Persyaratan dan Kualitas Partai Politik
Politik | 2023-11-06 16:59:44Apa persyaratan partai politik untuk menjadi peserta pemilu? Menurut Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017, persyaratan bagi parpol calon kontestan pemilu, antara lain: memiliki kepengurusan di 100% di tingkat provinsi, 75 % jumlah kabupaten/kota, 50 % jumlah kecamatan, dan 30% keterwakilan perempuan di semua tingkatan. Disamping itu, ada ketentuan parpol harus menunjukkan 1.000 anggota yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota (KTA), memiliki kantor tetap, nomor rekening atas nama parpol, serta nama dan tanda gambar parpol.
Persyaratan di atas tentu sangat berat. Namun, bagi para penyokong regulasi di atas, persyaratan berat di atas itu punya tujuan mulia: menghadirkan parpol dan pemilu yang berkualitas. Logikanya sederhana: proses penyaringan tersebut hanya akan meloloskan parpol yang benar-benar punya struktur dan kepengurusan.
Di sinilah masalah sering muncul. Dalam banyak kasus, pendirian parpol di Indonesia bersifat musiman: biasanya menjelang proses pemilu bahkan pilkada. Biasanya pula, proses perekrutan pengurus dan pembangunan struktur berlangsung sangat serampangan. Tak sedikit calon-calon pengurus diiming-imingi uang dan fasilitas agar bersedia menjadi pengurus. Jadinya, hanya ‘parpol berduitlah’ yang begitu leluasa mendirikan struktur di daerah.
Yang terjadi, kebanyakan struktur kepengurusan parpol itu hanya “papan nama”. Hampir tidak ada kegiatan politik kepengurusan tersebut. Akibatnya, parpol bersangkutan kurang mengakar dengan massa-rakyat di lingkungan sekitarnya. Maklum, ketika berlangsung pemilu dan pilkada, parpol lebih mengandalkan uang ketimbang kerja konkret di tengah massa sebagai alat mengumpulkan suara.
Persyaratan yang berat di atas jelas sangat membebani parpol kelas miskin. Bayangkan, parpol kelas miskin dipaksa harus punya kantor tetap. Biasanya, parpol kelas miskin mengandalkan rumah pengurusnya sebagai kantor. Dengan ketentuan di atas, hanya parpol kelas besar dan kaya-raya lah yang leluasa mendirikan kepengurusan di mana-mana.
Kita lihat, tolak ukur parpol berkualitas di mata penyelenggara pemilu, termasuk sejumlah pengamat politik, adalah kuantitatif. Sedangkan aspek-aspek penting kepartaian, seperti ideologi, kaderisasi, dan program, terlihat tidak begitu dijadikan sebagai tolak ukur. Akibatnya, sekalipun parpol itu sudah ideologis, programatik, dan konsisten bekerja di tengah rakyat marhaen, namun jika belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur UU Pemilu, maka parpol itu akan kehilangan peluang menjadi kontestan pemilu.
Padahal, bagi kita, kualitas parpol tidak bisa diukur hanya dengan kelengkapan kepengurusan. Akan tetapi, yang lebih penting lagi, kehadiran parpol itu harus juga diukur dengan aktivitas politiknya: kaderisasi, pendidikan politik bagi rakyat marhaen, melatih dan menghadirkan kepemimpinan politik, mengartikulasikan kepentingan politik pendukungnya, dan lain-lain.
Satu hal penting lagi: parpol harus berpijak pada basis ideologi masing-masing. Pengelolaan parpol berbasiskan ideologi mengisyaratkan perlunya parpol punya keberpihakan politik yang jelas. Selama ini, seperti kita saksikan dalam dinamika politik di parlemen, ketiadaan basis ideologi menyebabkan parpol dengan seenaknya meloncat ke sana-kemari tanpa tanggung-jawab politik kepada para pemilihnya. Sudah begitu, persoalan-persoalan rakyat marhaen dipandang tak lebih sebagai “komoditi politik”.
Selain itu, persyaratan parpol yang terlampau berat justru membatasi hak politik rakyat marhaen dalam berpolitik. Proses penyederhanaan politik, dengan argumentasi apapun, hanya akan mempersempit artikulasi pilihan politik rakyat. Bukankah salah satu semangat reformasi mei 1998 di bidang politik adalah “demokrasi multi-partai”?
Bagi kami, GmnI Komisariat Universitas Terbuka, kejenuhan rakyat marhaen terhadap parpol bukanlah karena jumlah parpol yang banyak, melainkan karena tidak adanya keberpihakan parpol dalam memperjuangkan kepentingan rakyat marhaen.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.