rudal Israel yang menghantam Gaza dengan korban sipil dan anak-anak. Bisa jadi Israel menganggap dirinya superior di antara bangsa-bangsa lain sejak memenangi perang Arab-Israel tahun 1948. Bahkan, patut diuji anggapan bahwa Israel memang sengaja melakukan genosida, suatu kerja pemusnahan sistematis atas orang Palestina, agar mereka dapat menguasai sepenuhnya Tanah Palestina.

Tentunya kita tidak menutup mata bahwa di kalangan warga sipil Israel sendiri ada yang menjadi korban serangan Hamas. Tapi ceritanya akan lain bila Israel tidak memblokade Gaza yang menyebabkan penderitaan berlapis bagi rakyat setempat. Dan lebih akan berbeda lagi, bila Israel menghormati Palestina sebagai negara-bangsa yang merdeka dan sedia hidup berdampingan secara damai.

Persoalannya, Israel tidak sendiri dalam sikapnya yang kepala batu itu. Terdapat negara-negara Barat yang membela mereka habis-habisan. Sejak Israel berdiri tahun 1948 sampai sekarang, negara-negara Barat tidak pernah berhenti menyokong Israel dalam berbagai bentuk. Sampai yang terakhir: di Prancis, aksi-aksi solidaritas terhadap Palestina dibubarkan dengan kekerasan. Bahkan, di tengah serangan rudal terhadap anak-anak di Gaza, pemerintah Amerika Serikat (AS) masih berikan bantuan kepada militer Israel sejumlah 226 triliun rupiah.

Banyak pendapat yang menunjuk kekuatan lobby Israel di AS sebagai penyebab sikap pemerintah AS yang terus saja menyokong Israel. Pendapat ini barangkali benar. Tapi, logisnya adalah timbal-balik untuk kepentingan AS sendiri, terutama secara ekonomi-politik. Mengapa ekonomi politik? Karena sumber daya alam (khususnya minyak) dan letaknya yang strategis sebagai wilayah pertemuan antara daratan Asia, Afrika dan Eropa.

AS sebagai pemegang ‘kendali’ wilayah ini paska menang Perang Dunia II membutuhkan Israel sebagai sekutu terpercaya di Timur Tengah. Dan tampaknya lobby ekstremis Israel berhasil meyakinkan elit AS tentang hal ini. Sementara kekuatan yang berada di seberangnya, yang bersimpati terhadap Palestina, seperti gerakan BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi) dan Gerakan Yahudi Damai Untuk Palestina, sebagian besar bukanlah datang dari kalangan yang punya akses lobby ke lingkaran elit politik AS. Tapi gerakan semacam ini terus mendapat dukungan seiring kebrutalan Israel dan pemerintahan mereka yang bungkam dalam kebohongan.

Sampai di sini kita sadari, bahwa satu-satunya cara menghentikan pembantaian di Gaza adalah dengan solidaritas yang sebesar-besarnya dari seluruh dunia, baik rakyat maupun pemerintahan berbagai negara. Solidaritas di sini dalam makna yang sebenar-benarnya, jika punya sedikit waktu bisa melampaui sekedar ucapan prihatin atau pernyataan kesedihan. Solidaritas sebagai sesama umat manusia, sesama penghuni bumi yang diwariskan kepada kita tidak secara gratis, tapi menuntut tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam kerja besar memanusiakan manusia. sebagai bagian dari rakyat Indonesia, kami mendukung sikap pemerintah Indonesia yang mendukung kemerdekaan rakyat Palestina. Bahkan dukungan terhadap kemerdekaan dan keanggotaan di PBB sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak era pemerintahan Bung Karno, namun tentunya dukungan itu jangan hanya berupa mengirimkan bantuan saja. Tapi, bagaimana mengubah peta politik di PBB untuk membegal Amerika Serikat dan Israel agar semakin terkucil dari komunitas Internasional. Kita harus yakin bahwa dukungan bangsa Indonesia terhadap Palestina tidak semata-mata karena persoalan agama, melainkan karena bangsa Indonesia sejak awal gandrung akan kemerdekaan dan menentang terhadap segala penjajahan. Karena, seperti dikatakan Mendiang Hugo Chavez, persoalan Palestina bukanlah soal agama. Soal Palestina adalah soal politik, yakni kolonialisme dan imperialisme. Pembukaan UUD 1945 dengan tegas dan jelas mengatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan, karena semangat gandrung akan kemerdekaan itulah, Indonesia telah menjadi penggagas Konferensi Asia Afrika pada 1955. Kami kira, semangat “Bandung 1955” itulah yang menerangi semangat bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa Asia Afrika dan dunia ketiga lainnya, untuk memerangi kolonialisme dan imperialisme tanpa ampun sedikit pun. Oleh karena itu, kita juga berharap, bahwa politik luar negeri yang seperti ini—sikap terhadap Palestina—harus juga dilakukan dalam hubungan dengan persoalan luar negeri yang lain. Kita sudah harus berani mengatakan, “kita siap bekerja sama dengan bangsa manapun di dunia, tanpa peduli dengan warna ideologi yang dianutnya. Tetapi kita tidak mau didikte oleh bangsa manapun, sekalipun itu adalah negeri-negeri superpower."

Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang kawan dari seberang: para Martir Palestina bukan lah angka, mereka bukanlah korban salah sasaran (colateral damages). Tiap-tiap mereka punya nama, mempunyai wajah, punya keluarga yang menguburkan mereka, punya cerita, tapi yang terpenting adalah punya penyebab, punya tanah yang untuk itu mereka mati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image