Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Semua Itu Bermula dari Deklarasi Balfour 1917

Khazanah | 2023-11-06 13:05:24

SEMUA ITU BERMULA DARI DEKLARASI BALFOUR 1917

Wahai kalian yang mencintai tanah air;

Memberontak melawan penindasan yang tak kenal ampun;

Membebaskan tanah air dari raja-raja;

Membebaskannya dari boneka-boneka;

Kupikir kita didukung raja-raja yang bisa memimpin rakyat yang berbaris di belakangnya.

(Abu Salman, penyair nasionalis Palestina)

Segala sesuatu berawal dari sebuah mimpi. Kaum Yahudi yang hidup di tanah rantau, terutama di benua Eropa memiliki mimpi besar untuk bisa kembali ke tanah leluhur mereka di “tanah Israel kuno” atau Palestina. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mereka mendirikan sebuah gerakan yang terorganisasi bernama Zionisme.

Didorong oleh pembantaian yang dilakukan oleh Tsar Rusia, Alexander III dan terbuai oleh daya tarik ideologi baru yang sangat kuat (Zionisme), ribuan orang Yahudi dari Eropa Timur dan Rusia mengungsi ke Palestina. Bahkan, jauh sebelum itu, di tahun 1882, gelombang pendatang baru yang bukan berstatus sebagai peziarah, melainkan tinggal menetap. Komunitas ini tidak melebihi 3 persen dari populasi Palestina.

Gayung bersambut. Ketika gerakan tersebut mendapatkan dukungan penuh dari kerajaan Inggris yang saat itu menguasai wilayah Palestina. Sebelumnya, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Namun karena kalah dalam Perang Dunia I, wilayah kekuasaan Utsmani di kawasan Semenanjung Arab beralih ke tangan Inggris dan Perancis.

Tidak seperti mandat pascaperang lainnya di tanah Arab, yaitu negara-negara diberi kewenangan menetapkan instrumen pemerintahan sendiri di negara yang baru muncul (terbentuk), Inggris di Palestina diwajibkan untuk membentuk negara yang kelak akan dihuni penduduk asli tanah itu, sekaligus sebuah “rumah nasional” bagi bangsa Yahudi yang saat itu hidup tercerai-berai di seluruh dunia.

sumber gambar: https://bbc.com

Surat Sakti Balfour

Arthur Balfour, yang saat itu menjabat sebagai Menlu Inggris mengirim surat kepada Baron Lionel Walter Rothschild, seorang pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, yang kemudian dikenal sebagai “Deklarasi Balfour”. Inti dari surat itu adalah pernyataan dukungan pemerintah Inggris atas aspirasi kaum Zionis Yahudi dan siap melakukan upaya terbaik untuk memfasilitasi demi tercapaianya tujuan mereka.

Balfour sangat berjasa meyakinkan Kabinet Perang Inggris untuk mengeluarkan deklarasi tersebut. Dia menyempurnakan upaya tersebut dengan mendapat dukungan dari seorang pemimpin Yahudi berpengaruh di Inggris, di antaranya Chaim Weizmmann dan Lionel Walter Rothschild. Beberapa kalangan meyakini bahwa Balfour adalah seorang Zionis Kristen yang tertarik pada isu pendirian negara Israel setelah mendalami sejarah kaum Yahudi dari Perjanjian Lama di Alkitab. Namun sejumlah kalangan lainnya menilai bahwa dia tertarik untuk mendukung proyek Zionis dari sudut pandang strategis berupa keuntungan politik.

Dalam dokumen tertanggal 2 November 1917, di tengah berkecamuknya Perang Dunia I, pemerintah Inggris untuk pertama kalinya mendukung pendirian “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina. Orang Israel menganggap dokumen tersebut sebagai batu pondasi pendirian negara Israel. Sementara di sisi lain, banyak orang Arab menilai dokumen itu sebagai bentuk pengkhianatan Inggris terhadap janji mereka untuk membentuk pemerintahan (negara) bagi bangsa Palestina, sebagaimana yang dilakukan di Iraq dan Mesir.

Deklarasi Balfour semakin kuat setelah dicantumkan ke dalam pembukaan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk meresmikan posisi Inggris di Palestina.

Arus Gelombang Imigran

Pada tahun 1923, populasi Palestina meliputi mayoritas Muslim 85 persen, minoritas Kristen 9 persen, dan komunitas Yahudi tidak melebihi 3 persen. Sebelum Perang Dunia I, dua gelombang pemukim Yahudi yang berbeda mencapai Palestina. Gelombang pertama (1882-1903) menggandakan populasi Yahudi dari 24.000 menjadi 50.000 orang. Gelombang berikutnya (1904-1914) populasi Yahudi telah mencapai 85.000 orang.

Antara tahun 1919 dan 1921, imigrasi Yahudi ke Palestina semakin dipercepat secara dramatis saat lebih dari 18.500 orang Zionis pindah ke tanah itu. Disusul berikutnya, sekitar 70.000 imigran lainnya mencapai Palestina antara tahun 1922 dan 1929. Mereka membeli tanah seluas 240.000 hektar di Lembah Yizreel, Palestina bagian utara.

Antara tahun 1929 dan 1931, imigrasi Yahudi ke Palestina sempat melambat yaitu hanya 5.000 sampai 6.000 orang per tahun dikarenakan adanya pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Inggris untuk mengantisipasi kerusuhan dan penolakan dari penduduk asli. Perlu diketahui, semenjak datangnya gelombang imigran, telah memicu protes dan kekerasan di beberapa daerah di Palestina.

Namun, sejak adanya surat MacDonald 1931 telah membalikkan kebijakan Inggris, ditambah lagi naiknya Nazi ke puncak kekuasaan di Jerman, memicu gelombang masuk besar-besaran imigran Yahudi. Tahun 1932 ada 10.000 imigran. Tahun 1933 ada lebih dari 30.000 orang. Dan di tahun 1934 mencapai lebih dari 42.000 orang. Puncak migrasi terjadi pada tahun 1935, ketika hampir 62.000 orang memasuki tanah Palestina.

Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi di Palestina telah meningkat dari 9 persen menjadi hampir 27 persen.

*****

Tepat 106 tahun lalu, dokumen sepanjang 67 kata diteken di Inggris.

Dokumen yang mendasari pembentukan negara Israel dan mengubah sejarah bangsa Palestina di kemudian hari.

Wilayah Palestina kini hanya tersisa 5 persen, yang meliputi Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Akankah yang 5 persen itu akan terus mengalami penurunan hingga tak tersisa lagi, atau justeru suatu saat nanti rakyat Palestina mampu mengambil kembali apa yang telah menjadi hak miliknya sebelumnya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi:

Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah, Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah Utsmaniyah, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta 2017.

https://bbc.com

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image