Hijab Fashion: Antara Kewajiban dan Tren
Agama | 2023-11-05 13:58:08Hijab fashion menjadi lebih populer di kalangan muslimah sejak dua dasawarsa terakhir. Hijab yang dulunya berfungsi sebagai penutup kepala, nyatanya telah mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Tak hanya sebagai penutup aurat, saat ini hijab menempati posisi khusus di dunia fashion. Terlebih dengan semakin banyaknya artis ibukota yang mengenakan hijab serta maraknya konten blog/ vlog yang membahas tentang berbagai mode hijab fashion, menjadikan peminat hijab semakin meningkat. Namun, fenomena perkembangan hijab fashion nyatanya telah memudarkan makna dan fungsi hijab itu sendiri.
Dewasa ini, hijab tidak hanya dipandang sebagai simbol sebuah agama sehingga fungsi hijab tidak hanya terbatas untuk menutupi aurat para muslimah. Purwatiningsih menyebutkan bahwa hijab saat ini telah menjadi simbol budaya. Dalam studinya, Purwantiningsih menemukan bahwa hijab menjadi pembeda antara komunitas santri dan lainnya, dan juga dapat menjadi mode fashion. Pada aspek sosial, Mukarom menemukan bahwa perempuan muslim saat ini mengenakan hijab sesuai tren untuk meningkatkan kepercayaan diri dan sebagai representasi diri dalam kehidupan sosial. Penelitian lain menyebutkan bahwa hijab memiliki peran dalam politik. Dengan memakai hijab, para politisi perempuan muslim dapat memenuhi tuntutan kelompok islam tertentu yang mengedepankan simbol agama sebagai komoditas politik.
Fenomena pergeseran ini kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku fashion untuk mempopulerkan hijab dengan berbagai mode dan istilahnya. Di tahun 2023, mode hijab segi empat, clean hijab, jilbab cekbel, hijab pashmina, dan lainnya banyak diminati kaum muslimah. Hal ini dikarenakan mode-mode hijab tersebut dirasa lebih rapi, praktis, dan kekinian. Dipadukan dengan pakaian modis seperti dress, rok, atau celana dengan berbagai model, tentunya membuat outfit kaum perempuan semakin trendi. Akan tetapi, tren hijab fashion kekinian tersebut pada kenyataanya sangat jauh dari ketentuan agama. Misalnya, demi mengikuti tren, sebagian muslimah hanya mengikat hijabnya dileher sehingga memperlihatkan bagian dada yang seharusnya tertutup. Tidak jarang pula kaum muslimah yang mengenakan hijab pashmina yang hanya dikaitkan ke bahu dan memperlihatkan bagian lehernya. Selanjutnya, banyak juga fenomena berhijab namun telanjang di mana kalangan muslimah memakai pakaian yang jauh dari anjuran agama Islam, yakni memakai pakaian yang tipis dan mengekspos lekukan tubuhnya (Institut Agama Islam Negeri Madura, 2018).
Lantas, apakah muslimah tidak bisa mengikuti tren?
Kaum muslimah bisa saja mengikuti tren hijab, asalkan sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, mereka perlu meningkatkan pengetahuan tentang hukum Islam, khususnya tentang aturan berpakaian. Hijab merupakan simbol agama yang berfungsi sebagai penutup aurat kaum perempuan. Dalam Islam, wajib hukumnya bagi setiap muslimah untuk memakai dan memanjangkan hijabnya sampai menutupi dada dan aurat lainnya kecuali kepada mahramnya. Dengan begitu, mereka dapat menjaga diri dari perbuatan maksiat dan pandangan nafsu kaum laki-laki. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nur ayat 31:
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
DR. Muhammad Batajiy selanjutnya merumuskan etika berpakaian sesuai dengan dalil-dalil syari’at, meliputi, (1) Pakaian perempuan hendaknya tidak mencolok yang mengundang perhatian laki-laki karena dapat menimbulkan fitnah, (2) Pakaian perempuan hendaknya tidak ketat sehingga memperlihatkan lekukan tubuh yang menggiurkan laki-laki yang memiliki penyakit dalam hati, (3) Pakaian perempuan hendaknya tebal sehingga tidak terbayang bagian tubuh yang ditutupinya, (4) Tidak menggunakan wewangian yang mencolok dan dapat merangsang orang lain yang menciumnya, (5) Tidak menyerupai pakain nonmuslim yang cenderung demonstratif, (6) Tidak menyerupai pakaian laki-laki. (Muhammad Al-Batajiy dalam Aldina, 2023).
Tidak dapat dipungkiri tren hijab fashion terus berkembang sehingga keinginan untuk mengikuti tren dan mengekpresikan diri cenderung meningkat. Oleh karena itu, perkembangan tren ini harus dibarengi dengan pengetahuan hukum Islam yang baik. Pengetahuan hukum Islam membantu muslimah untuk lebih berhati-hati dalam memilih pakaian yang memenuhi syariat agama. Misalnya, memakai pakaian yang menutup aurat dengan sempurna, tidak menonjolkan lekuk tubuh, sederhana, tidak mencolok, dan tidak menyerupai pakaian non-muslim. Dengan begitu, mereka dapat meninggalkan kesan positif dan mejadi teladan bagi masyarakat.
REFERENSI
Aldina, Emelly. (2023). “Tren hijab kekinian, apakah sudah sesuai dengan syariat?” https://kumparan.com/emelly-aldina-1686300383160793578/tren-hijab-kekinian-apakah-sudah-sesuai-dengan-syariat-20jijQblrRm/4. Diakses pada 3 November 2023.
Institut Agama Islam Negeri Madura. (2018). MENUJU HIJRAH.... MENGAPA TIDAK...? Iainmadura.Ac.Id.
Purwatiningsih, Puji (2018). “Tren Jilbab 2010 – 2017 dalam Membentuk Eksistesi Diri: Studi Fenomenologi Mahasiswi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang”. Undergraduate (S1) Thesis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.