Negarawan Di Daerah
Politik | 2023-11-06 13:23:30Oleh : Arief Rachman
Percaturan politik di daerah melalui sarana Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak kembali akan dimulai pada tahun 2024. Tahun ini ada berkisar 170 daerah yang akan menggelar Pilkada dimana salah satunya ialah Nusa Tenggara Barat dan setidaknya terdapat empat daerah besar yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Pelaksanaan Pilkada 2024, diyakini akan memanaskan suhu politik yang lebih besar, yakni Pilpres pada tahun 2024.
Sebagai negara yang menerapkan konsep demokrasi desentralisasi, maka republik ini membuka peluang bagi daerah-daerah untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan pilihan masyarakat didaerah tersebut. Meskipun demikian dalam ajang Pilkada tidak sedikit pula partai politik yang gagal dalam melahirkan kader-kader terbaiknya dengan merekrut calon kepala daerah diluar dari kader Partai Politik, tetapi itulah dinamika dalam percaturan perpolitikan, bisa berubah arah di saat detik-detik terakhir. Pelaksanaan Pilkada telah berlangsung lebih kurang 15 tahun, maka sudah saatnya dalam estafet kepemimpinan daerah, menjadi hal yang sangat diharapkan akan tumbuhnya sikap-sikap negarawan dari para calon pemimpin daerah yang terpilih.
Tumbuh suburnya perilaku korupsi yang menghampiri pemimpin-pemimpin di daerah sejak bergulinya Pikada secara langsung menjadi bukti akan belum menumbuhnya sikap negarawan dari pemimpin di daerah. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 - Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Prilaku Korupsi yang berulang kali menjerat kepala daerah tidak lain karena besarnya ongkos dalam mengikuti perhelatan kontestasi politik Pilkada.
Praktik rasuah yang mengemuka di tahun-tahun ini, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. ICW mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20-100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Menjadi pertanyaan besar apakah ajang pilkada mampu melahirkan sosok negarawan di daerah atau justru semakin menumbuhkan prilaku pakem korupsi, yang pada akhirnya akan mengancam pembangunan di daerah.
Menurut hemat penulis, negarawan merupakan figur-figur yang mempunyai visi kenegarawan dengan Futurisme View yang mampu memperhitungkan kepentingan bangsa dan negara untuk kurun waktu yang panjang, jauh kedepan, tidak sekedar untuk jangka pendek secara pragmatis. Dengan demikian, maka sebenarnya sosok negarawan sejati mempunyai visi strategis yang cenderung melihat jauh ke depan bagi kepentingan bangsa dan negaranya, bahkan tanpa pamrih untuk merebut kepentingan pribadinya sesaat. Disamping itu negarawan dibekali dengan analisis yang lebih mendasar (Grounded), tidak sekedar pragmatis apalagi memanfaatkan peluang untuk kepentingan politik diri sendiri atau kelompoknya sebagaimana figur politisi pada umumnya.
Telah menjadi rahasia umum, apabila ajang Pilkada bukan seyogyanya untuk melahirkan sosok para negarawan di daerah. Melainkan hanya ajang memperebutkan jabatan atau sebuah pekerjaan hingga proyek prestisius di daerah. Hal ini dapat kita lihat dari pencalonan seseorang untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Proses rekrutmen politik yang dilakukan partai politik masih belum berjalan secara terbuka, transparan dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi tidak produktif dan objektif. Padahal partai politik pada prinsipnya dapat memainkan perannya dalam menempatkan kader-kader terbaik pada jabatan-jabatan politik di daerah, yang pada akhirnya dapat melahirkan sosok-sosok negarawan di daerah.
Partai politik mempunyai salah satu fungsi utama melalui rekrutmen kader politik, guna menciptakan kader sebagai calon-calon pemimpin negarawan di masa depan Tetapi dalam ajang Pilkada banyak calon-calon yang justru bukan berasal dari kader partai politik, melainkan calon pragmatis dengan kekuatan modal dan popularitas (Patron Klien) meskipun tidak memiliki pengetahuan dan keilmuan di bidang pemerintahan dan kepemimpinan. Hal ini tentunya menjadi boomerang bagi parpol yang memiliki tanggung jawab besar untuk melahirkan sosok-sosok negarawan, tetapi pada akhirnya justru terjebak dalam arus habitus pakem korupsi.
Sebagai sosok negarawan yang memiliki visi strategis yang cenderung melihat jauh ke depan bagi kepentingan bangsa dan negara, maka pemimpin-pemimpin daerah harus terlepas dari jeratan hingga belenggu partai politik agar tidak tersandra pada konflik kepentingan. Sebagai yang diungkapkan oleh seorang teolog Amerika Serikat, James Freeman Clarke (1810-1888) bahwa perbedaan seorang politisi dan negarawan ialah dapat dilihat ketika politisi hanya memikirkan tentang pemilihan umum, sementara negarawan memikirkan generasi yang akan datang. Telah menjadi hal lazim pasca pelaksanaan Pilkada. Dengan masa jabatan kurun waktu lima tahun bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, maka dua tahun pertama digunakan untuk konsolidasi dan satu tahun agenda kerja, dan dua tahun selanjutnya digunakan untuk persiapan dan membuat strategi agar dapat terpilih menjadi pemimpin kembali.
Seorang kepala daerah dapat disebut sebagai negarawan di daerah apabila, setelah ia terpilih dapat melepaskan bendera-bendera politiknya, karena tidak lagi hadir untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, melainkan hadir untuk kepentingan masyarakat luas yang ada di daerahnya. Kepala daerah sebagai pemimpin daerah yang harus benar-benar terlepas dari konflik kepentingan, memiliki visi strategis dan fokus dalam membangun generasi yang akan datang dalam wujud bangsa dan negara.
*Penulis adalah Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.